Sabtu, 12 Oktober 2019

MENIKMATI TARIAN " BAKO KOI " DI HARI KEMERDEKAAN RI TAHUN 1968

NusanTaRa.Com
byBambanGBiunG, 10/10/2019

Selamat " ULANG TAHUN KABUPATEN NUNUKAN KE-20 ", 12 Oktober 2019 tetap jaya dan jadi beranda NKRI yang kuat dan utuh.


Pagi hari itu aku bersama SiEnim dan Baco sedang berjalan menuju  dermaga Liem Hie Djung,  untuk menyaksikan  perahu pembawa buah-buahan yang datang dari pedalaman karna saat ini lagi musim buah Ellai dan Cempedak yang banyak dipasarkan di Pasar lama dan sepanjang jalan Liem Hie Djung.   Baco langsung menunjuk ke salah satu perahu dari lima perahu yang bersandar dan kamipun menuju kesana,  perahu tersebut berasal dari Pembeliangan  dan Sebakis yang dimiliki warga  Dayak,  menurut mereka sudah dua hari di Dermaga tersebut dan akan kembali setelah buah habis sekaligus menyaksikan perayaan Hari Kemerdekaan RI  17  Agustus 1968 yang tinggal tiga hari lagi.

Sahabatku SiEnim warga suku Tidung memegang buah Cempedak sambil menanyakan harganya pada pemilik perahu, dan iapun menjawab “ Harga buah tersebut sebuah Rp 50, saja kalau yang agak besar lagi Rp 60 “.   Suasana dermaga yang tersusun dari dua batang kayu dan memanjang hingga 30 meter yang dirangkai dengan ikatan rantai besi,  berbau aroma buah Cempedak dan Ellai yang sangat tajam,  SiEnimpun  membawa satu buah serta hadiah sebuah Cempedak yang kecil.

Tak lama kami disana terlihat di muara sungai,  kebetulan dermaga berada di samping muara sungai,  6 perahu berkajang daun nipah berbaris masuk dermaga untuk merapat.   Setiap perahu dipenuhi warga dayak antara 10 – 15 orang dengan berbagai peralatan seperti Gong, Sampe, suling, sumpit dsb yang datang dari desa Pembeliangan, Sajau dan  Sekikilan,  "  Waktu yang kami butuhkan untuk kekampung kami dengan perahu dayung ini sekitar 4 hari - 2 minggu terutama saat pulang karna lawan arus sungai  ", Ujar SiDin Etnos warga sekikilan perahu ke tiga.   Kecamatan Nunukan terdiri dari Pulau Nunukan, P Sebatik dan Wilayah pedalaman, dihuni dari etnis Tidung, Banjar, Dayak Agabag dan Dayak Tegalan dan warga pendatang Suku Bugis, Jawa, Butun dan Timor.

Perahu yang pertama merapat ke dermaga batang tersebut ternyata berasal dari Desa Sajau di hulu sungai Sebuku, dengan memuat rombongan 12 orang di pimpin Pak Kulal, menurut si Baco yang mendapat penjelasan dari Pak Kulal bahwa rombongan berada di Nunukan untuk merayakan malam hari kemerdekaan yang tinggal tiga hari lagi,    Rombongan  datang dari Sajau, rombongan  mereka akan menari dalam perayaan HUT Kemerdekaan yang di undang Pak Camat  “, Ujar SiDin Baco sambil berliuran karena kegirangan akan menonton nanti.

Dengan meniti Jembatan batang satu-persatu penumpang turun menuju daratan dengan membawa peralatan mereka, SiEnim turut membantu dengan membawa membawa sebuah Gong Kecil Sementara aku membawa Sebuah sumpit yang akan diperagakan dipesta tersebut.    Para penumpang yang umumnya warga Dayak tersebut sebagian akan bermalam di Rumah Toke Liem Hie Djung yang merangkap  warung Dermaga dan sebagian lagi harus berjalan ke Lapangan Sepak Bola Kecamatan (sekarang Alun-alun kota) di rumat MatJawa dan tetangganya yang di hantar  SiEnim

Dimalam kedua hari Kemerdekaan sekitar  jam 07.30,  aku dan SiEnim telah berada di lapangan sepak bola yang diterangi balon Lampu listrik pada tiang-tiang  dari PT.  Inhutani,  menyaksikan  Tarian Gong.   Tarian Gong sebagai pembukaan setelah sebelumnya sambutan dari Pak Camat, tarian ini di bawakan Gadis Cantik dayak dengan pakaian adat hitam dengan tiga lembar bulu burung Enggang di kepala dan setiap tangan memegang beberapa bulu burung itu, dengan gemulai menari dengan lembut bak gerakan kepakan sayap dan gerakan burung Enggang yang menjadi simbol roh leluhur suku Dayak.   Sesekali gadis itu berputar lembut sambil menggigit Mandau di mulutnya berputar di atas Gong yang agak besar diiringi tabuhan Gong, tiupan suling dan petikan musik Sampe melahirkan irama khas dayak yang magik.

Malam hari kemerdekaan pertama sebelumnya di hiasi hiburan dari kesenian suku Tidung dengan  musik  gambus  yang dimainkan si Kira penabuh rebana dan Atuk Gajah pemetik gambus serta pemuda tidung lainnya dengan irama Islam.    Tarian kedua malam kedua ini dihibur dengan tarian pergaulan yang dibawakan penari suku Agabak yang di sebut “ Bako koi “,  Para penari dari gadis manis berbanjar 7 bergerak dengan tangan gemulai dan kaki perlahan, berbaju adat dayak seakan menanti pasangan yang ingin berdendang diiringi musik khas  dayak.   Si Baco yang baru tiba  masuk berdendang  di banjar ke 4 (saat itu ia 8 tahun) disamping Pak Atuk Gaja sang pemetik Biola desa Kampung kami, dengan berani dan agak riang sambil tertawa menghadapi gadis dan sembari menghapus  Liurnya.    Aku dengan ketakutanku mencoba masuk di banjar ke 6 tapi takut aku lari keluar sembari diisi orang tua lain yaitu siApek, cina tukang Solder.

Mendekati malam tarian Bako koipun semakin semarak terlihat Pak Atuk Gajah mengusapkan minyak harum ke kepala sang penari yang ada di hadapannya dan SiApek menyisipkan uang pada sipenari yang juga ada didepannya semuanya sebagai penghargaan dan terima kasih.   Hari semakin larut sebelum lampu mati sekitar Jam 24.00 pesta kesenian Hari kemerdekaanpun berakhir di Lapangan Kecamatan tepatnya di depan Losmen Arena (Saat itu Nunukan memiliki dua Penginapan,  satunya lagi SABAR MENANTI)  dan Rumah Pak Jangilung tokoh masyarakat Nunukan.
Perbatasan daerah terluar Indonesia,
Tarian Bako koi satu budaya warga Indonesia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DESA WAE REBO OLEH TIMEOUT TERMASUK SEBAGAI KOTA TERKECIL TERINDAH DI DUNIA.

NusaNTaRa.Com     byBambanGNunukaN,        S   e   l   a   s   a,     0    7       M     e     i        2    0    2    4     Rumah Adat Mb...