Jumat, 06 Juli 2018

SUKU BAJO DALAM KONDISI TERMARGINAL, PADA HAL IA MAKHLUK ISTIMEWA ALLAH

NusanTaRa.Com
bySiradjuddiNAzir&HasanIHamzaH, 8/2/2018

Hasani Hamzah, seniman multi-talenta (penulis, penyair, pemusik, sutradara) yang pernah jumpa di Sapeken (Jawa Timur) akhir 2017 lalu, ia merasa penasaran dengan statemen saya dalam artikel  “  Dewa Rau’ (Amun Ra’) Mesir adalah Dewanya Orang Bajo ?  ”,  Statemen dimaksud adalah frasa “.... betapa Tuhan menciptakan bumi ini hanya untuk dua bangsa :  SAMA dan BAGAI  ”.  
 
Syahdan  Allah SWT menciptakan bumi dan semua isinya ini,  hanya untuk dua kelompok manusia     yaitu SAMA (orang Bajo)  dan BAGAI (bukan Bajo),  setidaknya  demikian  gambaran stereotip yang tercetak dalam setiap benak orang Bajo akan kehidupan di muka bumi ini.    Batasan pengertian yang saya maksud bahwa,  yang dimaksud  SAMA ialah mereka yang hidup di laut dengan karakter spesifik SAMA  sedangkan BAGAI   mereka yang hidup di darat dengan segala atributnya selaku BAGAI.   Batasan ini menyangkut territorial  dan  keduanya  bukanlah  sebagai  kelompok etnis melainkan komunitas  atau  kalau seorang Bajo sudah pindah ke darat maka ia tergolong ke dalam kelompok BAGAI sedangkan seorang Bagai yang pindah kehidupan (mata-pencaharian)  ke  laut   maka ia  tergolong ke dalam kelompok SAMA.


Bahwa orang BAJO merupakan makhluk istimewa ciptaan Allah,  bukan sekedar retorika   tetapi  kenyataannya memang demikian adanya  ;

Pertama, bahwa Tuhan menciptakan bumi bagian lautan tempat mereka menetap jauh lebih luas dibanding bagian daratan  sedangkan penghuninya berbanding terbalik: penduduk daratan jauh lebih banyak dibanding mereka yang bermukim di laut.   

Kedua, pemerintah dan atau pemangku adat setempat membatasi kepemilikan lahan untuk BAGAI, baik untuk keperluan perumahan,  kebun, dsb dibatasi  dan dipersyaratkan memiliki sertifikat dan membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan),  Penggunaan lahan harus sesuai kepemilikannya bila menggarap  di luar kepemilikannya tentunya akan menghadapi amukan massa  sebelum diatasi  aparat penegak hukum.   Tidak demikian keadaannya kaum SAMA  yang menetap di laut, mereka bebas  menebang pohon bakau dan membangun rumah tanpa batasan luas lahan.   Lahan usahanya sebagai nelayan tidak dibatasi,  bebas  menangkap ikan melewati batas desa, batas kabupaten, dan batas propinsi (kecuali batas negara), untuk semua itu mereka tak perlu membuat sertifikat dan membayar PBB alias gratis tis tis. 

Ketiga, ketika  BAGAI melaksanakan mata-pencaharian  dia perlu menanam bibit,   membutuhkan modal awal yang relatif besar,  butuh pemupukan dan pemeliharaan,  disiram secara berkala,  ditunggu berbulan bahkan bertahun untuk tiba pada musim panen,  selama dalam pemeliharaan akan berhadapan dengan hama dan penyakit dan  Kebun harus dipagari agar usaha dapat lebih aman.   Sedang  SAMA  tentunya tidak  akan membutuhkan dan dipusingkan  itu semua  karena Bibit ikan, modal, pemupukan dan pemeliharaan, penyiraman, tidak perlu  menunggu massa panen, masalah hama penyakit, lahan usaha tidak perlu dipagari  dan sebagainya karena semuanya menjadi proses alami di laut yang mengikuti sunnatullah.  
 
Keempat, Bagi  BAGAI   menetap di daratan memiliki aturan bermasyarakat  yang harus diikuti secara bersama seperti  Pekarangan harus dijaga kebersihannya, tidak boleh buang sampah dan BAB (buang air besar) sembarangan harus pada WC yang tersedia.    Bagi  SAMA  yang menetap di laut tentunya  tidak memiliki permasaalahan seperti itu  karena laut yang selalu  bergerak bagi mereka bisa menjadi  pengatas atas semua itu.   

Tetapi .....

Dengan semua privilese yang disediakan Tuhan ini, bangsa SAMA  tetap menjadi kelompok termarginalisasi, terkebelakang  serta  semua kondisi inferiority complex yang menyertainya sejak dulu. Sekitar 10 – 20 tahun lalu di Sulawesi Tenggara (negeri saya) orang Bajo dianggap warganegara kelas dua, sehingga banyak orang Bajo yang tidak mau mengaku Bajo, bahkan berlagak Bagai (pababagai).

Saya pernah bercukur di Pasar Mandonga, Kendari. Tukang cukurnya nanya :
(+) Bapak orang apa?                        (–) Saya orang Bajo.
(+) Hah .... tidak mungkin ....            (–) Kenapa?
(+) Putih, ganteng, rambut lurus ....   (–) Huh .... jadi orang Bajo harus hitam, jelek, keriting, begitu ?

Inilah gambaran prototip bangsa SAMA di mata BAGAI.

Hampir semua ilmuwan domestik maupun asing yang melakukan penelitian tentang berbagai aspek kehidupan bangsa SAMA  berakhir dengan kesimpulan  “ tidak ada kesimpulan ”,   kebanyakan mereka tiba pada konklusi yang mengambang, sehingga menjadi bahan diskusi berkepanjangan yang pada umumnya tidak menghasilkan kesepakatan.     Tetapi orang Bajo (SAMA)  sendiri tidak merasakan dampak apa-apa dari hasil penelitian itu, bahkan mereka tidak tahu bahwa mereka diteliti.   Mereka dikategorikan kelompok marginal  tetapi mereka justru merasa nyaman dalam kondisi marginal itu.


Bajo berumah Perahu
Tengoklah kehidupan orang Bajo klasik,  Mereka tinggal di rumah sederhana  diatas laut, yang bergoyang  bagai  ayunan manakala diterjang gelombang atau diterpa badai.  Banyak rumah yang pintunya tidak berdaun,  karena fungsi daun pintu untuk  mencegah masuknya pencuri bgi mereka tidak perlu karena tidak ada isi rumah mereka yang perlu dicuri.   Kalau sudah menjual hasil tangkapannya, biasanya uangnya dibelanjakan sampai ludes  dibelikan bahan makanan dan barang-barang yang bahkan sebetulnya tidak dia butuhkan atau belum mendesak.  Mereka tidak memikirkan tabungan  karena setiap hari laut menyediakan ikan yang siap tangkap dan langsung bisa jadi uang. Mereka sangat menikmati kondisi hidup seperti itu,     FABI AYYI ALA IRABBI KUMA TUKADZDZIBAN   Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan  ?.

Kalau sudah kenyang, mereka berbaring tanpa baju,  Angin masuk dari segala penjuru :  pintu, jendela dan lantai (dalagang)   angin laut bebas virus  sehingga orang Bajo tak kan terserang flu.   Wah .... rasanya seperti di surga — menurut gambaran surga di benak mereka.     Para peneliti prihatin melihat kondisi kehidupan seperti ini,  di benak para peneliti  :   begitu banyak masalah yang membelit kehidupan mereka, tetapi bagi mereka sendiri hal itu bukan masalah, bahkan tidak ada masalah sama sekali.  Inilah masalahnya.

Yang menjadi pertanyaan  :   mengapa begitu banyak nikmat dan rahmat Allah yang telah diberikan kepada orang Bajo, tetapi mereka tetap terpuruk di bawah garis kemiskinan  ?.

Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang Bajo berada pada kondisi keterbatasan dan tersandera   dengan pengertian  “ tidak bisa menentukan nasibnya sendiri ”.   Mereka memproduksi ikan sebagai salah satu bahan makanan pokok utama,  tetapi mereka tidak bisa menentukan sendiri harga produksinya, melainkan sangat tergantung pada perilaku pasar (market behaviour).  Sebagai contoh : jika hasil tangkapannya 1 keranjang dibawa ke tempat pelelangan ikan, harganya bisa mencapai Rp 100 ribu. Jika hasil tangkapannya 2 keranjang, maka harga otomatis jatuh, menjadi Rp 50 ribu per keranjang, total Rp 100 ribu juga.  Dan jika hasil tangkapannya mencapai 4 keranjang, harga ikan jatuh lebih parah, menjadi Rp 25 ribu per keranjang. Total, kembali pada angka Rp 100 ribu. Kesimpulannya, peningkatan produksi tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan. Akibatnya, kehidupan ekonomi masyarakat nelayan tetap stagnan, tidak pernah beranjak dari bawah garis kemiskinan.

Kondisi tersebut sebetulnya sebuah anomaly ekonomi yang melenceng dari logika penalaran normal,  karena  Pelaku ekonomi nelayan (fishery) tidak membutuhkan input modal produksi yang besar,  Tuhan  telah menyediakan bentangan alam berupa samudera dengan luas tidak terbatas secara gratis,  dalam usaha tidak perlu berurusan  hama  penyakit ikan dan  Peralatan produksi biasanya dapat digunakan lama hingga ke turunan  namun realitanya mereka tidak dapat berkembang sebagaimana masyarakat BAGAI yang didaratan.   Arinya sebesar apapun produksi mereka tidak akan mampu peningkatan hidup mereka karena tidak didukung dengan kekuatan social, ekonomi dan budaya  yang mumpuni , sehingga mereka hanya berpegang pada kemampuan untuk berproduksi  yang mudah di rauf dari laut tapi mengekonomiskannya dengan baik mereka tak mampu atau tidak terkondisikan dengan baik. 
  
Tentunya ini menjadi PR bagi kita semua , untuk bagaimana mengatasi  budaya hidup mereka  yang sekarang  agar menjadi lebih baik  yang mampu mendukung kesejahteraan dan taraf hidup mereka sebagaimana warga Negara RI yang lain.  Sehingga hasil produksi mereka mendapat harga  atau nilai yang sebanding  dan bagaimana mereka dapat menata kehidupan mereka kearah yang lebih  baik,  jika perlu bagaimana mereka dapat memiliki pemukiman yang tetap namun didukung  dengan sumber kehidupan yang  tetap  terjaga  masih seputar perikanan. 
drLamanFB/SiradjuddinNazirWarga Bajo di Kendari



Hidup dilaut berkawan  Ombak dan Badai,
Suku BAJO penghuni lautan yang berjiwa Bahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PULAU BUNGIN SUMBAWA DI TENGAH LAUTAN JADI PULAU TERPADAT DI DUNIA

NusaNTaRa.Com byLaDollaHBantA,         R    a    b    u,       2    0         A    p    r    i    l        2    0    2    4 Pulau Bungin d...