NusaNTaRa.Com
byMuhammaDNunukaN, M i n g g u, 0 3 N o v e m b e r 2 0 2 4
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahma eL Yunusiyyah di Madrasyah Diniyah Putri Pandang Panjang |
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid
laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas
dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan
terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang
notabene laki-laki, sementara murid perempuan
enggan bertanya, Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada
Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai
murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh
Hamka.
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat
(Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus
wanita pertama di Indonesia, harapannya perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai
dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tekadnya, " Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka
kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak
pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan
tidak bisa ? ".
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan
agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga
secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain
itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa
bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan
ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku,
penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah
Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Hajjah Rangkayo Rahmah Rasuna Said terjun ke dunia politik, bergabung dengan Majelis Islam Tinggi
Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi
iapun aktip diberbagai kegiatan
perempuan. Ia menjadi Ketua Hahanokai
di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam
Giyugun (semacam tentara PETA). Seiring
kemasukan Jepang ke Padang Maret
1942 dan memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa
sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan
tentara Jepang dan iapun
menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya.
Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945 langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah
segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali
mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di
sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah. Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk
sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22
Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah
seorang anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit
pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah
memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan
mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian
beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan
bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran
Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti
dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahma eL Yunusiyyah |
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua,
Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang.
Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia
ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang
Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah
pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di
Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5
bulan berikutnya.
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk
menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali
ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta
pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu
1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah.
Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran
agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman
Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk
melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam
Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara
Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus
perempuan. Pada Juni 1957, Rahmah
berangkat ke Timur Tengah. Usai
menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar
Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar
Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar,
dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada
perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar
untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat
(kampus khusus wanita) di
Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu
Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang
diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung. Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah
mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara
tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur
Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI, merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta,
kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan
perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk
di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir
1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut
bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang
mendukungnya.
Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS
Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir
hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri. Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan
hijab syar'i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern
yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahma eL Yunusiyyah aktip membina Perempuan Pembela Negeri |
Rahma wanita Minangkabau berbusana kerudung.
Wanita Gigih mengangkat derajat wanita di Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar