Sabtu, 20 April 2024

BAHASA JAWA DI SURINAME TERANCAM PUNAH BILA TAK DISELAMATKAN

NusaNTaRa.Com    

byBambanGNunukaN,  K a m i s,  1  8   A  p  r  i  l  2  0  2  4

Keluarga Sanikem di Suriname, generasi kedua orang Jawa, yang tinggal di Desa Tamanredjo,
45 menit perjalanan mobil dari ibu kota Paramaribo. Sanikem masih fasih berbahasa Jawa ngoko.

Memasuki Desa Tamanredjo di Distrik Commewijne, Suriname,  rasanya Tarmidi banget Lehh !! seperti bukan berada di ujung utara Benua Amerika Selatan namun yang terasa lebih pada suasana desa di Pulau Jawa, Indonesia.   Hawanya hangat dan sedikit lembap, khas negara tropis dengan sesekali angin menggerakkan ranting pohon-pohon yang ditanam di depan atau di belakang rumah.Anak-anak bermain di pinggir jalan desa yang tak terlalu ramai.  Yang lebih tua duduk-duduk di beranda rumah.

Tak kurang sesekali terdengar masyarakat memutar lagu-lagu pop Jawa dari koleksi almarhum Didi Kempot, komplit sudah Tamanredjo di Suriname ini benar-benar menyediakan nuansa Jawa.  Ketika berada di rumah yang berjarak 45 menit monil dari Kota Paramaribo yaitu Mbah Sanikem peremuan berusia 82 tahun bersama menantu Rudi serta anak perempuannya Roesmini dan Roesijem.   "  Tamanredjo iki... (Ini Tamanredjo)  ",  Ujar SiGalUH Sanikem yang mengenakan jarik berwarna cokelat tua dan kebaya merah.

Sanikem adalah generasi kedua dari pekerja kontrak yang dibawa pemerintah kolonial Belanda dari Jawa untuk bekerja di perkebunan tebu di Suriname pada 1890 hingga 1939,  selama periode itu tidak kurang 33.000 orang Jawa didatangkan ke Suriname.   Diantaranya ada pulang ke Indonesia atau pindah ke Belanda, namun sebagian besar menetap di negara yang berjarak sekitar 18.000 kilometer dari Pulau Jawa ini.

"  Aku wiwit cilik manggon neng Suriname, nanging ora bisa ngomong basa Londo (saya sejak kecil menetap di Suriname, namun tak bisa berbahasa Belanda)  ",  Ujar SiGaluH Sanikem dengan Boneernya (Manisnya).   Ngoko bahasa Jawa yang banyak digunakan disana,  yaitu tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa, yang dipakai untuk berbicara dengan orang sudah akrab, dengan orang yang lebih rendah kedudukannya, atau dengan orang yang lebih muda.   Tak jauh dari sana saya menemui Semoedi kelahiran 1940, pendatang kedua asal Jawa, fasih Jawa kromo.

Mbah Sanikem khawatir dengan nasib bahasa Jawa ke depan karena  makin sedikit anak-anak muda yang aktif berbahasa Jawa.   "  Sulit [meminta kalangan muda menggunakan bahasa Jawa]. Contohnya, menantu saya. Dia paham jika saya berbicara bahasa Jawa. Namun sulit baginya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Demikian juga dengan cucu-cucu saya. Saya sudah mengajari mereka [berbicara bahasa Jawa] namun tidak mudah mendorong mereka menggunakan bahasa ini  ",  Ujar SiDin Semoedi dengan Plengoan Jawanya. .

Semoedi sendiri belajar bahasa Jawa sejak kecil dengan berguru kepada  orang tua di desanya,  baginya untuk melestarikan bahasa Jawa adalah mendorong anak-anak muda untuk belajar dan aktif menggunakan bahasa ini,  "  Nak mboten, bahasa Jawi meniko nggih ical (jika tidak, maka bahasa Jawa ini akan hilang)  ".  Di Desa Tamanredjo Pengguna bahasa Jawa kromo Saat ini terbatas di kalangan orang-orang tua saja.  Generasi muda lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, bahasa pengantar di Suriname.

Rudi, menantu Mbah Sanikem, mengatakan,  "  Di sini ada banyak kelompok etnik sehingga ketika kami berbicara dengan mereka, kata-kata yang kami pakai campur-campur. Ya, pakai bahasa Belanda, ya bahasa Sranan Tongo.... ".   Beberapa anak muda di Pasar Saoenah, Paramaribo, mengatakan lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, dibandingkan bahasa Jawa.   Ernesto dan Kylie, mengatakan hanya bisa berbahasa Jawa secara pasif.  "  Saya tahu sedikit bahasa Jawa ... saya tinggal bersama nenek. Ia banyak berbicara bahasa Jawa namun saya berbicara dengannya dengan bahasa Belanda. Saya tak banyak belajar bahasa Jawa darinya  ",  Ujar SiDin Ernesto.

Ketika Ernesto memulai sekolah, ia lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo saat berbicara, jujur ia tidak merasa perlu bisa aktif berbahasa Jawa.  Baginya, cakap berbahasa Belanda dan Sranan Tongo sudah cukup. "  Orang-orang yang berinteraksi dengan saya tidak berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka menggunakan Belanda atau Sranan Tongo  ",  Ujar Ernesto dan menambahkan   "[Tetapi] kalau ada orang-orang tua berbicara bahasa Jawa, saya paham. Jika mereka berbicara dalam bahasa Jawa, saya biasanya akan menjawab dalam bahasa Belanda ".

Siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname mendengarkan acara 
 bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji,
direktur Radio dan Televisi Garuda.

Kylie mengatakan keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Ia mengatakan orang tuanya sebelum menikah jarang menggunakan bahasa Jawa di keluarga masing-masing.  Akibatnya, paparan bahasa Jawa menjadi minimal,  "  Saya hanya bisa sedikit bahasa Jawa  ",  Ujar SiGaluH Kylie dengan Ahmadernya (Manisnya).

Saat ditanya apakah dirinya khawatir suatu saat nanti bahasa Jawa akan hilang jika jumlah penuturnya makin sedikit, Kylie menjawab,  "  Iya, tentu saja. Saya menyesal [sebenarnya] karena tak bisa fasih berbahasa Jawa  ".   Kylie menambahkan bahwa ia punya keinginan untuk belajar bahasa Jawa. Ia sering mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa dan akan lebih mengasyikkan jika ia paham lirik lagu-lagu tersebut, kata Kylie.

5.  Dengan adanya siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname bisa mendengarkan dan menonton acara dalam bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji, direktur Radio dan Televisi Garuda.

Lain halnya dengan Jean Paul Armani yang merasa beruntung karena keluarganya aktif berbicara bahasa Jawa. Dari sini ia banyak belajar, yang membuatnya cukup fasih menggunakan bahasa Jawa,   "  Tidak paham 100%. Tetapi sebagian besar saya paham  ",  Cakap Besar Jean Paul. Seperti halnya keluarga Mbak Sanikem, Jean Paul hanya bisa berbahasa Jawa ngoko,  Paul juga terbantu dengan siaran Radio Garuda, salah satu stasiun radio berbahasa Jawa di Suriname.

Radio Garuda yang mengudara di frekuensi 105,7  didirikan pada 1996 untuk memperingati 105 tahun kedatangan orang-orang Jawa di Suriname,    menggambarkan bahwa Radio Garuda didirikan 105 tahun dan tujuh bulan setelah kedatangan pertama pekerja kontrak dari Jawa pada 9 Agustus 1890.  Hingga 1996, tidak ada stasiun radio yang secara khusus melayani kebutuhan orang-orang Jawa, stasiun radio hanya menyediakan dua jam siaran dalam bahasa Jawa. 

Kekhawatiran tentang nasib Bahasa Jawa, lebih jauh mendorong pencipta lagu dan penyanyi Suriname, Mantje Karso, berinisiatif untuk mempopulerkan lagu-lagu pop dengan lirik Bahasa Jawa.  Ia meyakini musik adalah salah satu cara efektif untuk membuat anak-anak muda suka dan bangga dengan bahasa Jawa.  "  Sekarang anak-anak muda kesulitan menggunakan bahasa Jawa. Melalui lagu, [harapannya] anak-anak muda lebih mudah [belajar dan] menggunakan bahasa Jawa. Mungkin ini salah satu cara yang paling gampang untuk mempertahankan tradisi Jawa  ",  Cakap SiDin Karso dengan Soppengernya (Jumawanya).

Generasi muda Jawa di Suriname, seperti Ernesto, lebih sering menggunakan
bahasa Belanda dan bahasa pengantar Sranan Tongo

Suku JAWA bangsa Suriname didatangkan Belanda. 

Orang Jawa Suriname khawatir punahnya Bahasa Jawa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANDI RENDI RUSTANDI ANAK BURUH DAN PENJUAL GORENGAN SERING TERUSIR BEKERJA DI LEMBAGA RISET BESAR JEPANG

NusaNTaRa.Com byAsnISamandaK,             S    a    b    t    u,      3     0        M     a     r     e     t        2     0     2     4   ...