Senin, 23 September 2019

KEHIDUPAN SUKU KAJANG BERSAHABAT DENGAN ALAM DEKAT DENGAN TRADISI WARNA HITAM.

NusanTaRa.Com
byJoneDPringgoNDandI, 28/07/2019



  Salamakki Antama’ Ri Lalang Embaya Rambang Seppanna I Amma “, bahasa Indonesianya Selamat datang di kawasan tempat kecil Amma, demikianlah sebait kata yang tertulis dalam bahasa Konjo baik dalam tulisan Latin maupun dalam aksara Lontara pada sebuah papan hitam di pintu gerbang ketika kita memasuki perkampungan adat suku Kajang di Desa Tana toa Kec. Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

Bahasa Konjo merupakan satu bahasa yang umumnya digunakan masyarakat yang bermukim di wilayah Timur Kabupaten Bulukumba  yang meliputi Kecamatan Kajang, Herlang, Bonto Tiro, dan Bonto Bahari.  Bulukumba sejak dahulu terkenal dengan masyarakat baharinya yang dengan gagah beraninya mengarungi lautan Nusantara dan daerah ini terkenal akan Perahu Phinisnya yang tahun 1980an pernah teruji melayari Eropah Indonesia dan Indonesia Vancouper Canada.  

Sebagai mana kampung adat yang ada di Nusantara Kampung adat Suku Kajang memiliki kekhasan tersendiri dengan berbagai keunikan dan tradisi tersendiri, seperti ketika memasuki kawasan kampung adat ini pengunjung diharuskan untuk melepas alas kaki dan dianjurkan pula untuk memakai pakaian berwarna hitam serta tak diperkenankan menggunakan kendaraan apapun.   Ktika pengunjung yang datang tidak mengenakan pakaian hitam, di samping gerbang disediakan pakaian adat yang bisa disewa oleh pengunjung  dengan harga Rp 100 ribu untuk 3 pakaian adat yang bisa kita pakai.

Begitu pengunjung melewati gerbang suasana asri dengan kerindangan pepohonan menghiasi perjalanan berhawa sejuk dan tenang, kita akan berpapasan dengan hewan ternak seperti sapi dan kuda lalu lalang serta warga suku kajang tanpa menggunakan alas kaki di jalan umum kawasan adat.   Didepan Pintu gerbang tadi terdapat sekolah tapi disini pelajar tidak menggunakan pakaian seragam Putih merah melainkan Putih Hitam.

Masyarakat Suku Kajang dipimpin  AmmaToa dalam  pemerintahannya  dibantu 26 Galla atau menteri dengan berpedoman pada sembilan pasal yang dijadikan sistem pemerintahan di Suku Kajang.   "  Cara hidup kita di sini diatur oleh Pasang. Pasang semacam petuah yang tidak tertulis yang disampaikan secara lisan dari leluhur. Pasang meliput beberapa unsur dalam kehidupan baik mengatur bidang kelangsungan hidup dan lain-lain ", Ujar SiDin Sultan Kepala Desa Tana Towa.   Sultan pun mengatakan, adanya Ammatoa bertugas untuk mendoakan manusia dan seisi alam agar jauh dari bahaya. Karena masyarakat Suku Kajang meyakini daerah dimana mereka tinggal sekarang, Tana Towa, adalah tanah tertua yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan.

Bahasa kotor dalam kawan kampung adat ini tidak diperkanan sama sekali, "  Bahasa kotor dilarang. Kalau ada, didenda beli pakaian dua juta  ", Ujar SiDin Amma Toa.   Suku ini juga mempunyai karma tersendiri tantang Hutan adat yang disebut “ Borong Karama “,  Hutan tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis yang berdampak pada keberlangsungan hidup suku mereka.   Siapapun tidak boleh menebang pohon sembarangan di dalam kawasan adat bagi siapa yang melakukannya maka akan mendapat sangsi denda sebanyak Rp 12 juta kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan itupun ia harus menanam pohon terlebih dahulu. 

Memasuki kawasan kampung adat ini, anda akan berkessimpulan bahwa kawasan ini menolak modernisasi karena didalanya anda tidak menemukan Pemakai selipar, memasak menggunakan kayu, tidak ada handphone, dan tidak ada listrik, karena aturan adat kawasan ini memang melarang sarana modern.   "  Andaki modereng  ", Ujar SiDin Amma Toa yang artinya, "  Kami tidak ingin modern  " karena semua itu telah menjadi tradisi turun-temurun I kawasan suku Kajang ini.

Tentang larangan memakai alas kaki,  seorang pemuda Kajang berbusana serba Hitam berkata,  "  I nai mami langhargaii buttayya punna talia bangsatannimae  "  yang bermakna “  siapa lagi yang akan menghargai tanah tersebut jika bukan mereka  “.   Masyarakat Suku Kajang dikenal dengan keterampilannya menenun yang menjadi sumber pendapatan mereka, Seperti Juma, perempuan penenun di kawasan adat.  Warna sarungnya hitam, dengan sedikit motif berwarna biru tua. Satu sarung dibandrol dengan harga dari Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Tergantung dari kualitas dan kerumitan dalam proses pembuatannya.

Warna hitam sepertinya memang sudah menjadi simbol masyarakat Desa Tana Towa yang didiami oleh Suku Kajang, sehingga hampir semua pakaian mereka mulai dari Sarung, Baju, hingga penutup kepala berwarna hitam.  Hitam, bagi mereka merupakan filosofi hidup, yang bermakna dari alam gelapnya rahim di kandungan ibu kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal.

Warna Magis Warna Hitam,

Masyarakat Kajang hidup dekat dengan Alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERUNG TAKOKAK PERDU YANG NYAMAN DI LALAP, BERKHASIAT DALAM MENYEMBUHKAN ASAM URAT DAN PENYAKIT LAINNYA.

NusaNTaRa.Com      byAsnISamandaK,            S    e    l    a    s    a,       0    7        M     e     i       2    0    2    4 Perdu...