Sabtu, 27 April 2024

PETUALANGAN PERAHU BOROBUDUR 2003 HINGGA CAPE TOWN, DALAM EKSPEDISI JAKARTA – GHANA AFRIKA

NusaNTaRa.Com

byLaDollaHBantA,        S  a  b  t  u,   2   7      A   p   r   i   l      2   0   2   4        

Perahu Samuderaraksa Borobudur ketika lego jangkar di Pelabuhan Madagaskar.  Perahu tersebut 
 25 Oktober 2003 bertolak ke Cape Town, Afrika Selatan, kemudian ke Accra, Ghana  dan diharapkan tiba di tujuan akhir tersebut pada akhir tahun 2003

EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur  dimulai pada 15 Agustus  2003 dari Ancol,  namun sebenarnya belum siap berlayar.   Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar,  karena masih banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena.  Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator but without  generator perahu bisa “hilang” sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

Pada acara  pelepasan  yang dilakukan Presiden Megawati Soekarno Putri  hampir menjadi pangkal musibah.   Setelah beliau meninjau perahu  iapun  melepaskannya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas.    Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut pada Hari  Jumat pukul 16.10,  perahu masih berada di kawasan  Marina Ancol, Jakarta Utara.

Perahu Samudraraksa Borobudur  dengan panjang perahu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya.  Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin.   Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat  “kamar mandi”,  beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah Perahu yang diambil dari relief Candi Borobudur ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel.   Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun   17 buah,  begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur.  Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan)  akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan.  Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat.   Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat.   Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut.  Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.

Pada  18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu.  Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan karena angina mati, mereka mendayung di kiri-kanan perahu  sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule.  Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak  dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Niken Maharani dari IPB
salah satu anggota polayaran

Perjalanan menuju Seychelles awak perahu dibagi  dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam.  Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan  dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat,  serta memasak,  awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut.   Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah karena komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia,  sehingga kala bertugas keduanya harus berlari ke depan dan ke belakang sambil berteriak menerjemahkan bahasa komandannya.   Sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris.

Niken  lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat lalu menjadi biasa.   Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng.  Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas.   Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh.   Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya,     Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya  ”,  Ujar SiDin Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi.   Buleleng istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu,  akhirnya mereka sadar semua tergantung pada arah dan kecepatan angin.  Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind dan lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus tali itu menjorok di luar perahu,   Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.   Dalam catatannya Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: “Qta” lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah.  Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit,  sementara air laut hijau jernih mengundang “Qta” untuk berenang.

Di Seychelles  mereka menetap selama 17 hari untuk mengisi perbekalan dan  menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.   Polayaran selanjutna dari Seychelles menuju Madagaskar  angin sering mati,   membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras.   Selama dua hari angin mati,   motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera “berbicara” dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar.  Ditegaskannya  sebagai manusia harus bersikap wajar,     Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah  ”,   Cakap Besar SiDin Muhammad Abdu.   Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan,  doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Kendala selama perjalanan membuat  lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar dan  jarak  sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta- Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.   WALI Kota Mahajanga, PageÆs, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi.   Perahu sore sehari sebelumnya  sudah masuk pelabuhan,  mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga.   Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia- Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan.  Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik.   Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian.  Kini mereka tinggal bertiga belas,     Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir   ”,  Ujar SiGaluh gadis berjilbab itu mantap.

Peta dan Rute Pelayaran Samuderaraksa Borobudur
ke Pantai Afrika Barat



 

Ekspedisi SamuderaRaksa Borobudur pelayaran Jakarta-Acra Ghana.

Perahu bercadik Bambu melintasi Samudera Hindia.

 

 

Jumat, 26 April 2024

SEJARAH MASJID AGUNG SANG CIPTO RASA DIBANGUN WALI SONGO PADA ZAMANNYA, MESJID TERTUA DAN PERNAH DIBANGUN SATU MALAM !

NusaNTaRa.Com 

byBambanGBiunG,  S  a  b  t  u,  2 7   A  p  r  i  l   2  0  2  4

Masjid Agung Sang Cipto Rasa di Cirebon

Masjid Agung Sang Cipta Rasa  berdiri di kawasan Keraton Kasepuhan sebuah masjid yang menyimpan sejarah peradaban Islam di Cirebon dan Jawa Barat.  Tempat Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali di Jawa,  dalam misinya menyebarkan ajaran Islam.   Menjadi salah satu masjid tertua di Jawa  dan  Raden Sepat dan Sunan Kalijaga adalah arsitek masjid ini.  Konon, lebih dari 500 orang terlibat dalam pembangunan masjid ini, yang konon dibangun hanya dalam waktu satu malam !.  

Beliau menuturkan bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga dibangun secara gotong Royong Kalangan Wali Songo bergantian, sekitar tahun 1480an oleh Sunan Gunung Djati juga, awalnya diberi nama Masjid Pakungwati karena masjidnya berdekatan dengan Keraton Pakungwati dan Masjid ini dibangun atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati dengan dibantu oleh Walisongo dan beberapa tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah., kemudian Sunan Gunung Djati menikahi putri dari Keraton Pakungwati yaitu Nyi Mas Pakungwati.

Dari pintu gerbang, aula dan beranda, Anda dapat melihat pengaruh arsitektur Hindu Jawa Majapahit, bangunane berbentuk seperti 'Joglo', rumah tradisional Jawa.  Hal ini mencerminkan budaya masyarakat lama yang tinggal di Cirebon, yang merupakan campuran dari masyarakat Demak, Majapahit dan penduduk asli Cirebon.   Bangunan ini juga dikenal dengan nama Masjid Agung Cirebon atau Masjid Sunan Gunung Jati.

Muhammad Ismail, muazin masjid Agung Cipta Rasa mengatakan,  "  Ini adalah masjid peninggalan Wali Songo. Dibangun pada tahun 1480, dan alhamdulilah, salah satu masjid peninggalan Wali Songo yang masih terjaga keasliannya adalah masjid ini. Hampir 90 persen dari bangunan ini masih tetap asli, dan seluruh bangunannya telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah  ".

Untuk memasuki bangunan asli, sembilan pintu masuk dibuat secara unik dengan ukuran yang lebih pendek dari pintu masuk pada umumnya. Hal ini mengajarkan kita untuk menghormati masjid dan kerendahan hati yang harus dimiliki seseorang untuk memasukinya.   Ismail juga mengatakan bahwa pintu-pintu ini memiliki makna simbolis, "  9 pintu itu sendiri merupakan simbol dari 9 orang suci. Selain itu, 9 pintu tersebut juga merupakan simbol keterbukaan. Karena pada saat itu, banyak warga di sini yang awalnya beragama Hindu dan Budha. Jadi ketika masjid ini dibangun, mereka diperbolehkan masuk karena ternyata ini merupakan bagian dari strategi dakwah para wali  ".

Seperti di Masjid Agung Demak, di masjid ini juga terdapat saka guru (tiang utama) yang dibuat dari tatal, yaitu pecahan-pecahan kayu berukuran kecil yang disatukan.  Menurut cerita, saka guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga ini melambangkan kesatuan atau kegotongroyongan.   Konon katanya, pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa hanya dalam tempo satu malam, yaitu pada dini hari dan keesokan harinya telah dipakai untuk shalat subuh.

Seperti di Masjid Agung Demak, di masjid ini juga terdapat saka guru (tiang utama) yang dibuat dari tatal, yaitu pecahan-pecahan kayu berukuran kecil yang disatukan.  Menurut cerita, saka guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga ini melambangkan kesatuan atau kegotongroyongan.   Konon katanya, pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa hanya dalam tempo satu malam, yaitu pada dini hari dan keesokan harinya telah dipakai untuk shalat subuh.

Saat memasuki area masjid, kita bisa melihat mihrab yang unik, yang juga menjadi tempat imam memimpin salat. Ada juga mimbar yang menyerupai kursi besar dengan ukiran teratai khas Majapahit, yang melambangkan kesucian.  Dalam ajaran Islam, salat adalah dasar dari kepercayaan. Hal ini tercermin dari 12 pilar yang mereka bangun dengan ketinggian tepat 17 meter, jumlah yang sama dengan jumlah rakaat shalat dalam sehari. Selain itu, ada 30 fondasi di masjid, jumlah yang sama dengan jumlah juz dalam Al-Quran.

Lebih dari sekedar bangunan, setiap jengkal masjid ini menyimpan doa dan pesan-pesan makna ajaran Islam yang diajarkan oleh Sembilan Wali yang berdiri kokoh hingga kini. Mungkin di situlah letak keajaiban Masjid Sang Cipta Rasa ini.

Pintu masuk ke Masjid Agung Sang Cipto Rasa


Masjid Agung Cipta Rasa Mesjid tertua.

Dibangun Gotong Royong Kalangan Wali Sanga.

 

 

 

Rabu, 24 April 2024

PULAU BUNGIN SUMBAWA DI TENGAH LAUTAN JADI PULAU TERPADAT DI DUNIA

NusaNTaRa.Com

byLaDollaHBantA,       R   a   b   u,     2   0      A   p   r   i   l      2   0   2   4

Pulau Bungin di Prov. Sumbawa Barat pulau terpadat di Dunia

Bukan lukisan ini adalah pulau beneran.   Namanya Pulau Bungin di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa  sebagian besar warga di pulau ini merupakan Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan.   Penduduk Pulau Bungin mayoritas bekerja sebagai nelayan,  mereka memiliki ikatan yang erat dengan pulau yang mereka tinggali ini sehingga sangat jarang orang yang pergi merantau. Akibatnya, pertumbuhan penduduk di sini sangat pesat  dimana  satu rumah disini bisa dihuni oleh 2 sampai 3 kepala keluarga.

Indonesia terkenal sebagai negara maritim yang memiliki kurang lebih 17.000 Ribu Pulau. Salah satunya Pulau Bungin ini,   Pulau ini dinamakan Pulau Bungin karena kata Bungin berasal dari kata “Bubungin” yaitu dalam Bahasa Bajo diartikan sebagai tumpukan pasir putih di tengah samudara.  Asal muasal penduduk Pulau Bungin berasal dari Sulawesi Selatan,   karena itu, suku yang mendiami Pulau Bungin mayoritas adalah Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan dan bahasa sehari-hari masyarakat menggunakan Bahasa Bajo.

Memiliki luas sekitar 8.5 hektar dan dihuni oleh hampir 5000 jiwa  manusia yang menjadikan pulau ini sebagai yang terpadat di dunia  Keren, ya  ?.  Awal mulanya, Pulau Bungin hanya seluas 4x10 meter namun lama kelamaan menjadi luas karena tradisi masyarakat Bungin pada waktu itu untuk menimbun laut dengan batu-batu dan tanah untuk tempat tinggal.  Mari kita saksikan  keunikan P Bungin di nawah ini,   selain mendapatkan predikat sebagai pulau terpadat di dunia, #Bungin juga memiliki sejumlah keunikan lain, diantaranya:

1. Memiliki jalan yang membelah lautan.   Tidak seperti jembatan penghubung antara daratan utama dengan sebuah pulau yang biasanya terbentuk dari tiang beton dengan permukaannya di cor, jalanan di Pulau Bungin dibangun dengan cara membendung dua sisi lautan, sehingga siapapun yang melintasi jalan tersebut bisa merasakan sensasi berjalan di tengah lautan yang terbelah bak di kisah #nabiMusa, AS.

Perkampungan di Pulau Bungin

2. Pulau ini tidak memiliki garis pantai.   Meskipun berada di tengah lautan,  Bungin sama sekali tidak memiliki garis pantai karena sejatinya pulau ini direklamasi secara sukarela oleh penduduk setempat dengan mengumpulkan karang karang mati lalu membangun rumah di atasnya.

3. Satu atap 4 kepala keluarga.   Tingkat kepadatan yang tinggi dan minimnya lahan membuat penduduk Pulau Bungin banyak yang terpaksa berbagi rumah dengan anggota keluarganya yang telah menikah. Sehingga di dalam satu rumah, kerap ditemukan 3 hingga 4 kepala keluarga.

4. Kambing makan kertas.   Karena tidak memiliki daratan utama dan pulaunya terbentuk dari tumpukan karang mati maka hampir mustahil untuk bisa menemukan rerumputan atau tanaman lainnya di pulau ini. Sebagai alternatif, binatang ternak milik warga terpaksa membiasakan diri memakan kertas.

5. Ritual pengenalan laut yang mengagumkan.   Untuk menjaga identitas mereka sebagai penguasa lautan, masyarakat Bungin yang sebagian besar berasal dari Suku Bajo mempersiapkan anak anak mereka untuk menjadi pelaut tangguh bahkan sejak bayi melalui #RitualToyah.   Dalam tradisi Toyah, bayi yang baru lahir secara bergilir akan dipangku oleh tujuh orang wanita yang duduk di atas ayunan dengan tujuan untuk memperkenalkan sensasi gelombang laut kepada si bayi.   Menyiapkan para pelaut tangguh adalah sebuah cara untuk mempertahankan dan melestarikan identitas utama mereka sebagai penguasa lautan.

Fakta yang sangat menarik lainnya dari Pulau Bungin yaitu  “Kambing makan Kertas”.   Bukan hanya memakan kertas saja tetapi kambing-kambing di Pulau Bungin juga memakan uang ataupun sampah.  Keadaan tersebut lantaran Pulau Bungin tidak memiliki daratan yang dapat ditumbuhi rumput ataupun dedaunan.   Pulau Bungin juga terkonal dengan kuliner khas dari olahan laut yang diolah secara dibakar maupun olahan ikan lainnya.   Bahkan di pulau ini terdapat resto terapung yang menyajikan kuliner ikan khas sumbawa dan wisatawan yang berkunjung bisa memilih jenis ikan yang ingin dimakan.

Banyaknya keunikan yang dimiliki Pulau ini menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi wisata di Sumbawa yang banyak dikunjungi.  Wisataan yang datang ke Pulau ini bukan hanya dari wisataan lokal saja tetapi hingga ke wisataan manca negara.  Transportasi menuju Pulau Bungin bisa memakan waktu sekitar enam sampai delapan jam perjalanan menggunakan kendaraan dan kapal penyeberangan dari Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa.

Pulau Bungin  Sumbawa di Tengah Lautan.


Ikatan kekeluargaan warga kuat dan mesra.

P Bungin rapat warganya dadi  Pulau terpadat di dunia. 



Senin, 22 April 2024

KEUNIKAN PEMBUATAN CELANA UNIK TABIB SUKU MENTAWAI ATAU KABIT SIKEREI

NusaNTaRa.Com   

byIrkaBPiranhA,       S  e  l  a  s  a,   1   6      A   p   r   i   l      2   0   2   4

 

Anthony Kiedis vokalis Red Hot Chili Peppers berlibur di Kepulauan Mentawai dan Anthony Kiedis Foto Diapit dukun  sposial Suku Mentawai Sikerei, Bukan Warlok Sembarangan

Mendadat suku Mentawai mendadi Viral  ketika  foto unggahan di akun Instagram grup band Red Hot Chili Peppers (RHCP)  yang  menampakan  vokalis band Red Hot Chili Peppers, Anthony Kiedis, duduk diapit dua orang sikerei atau tabib dari suku Mentawai, yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan kabit menarik perhatian netizen.    " 3 Shamans tobacco ceremony ", demikian takarir singkat pada unggahan di akun RHCP @chilipeppers tersebut. Kiedis tampak sedang duduk santai dan turut bertelanjang dada. Ia sedang mengisi waktu untuk berlibur di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat (Sumbar).

Anthony Kiedis adalah penyanyi, penulis lagu, dan aktor asal Amerika Serikat  lahir di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat pada 01 November 1962 dari pasangan John Michael Kiedis dan Margaret Noble. Nama Kiedis dikenal publik setelah menjadi vokalis Red Hot Chili Peppers.   Kedua orangtua Anthony Kiedis bercerai ketika usianya tiga tahun dan dia hidup bersama sang ibu hingga usia 12 tahun,  kemudian  ia memutuskan pindah ke Hollywood untuk menetap dengan ayahnya yang juga merupakan aktor.

Kiedis dalam unggahan tertengo di temani dukun atau dukun suku Mentawai atau Sikerei (bahasane wong Mentawai),   keduanya terlihat mengenakan sejenis ikat kepala, aksesoris  dan tentu saja kabit yang khas  sudah menjadi kelaziman  bagi Laki-laki suku Mentawai tidak mengenakan busana atasan.   Kabit sikerei yang dikenakan menandai bahwa keduanya bukan suku Mentawai yang biasa-biasa saja  karena  kabit sikerei hanya boleh dikenakan oleh suku Mentawai yang menyandang status khusus sikerei, sang tabib.

Untuk mengenal lebih dekat perihal kabit sikerei dari tabib suku Mentawai tersebut,  berikut uraian 5 fakta menarik tentang kabit sikerei, yakni cawat atau celana unik tabib dari suku Mentawai tersebut.

1. Terbuat dari Pohon Tarap

Kabit sikerei terbuat dari kulit kayu pohon bernama tarap (Artocarpus) yaitu pohon yang  masih sejenis pohon buah, marga pohon nangka,   tapi berbeda dengan pohon nangka yang kita kenal dan mudah dijumpai  karena  tarap ini berupa nangka dalam ukuran kecil dengan aroma kuat.   Sebagai informasi, buah pohon tarap ini dikenal juga di berbagai kawasan lain, misalnya, marang di Mindanao, lumuk di Sabah, timadang di Sarawak, Pabukku GollaMaiwa Enrekang,  Patau Johey oak di Inggris.

2. Hanya Boleh Digunakan oleh Sikerei

Dahulunya  cawat atau celana unik ini digunakan oleh semua lelaki dari suku Mentawai,  dalam perkembangan  selanjutnya hingga kini, terjadi perubahan ketentuan di mana diberlakukan pembatasan penggunaan.   Kabit sikerei ini kemudian hanya boleh dikenakan oleh sikerei, yakni seorang laki-laki yang menyandang status tabib di suku Mentawai.   Selain menjalankan fungsi sebagai pemimpin upacara adat, sikerei juga dikenal memiliki kemampuan dalam pengobatan tradisional dan penyembuh secara lebih luas.

3. Dibatasi 100 Lembar

Pembuatan Kabid Sikirei selain pembatasan  penggunanya  hanya oleh kalangan  kabit dari suku Mentawai ini,  maka  kabit atau cawat sikerei ini tidak boleh dibuat secara serampangan.   Menurut ketentuan dari suku Mentawai, kabit sikerei ini hanya boleh dibuat atau diproduksi dalam jumlah tertentu tak boleh lebih dari batas tersebut.   Pembatasan jumlah tersebut, yakni maksimal 100 lembar.

Anthony Kiedis tampil bersama band Red Hot Chili Peppers

4. Kearifan Lokal

Pembatasan jumlah pembuatan kabit sikerei ini menurut Tim Kajian Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional, merupakan sebuah kearifan lokal.   Menurut Valentina, antropolog dari Museum Nasional, kearifan lokal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan atau kelestarian pohon tarap,   "  Ini merupakan bagian dari kearifan orang Mentawai karena hutan dan alam merupakan bagian dari kehidupan mereka  ",  Ujar SiGaluh  Valentina dengan Boneernya (takut di dada).

5. Proses Pembuatan Kabit

Proses pembuatan kabit sikerei berlangsung cukup panjang,  bermula dengan  suku Mentawai melihat tanda-tanda alam berkaitan dengan masa terbaik untuk pengambilan kayu.   Setelah menemukan saat yang tepat, dilakukan pemilihan pohon yang baik dan penebangan pohon,  selanjutnya, dilakukan proses pemisahan kulit dari batang kayu.

Untuk proses pewarnaan kulit kayu, berlangsung cukup kompleks,  setidak pembuat membutuhkan lima bahan pewarnaan berupa tumbuhan yang ada di alam sekitarnya.   Sebagai informasi, dari sebatang pohon tarap yang diolah sedemikian rupa akan dihasilkan sekitar 10 lembar kabit sikerei.

Dalam unggahannya bersama dua orang Sikerei tersebut, Anthony Kiedis  yang tampak enjoy dengan tembakaunya. Tak lupa, ia juga menambahkan caption pada fotonya  “3 Shamans tobacco ceremony (seremoni tembakau 3 cenayang).  Namun, tak hanya pelantun “Scar Tissue” ini saja, model papan atas,  Stella Maxwell juga terlihat tengah berlibur ke Mentawai.  Senada dengan Anthony Kiedis, model Victoria Secret tersebut mengunggah potret dirinya yang tengah merokok dengan background pantai.

Sikerei Dukun Suku Mentawai berphose mengenakan Kabit culana khas 

 

 

Keunikan Suku Mentawai dengan Kabit Sikerei.

Karenanya Anthony Kiedis berpose khusus di Mentawai.

 

Sabtu, 20 April 2024

MANTAN ATLET BULUTANGKIS INDONESIA DI JERMAN DADI PEBISNIS KUE SETELAH DADI PELATIH

NusaNTaRa.Com   

byBakrIRoYMarteN,            R   a   b   u,    1   7      A   p   r   i   l      2   0   2   4 

Thera Deters Pebulutangkis jadi Pembuat Kue

Atlet bulu tangkis Jawa Barat, namun kini menjadi pengusaha kue atau patiseri di Jerman.   Ia mengambil langkah ganti profesi karena khawatir akan masa depannya jika hanya 'bergantung pada raket‘. Ia merasa perlu bekal untuk di hari tua. Oleh sebab itu ia memilih menekuni teknik pembuatan kue."Patiseri buat saya suatu hal yang bisa menyenangkan hati orang, apalagi kalau enak, bisa buat orang gembira. Kalau di  bidang olahraga ada batas waktu, misalnya kalau sekarang umur 35 atau 30 tahun saja sudah tidak bisa lari ke kanan-kiri, susah larinya," demikian alasan Thera Deters.

Ia kemudian mulai sekolah pembuatan kue ketika memasuki umur 26 tahun, "Saya yang paling tua. Teman-teman umurnya 16-18 tahun.   Tapi saya yakin, tidak ada kata terlambat untuk belajar,  "   ungkap Thera yang  sambil sekolah lagi, masih melatih bulutangkis di Jerman. "Prosesnya juga panjang, harus tiga tahun sekolah, harus mulai semuanya dari nol.   Pelajari tentang kalori, apa saja yang di dalam kue. Yang kedua tentang bagaimana tentang komposisi yang benar, tapi hasilnya juga benar.   Jadi kalau kuenya kenapa, kuenya lembap, waktu dibikin tiba-tiba di oven sudah mengembang, tiba-tiba kempes lagi. Jadi kita belajar analisa takaran bahan kue  ",  Ujae SiDin Thera Deters semangat .

Usai sekolah ia mencari pengalaman dengan bekerja membuat kue. Lalu Thera juga setelah mengambil pendidikan lanjutan, program master tahun 2012.   "  Kira-kira 1 tahun, saya ambil master satu tahun waktu itu.  Setelah ambil master, saya kerja lagi dulu, untuk mengumpulkan modal, tidak langsung buka.  Karena bikin toko kue modalnya besar   ",   Ujar SiDin  Thera Deters dengan Plabomoranya  (Hebatnya).

Jalan panjang ia lalui hingga akhirnya bisa membuat toko kue sendiri. Selama tujuh tahun lamanya ia mengumpulkan modal. "Tahun 2008 saya sudah berencana, ini saya mau buka sendiri, saya setiap hari menulis ide apa yang saya punya. Misalnya saya kalau lagi jalan-jalan ada ide, saya lihat ke toko, kafe, saya tulis, saya simpan di buku. Nah, selama tujuh tahun, terus misalnya uang saya sisihkan untuk beli perabotan, cetakan kue. Tahun 2008 saya sudah menyimpannya di gudang. Karena saya tahu, kalau saya buka modalnya besar sekali buat saya. Saya tidak punya sponsor, jadi lumayan," demikian Thera mengisahkan perjalanan panjangnya menjadi pebisnis kue.

"  Waktu itu saya juga masih melatih bulutangkis, jadi pemain juga, dari hasil itu saya kumpulkan sedikit-sedikit.  Saya selama itu bekerja di hotel, restoran, toko kue dan di rumah sakit.  Ini jadi pengalaman saya akan apa yang saya butuhkan nantinya  ”,   Tandas SiDin Thera Deters  yang bermukim di Frankfurt, Jerman ini.   Anna Pikser, warga Jerman yang bermukim di kota yang sama sangat menyukai kue buatan Thera Deters,    "  Saya pesan untuk acara ulang tahun.  Bentuknya unik dan rasanya sangat enak  ”,    Tandas SiDin Laji.

Meskipun sibuk berbisnis patiseri Bisnis kuena,  Thera  Deters  selalu menyempatkan diri berbagi rezeki dengan tunawisma yang hidup tak tentu di daerahna.    "  Kita kan sebagai manusia, kadang-kadang tidak bersyukur begitu, kadang-kadang suka mengeluh.   Cuma kalau saya lari ke orang yang tunawisma, saya lihat mereka kadang-kadang makan juga kurang, tidak ada tempat tinggal,  sekarang apalagi musim dingin, selimut juga tidak ada.  Terus saya lari ke mereka memotivasi hidup saya   ".

Thera Deters  membuatkan mereka kue dan membaginya langsung.  "  Saya panggangkan kue, saya potong-potongkan, saya antar dan bagikan ke mereka.   Motivasi buat saya pribadi, ada satu orang yang sempat peluk saya menangis, mereka bilang selama hidup mereka tidak pernah makan kue  yang istimewa.  Kalau kue saya maaf kata, harganya juga beda, karena kita buat sendiri, buatan tangan.   Mereka kadang-kadang mau beli juga takut, makanya kalau saya bagikan, mereka bersyukur sekali   ",    Pungkas SiDin Thera Deters dengan gembira.

Thera Deters asal Lampung pelatih Bulutangkis di Jerman


Mantan atlit Bulutangkis Bisnis pembuat Kue.

Jaminan selanjutnya setelah pension dadi pembuat Kue.

 

 

 

BAHASA JAWA DI SURINAME TERANCAM PUNAH BILA TAK DISELAMATKAN

NusaNTaRa.Com    

byBambanGNunukaN,  K a m i s,  1  8   A  p  r  i  l  2  0  2  4

Keluarga Sanikem di Suriname, generasi kedua orang Jawa, yang tinggal di Desa Tamanredjo,
45 menit perjalanan mobil dari ibu kota Paramaribo. Sanikem masih fasih berbahasa Jawa ngoko.

Memasuki Desa Tamanredjo di Distrik Commewijne, Suriname,  rasanya Tarmidi banget Lehh !! seperti bukan berada di ujung utara Benua Amerika Selatan namun yang terasa lebih pada suasana desa di Pulau Jawa, Indonesia.   Hawanya hangat dan sedikit lembap, khas negara tropis dengan sesekali angin menggerakkan ranting pohon-pohon yang ditanam di depan atau di belakang rumah.Anak-anak bermain di pinggir jalan desa yang tak terlalu ramai.  Yang lebih tua duduk-duduk di beranda rumah.

Tak kurang sesekali terdengar masyarakat memutar lagu-lagu pop Jawa dari koleksi almarhum Didi Kempot, komplit sudah Tamanredjo di Suriname ini benar-benar menyediakan nuansa Jawa.  Ketika berada di rumah yang berjarak 45 menit monil dari Kota Paramaribo yaitu Mbah Sanikem peremuan berusia 82 tahun bersama menantu Rudi serta anak perempuannya Roesmini dan Roesijem.   "  Tamanredjo iki... (Ini Tamanredjo)  ",  Ujar SiGalUH Sanikem yang mengenakan jarik berwarna cokelat tua dan kebaya merah.

Sanikem adalah generasi kedua dari pekerja kontrak yang dibawa pemerintah kolonial Belanda dari Jawa untuk bekerja di perkebunan tebu di Suriname pada 1890 hingga 1939,  selama periode itu tidak kurang 33.000 orang Jawa didatangkan ke Suriname.   Diantaranya ada pulang ke Indonesia atau pindah ke Belanda, namun sebagian besar menetap di negara yang berjarak sekitar 18.000 kilometer dari Pulau Jawa ini.

"  Aku wiwit cilik manggon neng Suriname, nanging ora bisa ngomong basa Londo (saya sejak kecil menetap di Suriname, namun tak bisa berbahasa Belanda)  ",  Ujar SiGaluH Sanikem dengan Boneernya (Manisnya).   Ngoko bahasa Jawa yang banyak digunakan disana,  yaitu tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa, yang dipakai untuk berbicara dengan orang sudah akrab, dengan orang yang lebih rendah kedudukannya, atau dengan orang yang lebih muda.   Tak jauh dari sana saya menemui Semoedi kelahiran 1940, pendatang kedua asal Jawa, fasih Jawa kromo.

Mbah Sanikem khawatir dengan nasib bahasa Jawa ke depan karena  makin sedikit anak-anak muda yang aktif berbahasa Jawa.   "  Sulit [meminta kalangan muda menggunakan bahasa Jawa]. Contohnya, menantu saya. Dia paham jika saya berbicara bahasa Jawa. Namun sulit baginya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Demikian juga dengan cucu-cucu saya. Saya sudah mengajari mereka [berbicara bahasa Jawa] namun tidak mudah mendorong mereka menggunakan bahasa ini  ",  Ujar SiDin Semoedi dengan Plengoan Jawanya. .

Semoedi sendiri belajar bahasa Jawa sejak kecil dengan berguru kepada  orang tua di desanya,  baginya untuk melestarikan bahasa Jawa adalah mendorong anak-anak muda untuk belajar dan aktif menggunakan bahasa ini,  "  Nak mboten, bahasa Jawi meniko nggih ical (jika tidak, maka bahasa Jawa ini akan hilang)  ".  Di Desa Tamanredjo Pengguna bahasa Jawa kromo Saat ini terbatas di kalangan orang-orang tua saja.  Generasi muda lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, bahasa pengantar di Suriname.

Rudi, menantu Mbah Sanikem, mengatakan,  "  Di sini ada banyak kelompok etnik sehingga ketika kami berbicara dengan mereka, kata-kata yang kami pakai campur-campur. Ya, pakai bahasa Belanda, ya bahasa Sranan Tongo.... ".   Beberapa anak muda di Pasar Saoenah, Paramaribo, mengatakan lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, dibandingkan bahasa Jawa.   Ernesto dan Kylie, mengatakan hanya bisa berbahasa Jawa secara pasif.  "  Saya tahu sedikit bahasa Jawa ... saya tinggal bersama nenek. Ia banyak berbicara bahasa Jawa namun saya berbicara dengannya dengan bahasa Belanda. Saya tak banyak belajar bahasa Jawa darinya  ",  Ujar SiDin Ernesto.

Ketika Ernesto memulai sekolah, ia lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo saat berbicara, jujur ia tidak merasa perlu bisa aktif berbahasa Jawa.  Baginya, cakap berbahasa Belanda dan Sranan Tongo sudah cukup. "  Orang-orang yang berinteraksi dengan saya tidak berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka menggunakan Belanda atau Sranan Tongo  ",  Ujar Ernesto dan menambahkan   "[Tetapi] kalau ada orang-orang tua berbicara bahasa Jawa, saya paham. Jika mereka berbicara dalam bahasa Jawa, saya biasanya akan menjawab dalam bahasa Belanda ".

Siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname mendengarkan acara 
 bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji,
direktur Radio dan Televisi Garuda.

Kylie mengatakan keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Ia mengatakan orang tuanya sebelum menikah jarang menggunakan bahasa Jawa di keluarga masing-masing.  Akibatnya, paparan bahasa Jawa menjadi minimal,  "  Saya hanya bisa sedikit bahasa Jawa  ",  Ujar SiGaluH Kylie dengan Ahmadernya (Manisnya).

Saat ditanya apakah dirinya khawatir suatu saat nanti bahasa Jawa akan hilang jika jumlah penuturnya makin sedikit, Kylie menjawab,  "  Iya, tentu saja. Saya menyesal [sebenarnya] karena tak bisa fasih berbahasa Jawa  ".   Kylie menambahkan bahwa ia punya keinginan untuk belajar bahasa Jawa. Ia sering mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa dan akan lebih mengasyikkan jika ia paham lirik lagu-lagu tersebut, kata Kylie.

5.  Dengan adanya siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname bisa mendengarkan dan menonton acara dalam bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji, direktur Radio dan Televisi Garuda.

Lain halnya dengan Jean Paul Armani yang merasa beruntung karena keluarganya aktif berbicara bahasa Jawa. Dari sini ia banyak belajar, yang membuatnya cukup fasih menggunakan bahasa Jawa,   "  Tidak paham 100%. Tetapi sebagian besar saya paham  ",  Cakap Besar Jean Paul. Seperti halnya keluarga Mbak Sanikem, Jean Paul hanya bisa berbahasa Jawa ngoko,  Paul juga terbantu dengan siaran Radio Garuda, salah satu stasiun radio berbahasa Jawa di Suriname.

Radio Garuda yang mengudara di frekuensi 105,7  didirikan pada 1996 untuk memperingati 105 tahun kedatangan orang-orang Jawa di Suriname,    menggambarkan bahwa Radio Garuda didirikan 105 tahun dan tujuh bulan setelah kedatangan pertama pekerja kontrak dari Jawa pada 9 Agustus 1890.  Hingga 1996, tidak ada stasiun radio yang secara khusus melayani kebutuhan orang-orang Jawa, stasiun radio hanya menyediakan dua jam siaran dalam bahasa Jawa. 

Kekhawatiran tentang nasib Bahasa Jawa, lebih jauh mendorong pencipta lagu dan penyanyi Suriname, Mantje Karso, berinisiatif untuk mempopulerkan lagu-lagu pop dengan lirik Bahasa Jawa.  Ia meyakini musik adalah salah satu cara efektif untuk membuat anak-anak muda suka dan bangga dengan bahasa Jawa.  "  Sekarang anak-anak muda kesulitan menggunakan bahasa Jawa. Melalui lagu, [harapannya] anak-anak muda lebih mudah [belajar dan] menggunakan bahasa Jawa. Mungkin ini salah satu cara yang paling gampang untuk mempertahankan tradisi Jawa  ",  Cakap SiDin Karso dengan Soppengernya (Jumawanya).

Generasi muda Jawa di Suriname, seperti Ernesto, lebih sering menggunakan
bahasa Belanda dan bahasa pengantar Sranan Tongo

Suku JAWA bangsa Suriname didatangkan Belanda. 

Orang Jawa Suriname khawatir punahnya Bahasa Jawa.




PETUALANGAN PERAHU BOROBUDUR 2003 HINGGA CAPE TOWN, DALAM EKSPEDISI JAKARTA – GHANA AFRIKA

NusaNTaRa.Com byLaDollaHBantA,            S   a   b   t   u,    2    7         A    p    r    i    l        2    0    2    4           P...