Istilah Kalang di tanah Jawa pertama kali ditemukan pada prasasti Kamalagi (Kuburan Candi) di desa tegalsari, Kawadenan Tegalharjo (kecamatan cANDI mulyo) Kabupaten Magelang yang bertarikh (tahun) 743 saka atau 821 Masehi. Prasasti Kamalagi terukir dengan sisi depan 22 baris tulisan, dan sisi Belakanng 17 barisan tulisan, beraksara jawa Kuna (Kawi) dan berbahasa Jawa Kuna, mengisahkan penetapan sebuah wilayah Sima pada masa itu.
Di sisi depan tertulis :
1. Selamatlah tahun Saka yang telah berlalu 2, 743, bulan waisakha (April - Mei) 3. Pada hari ke - 10 bagian bualan kelap. 4. Tunlai, Wage 1), anggara )selasa). Pada saat itu San Pamget 5. Wuga bernama Pu Manneb meresmikan status sima (perdikan) sawah 6. Di pihak dan sebuah kebun di Kalagi dan 7. Suatu tempat tinggal bagi Nayaka. Sususnan keputusan itu 8. Ditulis olah San Anawarjjita Jnaneswara dan Sang Kari 9. Dharmacinta. Adapun saksi - saksinya adalah : Hyang Guru Mangali bernama Sang Siwa 10. Murtti dari pertapaan Hubrayan Dapunta Da- 11. hana sebagai Hyang Guru, Hulu Wras (Pejabat pertanian / Penjaga Lumbung Padi) dari Suku bernama Si- 12. n Sang Candrakumara. seorang pemimpin dari Parama Yang ikut 13. Ketika itu ialah kepala dari desa Kahurripan yang bernama Pu Nayaka dan 14. dan penduduk desa bernama Landung, Ayah Maitri ; pa- 15. Tih dari Manin Sidi bernama Si Narda, Ayah dari 16. Lenkep ; Kalan (Jabatan atau seorang dari suku Kalan) dari Nunungnan bernama Si Maghom, ayah 17. Manajang, Patih dari Limpar bernama Si Pager ayah dari Maryani 18. Dan Si Manan ayah dari Rgagi, Kalang dari Kahyangan 19. Bernama si Sumdek, Ayah dari Kunuh ; Kalang dari Sang Mapatih 20. Sukun bernama si Wanun : ikut serta Warak [ warak ialah Gusti bernama Si 21. Nangap Ayah si Intap: Gusti dari Selatan berbama si Pangun; ayah dari 22 Kbel.
|
Keluarga Suku KALANG Jawa. |
Pada masa itu, jalinan hubungan antara orang Kalang dengan masyarakat Kerajaan nampaknya berjalan baik, ini dibuktikan dengam adanya penyebutan Tuha Kalang dalam prasasti dan Jabatan Tuha (Ketua Suku) kalang ini juga menerima Pasek - Pasek dalam peresmian tanah Sima. Selain prasasti Kamalagi, Prasasti Harinjin di Siman, Kepung Kediri (804 M) dan penggumulan di Ngaglik Sleman (904 M) juga telah menyebutkan tentang keberadaa suku Kalang ini di masyarakat Harinjing dengan menyebut Tuha Kalang (Kepala Suju Kalang), sementara penggumulan menyebut Pandhe Kalang (Penebang Kayu suku kalang)
Seiring berlakunya sistem sosial kasta Hindu masuk, Wong Kalang mulai Yrtsisih oleh karena ketidak jelasan nenek moyang mereka, Mereka "dipaksa" tinggal di hutan-hutan, lereng-lereng gunung yang tinggi, serta tanah -tanah tandus. Tempat suku Kalang bermukim dan membangun peradaban sekarang di kenal dengan " Alas kalang" yang berada diantara Lasem dan Sungai Bengawan Solo, sebelah selatan Pamotan di perbukitan Kendeng utara yang membentang dari Blora sampai Malo di Bojonegoro sampai dan Jatirogo Tuban.
Karena menolak untuk di Hindukan dan demi untuk mempertahankan eksisiten kebudayaannya, orang Kalang memilih tinggal di hutan dengan tetap memepertahankan kepercayaan asli warisan leluhur masa prasejarah dengan melakukan pemujaan kepada arwah Nenek moyang yang dipercayai bersemayam dipuncak gunung . Salah satunya Ritual Kalang ketika ketika ada yang meninggal dunia adalah "Obong Kalang" dengan membakar Boneka Kayu (Puspa Gambar) ketika meninggal dunia. Adapun ciri khas makan suku Kalang yaitu pusara mereka selalu menghadap ke Sungai.
Namu demikian relasi orang Kalang dengan menguasai setempat berjalan baik, pihak Otorotas kerajaan Majapahit pada waktu itu memanfaatkan tenaga mereka untuk proyek proyek pisik berskala besaar, antara lain sebagai penebang pohon (tukang kayu), pembuatan kapal perang (Jung) juru angkut batu untuk pembuatan Candi dan juga terkadang prajurit tempur di medan peperangan . Karena dikenal akan kesaktiannya , mereka juga ditugaskan untuk menjaga hutan agar tidak kemasukan penyusup yang membahayakan kerajaan.
Kesaktain dankemampuan mistis suku Kalang di manfaatkan oleh Laksamana Majapahit kala itu Mpi Nala dalam menaklukkan kerajaan dari Suku Dayak Nan Serunai. Ktika Kerajaan Majapahit sudah hampir dipukul Mundur oleh orang-orang Dayak dari kerajaan Nan Seruni. Mpu Nala menerjun orang -orang Kalang sebagai pasukan pemungkas. Sang Raja Nan Serunai Nang Bangaran Raja Anyan (Datu Tatuyan Walau Naharaja Papagkat Amas) yang bersembunyi di sumur tua yang ditutup sembilan buah gong berlapis mantera tingkat tinggi pun mampu terendus keberadaannya oleh penciuman orang - orang suku Kalang Raja Anyan kemudian ditangkap dan eksekusi mati dengan Tambak oleh EMPU NALA.
Nama suku Kalang sendiri di era pemerintahan Hayam Wuruk ditemukan dalamPrasasti Tambang tahun 1354. yang isinya mengatur kedudukan desa - desa dipinggir sungai Brantas dan Sungai Bengawansolo yang menjadi tempat penyeberangan. Suku Kalang diketahui membangun peradaban dilembah BengawanSolo dan berprofesi dalam jasa penyeberangan. Seiring dengan perkembangan zaman pasca runtuhnya kerajaan Hindu - Buddha terakhir di tanah Jawa dan tidak berlakunya "Sistem Kasta" orang Kalang sudah banyak berbaur dengah masyarakat lainnya, baik dalam pergaulan sosial maupun pernikahan. Suku Kalang sudah diterima dengan baik di Indonesia, demikian pula sebalikna dengan suku Kalang dapat juga menerima orang -orang dari luar sukuna.
Dalam catatan Belanda, nama suku Kalang muncul pertama pada 1675, isina mencuritakan keberadaan Suku Kalang di wilayah Rembang dan wilayah Pati . Berpropesi sebagai penebeng Pohon sementara di buku Speelman 1678 menulis diskripsi lebih jelas, Suku Kalang bekerja menebang dan mengangkut Kayu, membuat gorab dan kapal perang. Masih menurut catatan Hindia Belanda diketahui Suku Kalang bekerja mengangkut Barang -barang milik tentara Hurdt yang pergi berperang menyerang Trunojaya di Kediri kisaran 1679. Setelah Belanda menguasai pesisir Jawa 1743, tiga tahun setelah itu VOC mengakui status khas Suku Kalang sebagai een apart volk (kelompok tersendiri).
Implikasinya, tidak seperti Suku Jawa, umumnya suku Kalang dikenakan pajak badan oleh pemerintah Belanda yang mana sebelumnya mereka dibebankan kepada Raja Jawa, karena posisi Suku Kalang dianggap sebagai Suku Asing. Kemudian zaman Daendels berkuasa yang mewakili kekuasaan Prancis maka kewajipan Pajak dihapuskan. Selanjutnya Daendels yang dianggap punya jasa dalam membangun Jalan Darat Anyer - Panarukan, memberikan hak padaa suku Kalang untuk menebang pohon, sebagai bahan baku pembuatan Gerobak Jawa yaitu Cikar dan Podati. \
Winter SR 1839 juga mencatat sejak 17 dan 18, Kebiasaan Nomadem suku Kalang berangsur - angsur hilang dan mulai menetap dengan berkelompok dalam satu kampung atau dalam wilayah saling berdekatan suku Kalang disebut Pekalangan. Yang menarik dalam catatan suku Kalang adalah terjadinya Transformasi sosial dengan munculnya etos kewiraswastaan (entropeneur) mirip dengan etnis minoritas Tionghwa dan Arab. Walaupun ada yang memiliki profesi sebagai Petani, tetapi sangata jarang, alih- alih menjadi abdi dalam Raja atau memilih status pangreh praja. Suku Kalang lebih memilih berdikari dari pada menghamba kepada Keraton.
|
|
Kisah Wong Kalang muncul di Mataram pada zaman pemerintahan Sultan Agung terkenal sangat ulet dan gigih, hingga ketika Sultan Agung menentang Batavia banyak wong Kalang di ikutkan. Selain terkenal sebagai ahli Ukir dan Pertukangan kayu, dikalangan prajurit atau pasukan perang, wong Kalang biasanya dipilih sebagai pasukan infanteri. Alasan ini cukup beralasan karena Wong Kalang terkenal sangat tangguh dalam menghadapi medan tersulit sekalipun. Adapun cikal bakal Wong Kalang di Kota Gede bermula pasca serangan Mataram ke Blambangan dengan ,membawa wong Kalang, Gajah nati dan Pinggir. Wong Kalang ditempat seberang Sungai Gajah Wong TegalGendu.
Ketika Sultan Agung ingin menghias kedatonnya di daerah Kerto , beliau memanfaatkan seorang ahli jasa , ahli ukir dari Suku Kalang yang bernama Jaka Sasono dari kalangan rendah. Saat menjalankan tugasnya menghias Kedathon Kerto dengan pahatan dan ukiran. Keahlian itulah Jaka Sasono menjalin hubungan dengan putri Raja Mataram yang bernama Ambar Lurung. Percintaan keduanya rupanya terlanjur dalam dan tak bisah dipisahka sehingga Jaka Sasono pun akhirnya menghadap Sultan Agung untui melamar Ambar Lurung.
Diluar dugaan, lamaran lelaki itu ternyata diterima Sultan Agung dengan syarat Joko Sasono harus masuk Islam dan Jaka Sasono pun menerima syarat itu dan merekapun akhirnya menikah. Joko Sasono yang tetap menyadari dirinya berasal dari Kasta rendah menolak tinggal di Istana serta mereka berdua memilih menetap di daerah Petanahan Kebumen, Jawa Tengah. Selanjutnya anak keturunan Joko Sasono Ambar Lurung ini menyebar keberbagai wilayah di Jawa Tengah, Gombong salah satu keturunan Jaka Sasono, dari Gombong ini kemudian kembali ke kota Gede dan membuat sejarah baru disana. Adalah Kimartowongso orang Kalang pertama yang menjejakkan kakinya di Kota Gede. Tempat asal dari leluhurnya Joko Sasono dan Dewi Ambar Lurung.
Ki Merto Wongso datang ke KotaGede dalam rangka mengembangkan usahanya, yakni usaha pengadaan, usaha ini semakin besar dibawah pengelolaan berikutnya yakni Mulyo Suwarno yang kala itu mendapat lisensi dari Keraton Surakarta terhadap suku Kalang di Kota Gede. Alhasil dalam waktu singkat lelompok Kalang berhasil mengembangkan Jaringan, dimana, rumah gadai memberi keuntungan besar. Catatan Claude Guillot menyatakan, pekerjaan suku Kalang lainnya adalah pedagang yang bukan menjadi monopoli kaum lelaki, tetapi juga dari kaum perempuan sebagaimana istri Mulyo suwarna, Fatimah (putri Demang Brodjosemito). Bukan hanya berjualan kebutuhan harian seperti Sembako, namun lebih luas lagi, Kain Batik, Emas dan Berlian.
KotaGede kala itu sebagaimana diungkapka Van Mook, 1926, merupakan sentral pasar Berlian terbesar di Hindia Belanda dan itu dikuasai keluarga suku Kalang. Hasilnya dapat diterka , Pasangan Mulyo Suwarno dan Fatimah menjadi sangat kaya dan berstatus sosial tinggi. Putra mereka adalah Prawiro Suwarno yang lahir 1873 meneruskan usaha kedua orang tuanya. Diwaktu remaja ia biasa keluar masuk istana Yogya secara bebas dan bermain - main dengan sang Pangeran yang kelak dinobatkan sebagai Sultan HamengKubuwono ke - VIII.
Melihat perkembangan usaha Prawiro Suwarno yang semakin besar, pemeintah Hindia Belanda merasa tidak suka. Kemudian membuat aturan yang membuat bisnis pegadaian orang Kalang ini hancur, Prawiro Suwarno yang mengalami kebangkrutan akhirnya ganti usaha dengan berjualan saturan. Kegigihannya dalam menjalankan usaha menarik hati seorangBelanda dan kemudian memberikan modal untuk menjalakan usaha Dagang Intan Berlian.
Ki Prawiro Suwarno mampu menunjukkan kemampuan bisnisnya. Tidak lama kemudian diapun akhirnya mendadi Raja Berlian yang terkenal sampai se Asta Tenggara dan mendadi orang terkaya di Kota Gede bak raja Midas. Mitsuo Nakamura menyebutkan, hikayat lokal KotaGede, bahwa perang Dunia ke-I, keluarga Suku Kalang malah mendapatkan keuntungan besar melalui bisnisnya. Kekayaan yang dimiliki malah tidak terhitung jumlahnya, semua tersimpam dilemari Besi yang tebal. Bahkan ada ccerita yang mungatakan terdapat hiasaan di salah satu rumahnya berbentuk setandan pisang dan terbuat dari emas.
Karena kekayaan inilah rumah -rumah yang dibangunnya memiliki arsitektur perpaduan Eropah dan Jawa. Arsitektur ini dipilih seolah untuk menegaskan, meskipun orang Kalang dari Jawa tapi Kastanya sekelas dengan wong Eropah. Waktu itu Prawiro Suwarno berencana menutup lantai ruang pendopo, dengan uang koin dari perak, Entah apa maksud mungkin karena kelebihan duit. Bila rencana itu terlaksana maka secara otomatis, Wajah Ratu Wilhelmina yang gambarnya berada di uang tersebut akan terinjak - injak kaum pribumi.
Mendengar hal ini Residen Belanda yang berada di Yogyakarta, menjadi jengkel namun tidak ada alasan Yuridis untuk melarangnya. Untuk menghalangi niat tersebut pihak Residen menyusun siasat dengan memberi saran untuk memasang uang Perak secara tegak bukan mendatar.
Mitsuo Nakamura mengatakan bahwa besaran kekayaan Suku Kalang, sampai saat ini dapat terlihat dengan mudah. Di Kota Gede tersebar lusinan rumah besar, milik suku Kalang mirip Istana di bangun sekitar dasa warsa abad ke - 20. Salah satunya gedung yang dibangun di bagian timur sungai Gajah sebuah bangunan yang dibangun dengan dua Garasi, dapat menampung delepan unit mobil dan kandang Kuda yang diperkirakan dapat menampung 29 ekor. Bangunan lain omah Kalang lainnya masih ada sampai sekarang, dan masjh bisa kita lihat di Jkn. Tegal Gendu berjajar Anshor Silver, Narti Silver kebarat hingga ke Radio MBS yang sekarang berubah menjadi Restourant mewah dan Rumah Art Galery.
Di masa revolusi kemerdekaan lagi - lagi Suku Kalang jatuh menderita, mereka menjadi sasaran - sasaran penjarahan atau massal setiap kali ada kerusuhan, sama yang dialami Suku Tionghwa. Saat ibu kota pindah ke Yogyakarta, Sultan Hamenku Buwono IX juga meminta golongan Suku Kalang menyumbang dana besar bagi perjuangan Republik. Hj. Noeriyah yang meneruskan usaha orang tuanya Prawiro Suwarno dan berteman baik dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim gerobak pedati yang mengangkut beberapa peti dan berlian ke Istana Presiden di Gedung Agung Yogyakarta.
Di zaman revolusi Kemerdekaan, kejaan Orang Kalang di kota Gede waktu itu terhenti akibat adanya aksi penjarahan adanya kesenjangan ekonomi antara orang Kalang dan Penduduk asli. Setiap ada kerusuhan rumah ada kekeyaan mereka yang dijarah dan dikuasai oleh penduduk asli Kota Gede. Kini semuana tinggal tenanam..
|
Kediaman Suku Kalang di Jawa |
Suku Kalang wong Jawa Banyak membangun Candi - Candi.
Suku Kalang dari Semenanjung dibawa pedagang-pedagang India.