Senin, 17 Agustus 2020

FATMAWATI PENJAHIT SANGSAKA MERAH PUTIH DARI MUHAMMADIYAH.


NusanTaRa.Com
byMuhammaDBakri,                                                                                                     17    A g u s t u s    2020



Setiap hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, setiap itu pula kita melihat dan merasakan kebesaran Merah Putih berkibar dengan megah dibumi  Nusantara  mulai dari desa hingga Kota bahkan Istana negara Jakarta.     Menilik SangSaka merah putih tentunya tak lepas dari Fatmawati binti Hassan Din  sebagai Istri Presiden RI pertama yang  telah menjahit  sangsaka merah putih  disaat geting tersebut,  selain itu beliau pelopor pergerakan kemerdekaan  diusia belianya di Bengkulu dan menjadi ibu negara yang tangguh mendampingi Bung Karno di  zaman penjajahan Jepang.

Fatmawati (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980) istri Soekarno adalah putri dari pasangan Hasan Din dan  Siti Chadijah,  lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu.   Hasan Din  seorang Pengurus  Muhammadiyah Bengkulu serta pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij),  perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu dan Ibu Siti Chadijah  aktifis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.

Muhammadiyah tercatat memiliki cabang resmi di luar Jawa tahun 1925, yakni Cabang Muhammadiyah Maninjau didirikan AR Sutan Mansyur, namun Salim dan Hardiansyah dalam bukunya, “Napak Tilas Jejak Muhammadiyah Bengkulu (2019) mencatat,  jejak kultural dakwah berkemajuan yang menjadi pemantik berdirinya Muhammadiyah telah sampai di Bengkulu  tahun 1915 dibawa oleh para Muballigh Minangkabau.   Berdirinya Muhammadiyah di Bengkulu diperkirakan tahun 1925 saat kedatangan seorang nasionalis pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob Patty untuk menjalani masa pembuangan.

Situasi tanah air di tahun 1923-1930 yang subur dengan pergerakan Nasional notabenenya kontra dengan pihak penjajah Belanda, membuat Hassandin  harus memilih tetap dalam pergerakan Muhammadiyah atau keluar dri perusahaan besar belanda Borsumy (Borneo-Sumatera Maatschappij).   Beliau memantapkan diri untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah dengan pendapatan tak menentu  dan melanjutkan jalur perjuangan kemerdekaan.

Siti Chadijah ibu Faatmawati  tak kalah militan dalam perjuangan  Muhammadiyah  Syariat Islam,   aktif  dalam kepengurusan   Aisyiyah dengan  memberikan ketrampilan atau mengajar baca tulis kepada warga.   Saat Fatmawati menginjak usia remaja, baik Hassandin maupun Siti Chadijah telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, 
Fatmawati didik melalui Nasyi’atul ‘Aisyiyah, Organisasi Puteri Muhammadiyah.

Sejak kecil Fatmawati sudah terlihat bakat seninya terutama seni membaca Alquran dan sangat supel dalam bergaul,  sehingga ia memjadi pembaca Al-Qur’an pada Pembukaaan Kongres  Muhammadiyah di Palembang tahun 1936 dan sejak remaja telah aktif menjadi pelopor Nasyi’atul ‘Aisyiyah di Bongkulu.   Hingga Pengajar Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wahjudi Djaya, menggambarkan,    Bu Fatmawati jago membaca Al-Quran di Muktamar Muhammadiyah  ”,  Ujar SiDin  Wahjudi.

Setelah menikah dengan Soekarno, menjadi Ibu Negara merupakan peran yang sangat berat dan penting bagi Fatmawati. Ia harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan terpisah dari Bung Karno untuk menghindari penangkapan.   Dalam memperebutkan kemerdekaan, Fatmawati berperan ganda,  sebagai Ibu Negara, ia juga berperan dalam mendukung perjuangan bangsa dalam pertempuran.   Fatmawati kerap menjadi orator ulung dalam menyemangati rakyat dan pejuang merebut kemerdekaan yang membuat Bung Karno makin bangga dan mencintai Fatmawati.

Sejumlah kutipan Fatmawati yang cukup heroik ditulis oleh Bondan Winarno (2003) dalam bukunya Berkibarlah Benderaku.

  Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu  ”,  Ujar SiGaluh Fatmawati mengenang dan     Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih  ”,  Ujar SiGaluh Fatmawati.   Ungkapan tersebut dikarenakan Fatmawati sedang hamil tua dan sudah bulannya untuk melahirkan Guntur Soekarnoputra, putra sulung pasangan Bung Karno dan Fatmawati.    Dua hari menjahit baru selesai,  waktu  menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan.

Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati menjadi Bendera Pusaka hingga kini, berukuran 2 x 3 meter itu pertama dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.      Tak terbantahkan, peran dan fungsi bendera Merah Putih merupakan identitas negara paling abadi bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya yang selalu kita peringati di hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus  ”,   Ujar SiDin Guruh Soekarno Putra pada pengantar Buku Fatmawati “Catatan Kecil Bersama Bungkarno


Sejak Majapahit telah ada Merah Putih,
Fatmawati ibu negara penjahit sangsaka Merah Putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BRIGJEN TNI MIRZA PATRIA JAYA SE, KUNJUNGAN KERJA MONITORING DI SOBATIK KALIMANTAN UTARA

NusaNTaRa.Com byFarhaMTukirmaN,           S   e   l   a   s   a,    2   3      A    p    r    i    l     2   0   2   4 Rombongan  Brigjen TN...