Rabu, 29 September 2021

“ORANG LAUT”, PENDUDUK ASLI SINGAPURA YANG TERLUPAKAN MENYISAHKAN BUDAYA MAKANANNYA.

NusaNTaRa.Com

byThEGreaTBriteN,   S e l a s a,    1  4      S  e  p  t  e  m  b  e  r     2  0  2  1

Suku "Orang Laut" Singapura

Suku Laut sering kita temukan diberbagai belahan bumi Nusantara yang umumnya hidup dalam ketermarginalan kehidupan entah mereka itu serumpun dalam arti khusus atau tidak,  Tak terkecuali di Singapura Negara kecil dan termaju di Asia Tenggara, mereka masih ditemukan meski dalam kondisi yang jauh dari originalitasnya karena kemajuan dan pembauran dengan suku yang Melayu dan pendatang yang lebih maju.   Keberadaan mereka yang  terAsimilasikan  dengan budaya  Melayu  dan kehilangan  bahasa aslinya, membuat turunan pengembara suku laut  yang masih ada  menghidupkan kembali budaya mereka melalui makanan.

Mendiang bibinya Asnida Daud  yang  selalu menjanjikan sajian yang menggiurkan, dengan seluruh anggota keluarga duduk bersila di lantai dan makan dengan tangan seperti biasa dan  penyaji  beragam hidangan,  diantaranya asam pedas (sup ikan asam dan pedas) yang dibuat dengan Ikan Pari menjadi   teman sempurna untuk sepiring nasi putih lembut,     Asnida terus membuat makanan dengan satu cara yang dia tahu,  ini  telah dilakukan Asnida bertahun-tahun setelah bibinya pindah ke apartemen kecil di Clementi, sebuah kawasan perumahan di barat daya Singapura, jauh dari desa di tepi Pulau Sudong, tempat dia dulu tinggal,

Masakan Cumi suku Orang Laut  Singapura

Pulau Sudong  dilepas pantai selatan Singapura sekarang merupakan daerah pelatihan militer,  dulunya  merupakan  kawasan  pemukiman  bagi Orang Laut  (bahasa Melayu untuk "manusia laut"),  merekalah penduduk asli dan diyakini sebagai penduduk pertama Singapura.    Penyebutan paling awal tentang kelompok pengembara laut ini berasal dari sebuah buku seorang pelancong China ke Singapura pada abad ke-14, ratusan tahun sebelum kedatangan Inggris pada 1819.  Suku Orang Laut Singapura termasuk Orang Seletar yang tinggal di hutan bakau dekat Sungai Seletar, Orang Biduanda Kallang dari Sungai Kallang, Orang Gelam di akhir Sungai Singapura  dan Orang Selat dari Kepulauan Selatan.

Ibunya Asnida adalah Orang Laut  seperti suku Orang Galang di Indonesia, mereka pernah tersohor sebagai pendayung bagi Sultan Palembang.   Ketika saya berbincang dengan Asnida, yang kini menjadi pendidik dan pembela pelestarian warisan Orang Laut, saya bisa merasakan kegembiraannya saat mengingat kenangan manis memakan asam pedas semasa remaja,  dia mengatakan bahwa,   yang menonjol dari asam pedas di pulau utama, karena dibumbui dengan lada hitam yang dihancurkan menggunakan batu giling tradisional  “.

Bagaimana kampung terakhir di Singapura mencoba bertahan di tengah modernism,  Orang Laut secara tradisional hidup dari laut,  mencari makan dan berburu di hutan bakau, memancing di sungai dan laut, lalu beralih ke tanaman dan makanan laut saat mengobati penyakit dan cedera,  jadi  makanan lebih dari sekedar rezeki tetapi cara hidup.   Seiring waktu, dengan pembongkaran desa mereka dan perpindahan ke perumahan umum dari tahun 1960-an hingga 1990-an karena industrialisasi Singapura, Orang Laut menjadi terbiasa dengan perkotaan.

Sebagian besar mereka lantas diidentifikasi sebagai Melayu, sebuah kelompok etnis di Singapura yang mencakup masyarakat adat termasuk orang-orang dari Kepulauan Indonesia,  belakangan juga penganut Islam.   Demikian pula masakan Orang Laut, yang dicirikan oleh makanan laut segar yang diperoleh dengan metode penangkapan ikan tradisional dan dimasak sederhana dengan bumbu, ini semuanya hilang kedalam variasi makanan orang melayu, bahkan makanan mereka sudah tidak dikenal pasti  oleh keturunan Orang Laut itu sendiri.

Firdaus Sani cemas warisan budaya yang kaya ini akan hilang,  kemudian generasi keempat Orang Laut ini lalu memutuskan membuka  Warung Orang Laut Singapore tahun lalu, sebuah bisnis pengiriman makanan rumahan yang berfungsi ganda  sebagai inisiatif untuk membagikan budaya sekaligus penghormatan atas cara hidup tradisional komunitasnya.   "  Banyak makanan kami yang hilang dimakan waktu atau dianggap tidak unik  "  dan tambahnya Laji   "  Pencarian saya adalah untuk membagikan masakan Orang Laut kepada dunia dan membantu budaya ini menemukan tempatnya di peta makanan Singapura  ",  Ujar SiDin Firdaus Sani dengan Soppenger (jumawanya).

Ketika Firdaus dewasa ia tidak mengerti mengapa sotong hitam buatan keluarganya terasa berbeda dari yang dijual di warung makan Melayu.  Akhirnya ia memahami  bahwa  buatan keluarganya menggunakan Nos jenis  cumi-cumi yang lebih lebar dan panjang ketimbang cumi-cumi biasa dengan kandungan tinta paling banyak.   Ia mengetahuinya  saat  tinggal di Pulau Semakau,  pulau yang tidak jauh dari Pulau Sudong dan kini Semakau  oleh  pemerintah Singapura  dijadikan  pusat tempat pembuangan sampah.

"  Kami mencoba mempertahankan masakan kami dengan menggunakan metode memasak tradisional serta menghormati  resep kami, bagaimana makanan harus  sajikan dan mengapa beberapa binatang laut harus dimasak dengan cara-cara tertentu serta binatang unik lain seperti  Buntal, Sifut Rangga (keong laba-laba) dam moluska    ",  Ujar SiDim Firdaus.   Di keluarga Firdaus, ikan buntal dimasak dengan gaya "kerabu",   ikan  direbus  dicampur dengan kangkung dan serai lalu ditumis dengan pasta cabai kering, bawang putih, terasi, bawang merah dan lada hitam.

Waktu memasaknya sekitar satu hari,   mulai  dari mengulitinya, membagi bagian yang dapat dimakan dan membuang racunnya, semua dapat dimakan kecuali kulitnya, usus dibersihkan secara menyeluruh kemudian dikepang agar tidak pecah selama proses perebusan yang akan berlangsung selama berjam-jam  dan setelah direbus, tulang dibuang dan bagian seperti jeroan dan insang diiris tipis-tipis untuk dimasak.  Karena standar keamanan pangan Singapura yang ketat membuat Firdaus hampir tidak bisa menjual hidangan ikan ini. Dia hanya menawarkan hidangan tradisional lainnya seperti sotong hitam dan gulai nenas (nanas dalam kaldu udang) yang dimasak oleh ibu dan bibinya.

Firdaus dalam memenuhi pesanan kulinernya dalam satu peket dilengkapi  kartu pos berisi foto keluarga lama dan catatan yang menjelaskan hidangan dan detail anekdot kehidupan di Pulau Semakau (orang laut).   Perpindahan dan asimilasi  mengarah pada dekulturasi,  membuat sulit mendefenisikan  tempat fisik khas atau bahasa mendefinisikan identitas budaya Orang Laut dan mungkin hanya  makanan  dari sedikit hal yang tersisa dari budayanya.  "  Hanya tersisa keturunan Orang Laut di Singapura hari ini   ",   Ujar SiGaluH  Viviennee Wee antropolog penelitian lapangan terhadap masyarakat adat di Singapura dan Kepulauan Riau.   "  Tidak ada lagi konteks kesukuan. Generasi muda hanya memiliki ingatan generasi tua   ",  Ujarnya menambahkan.

Asnida Daud juga  mempelajari masakan Orang Laut yang dianggap memiliki manfaat kesehatan.  Menyajikan bubur dengan timun laut  setelah  melahirkan,  Sementara  nenek  Firdaus yang seorang bidan kerap membuat salad teripang mentah dengan buah cermai, asam jawa, cabai kering, terasi  dan kelapa goreng.   "  Makanan Orang Laut bukan hanya tentang kelangsungan hidup, tetapi salah satu cara nyata untuk mengekspresikan identitas kami   ",  Ujar SiGaluH  Asnida Daud  dan menambahkan,  "  Hidangan kami mencerminkan pengetahuan dan pengalaman  kami.  Misalnya, penggunaan asam jawa dalam asam pedas bukanlah suatu kebetulan.   Asam jawa memiliki sifat antibakteri  dan rasanya yang manis dan asam melengkapi rasa ikan, sumber utama protein Orang Laut  ", 

Bagi Mohamed Shahrom Bin Mohd Taha, cara hidup Orang Laut mengisyaratkan bagaimana kita bisa hidup lebih berkelanjutan juga.   "  Makanan adalah hadiah dari laut. Hormati laut dan jangan memancing secara berlebihan   ",   Ujar SiDin M Shahrom  guru sejarah yang neneknya Orang Laut, dari suku Orang Biduanda Kallang dan Bintan Penaung itu dan menambahkan,   "  Hari ini kami sangat terputus dari rantai makanan kami. Saya tidak memancing tetapi saya membawa anak-anak saya berjalan-jalan di pasang surut, dan liburan kami dihabiskan di laut  ".

"  Mengingat bahwa Orang Laut adalah penduduk asli Singapura, kisah mereka,  termasuk masakan mereka, adalah suatu hal yang lebih penting untuk diceritakan karena hal itu menangkap momen dalam waktu di dalam sejarah Singapura  ".    Warga Singapura sangat ingin mempelajari lebih banyak,   sejak buku Orang Laut Singapore diluncurkan pada Agustus 2020, pesanan mingguan meningkat lebih dari tiga kali lipat  di karenakan  larangan makan di tempat bahkan Kedutaan Besar ESTONIA di Singapura baru-baru ini memesan untuk Presiden ESTONIA yang baru perttama kalinya berkunjung ke Singapura.

Dalam upayanya untuk mempopulerkan masakan Orang Laut,  Firdaus  Sani sekarang mengabdikan  penuh waktunya  untuk Orang Laut Singapura, dengan mimpi menerbitkan buku dan membuka ruang yang tidak hanya menyajikan makanan Orang Laut, tetapi juga berbagi cerita dan tradisi.   Ini adalah tambahan tepat waktu untuk makanan lokal, mendorong makan bersama dengan orang-orang terkasih ketika banyak yang merasakan efek isolasi sosial saat pandemi berlangsung - dan memulai percakapan yang sudah lama tertunda tentang Orang Laut Singapura, satu kali makan pada satu waktu.

Orang Laut Selatar Singapura

Orang laut  terhimpit dibangunan Singapura,

Kuliner Orang Laut masih ditemukan  di Singapura.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DESA WAE REBO OLEH TIMEOUT TERMASUK SEBAGAI KOTA TERKECIL TERINDAH DI DUNIA.

NusaNTaRa.Com     byBambanGNunukaN,        S   e   l   a   s   a,     0    7       M     e     i        2    0    2    4     Rumah Adat Mb...