NusaNTaRa.Com
byPakeLEE, K a m i s, 0 4 O k t o b e r 2 0 2 4
Kereta penumpang Lane Xang di Jalur Kereta China-Laos melintas sebuah fasilitas pemeliharaan di Luang Prabang, Laos,
pada 30 Maret 2023.
Somsavat Lengsawad, penasihat pemerintah Laos dan Partai
Revolusi Rakyat Laos, yang terlibat
dalam proyek kereta api Laos-China sejak awal, mengatakan kepada BBC Thai bahwa
konstruksi telah rampung lebih dari 90% dan pekerjaan dasar di semua area untuk
pembukaan layanan terus berjalan dengan baik.
Otoritas Laos dan China serta
perusahaan joint-venture yang mengawal konstruksi bersama-sama menegaskan
kembali bahwa proyek akan selesai sesuai jadwal pada 2 Desember ketika Laos
merayakan Hari Nasional.
Pembangunan proyek senilai AS$5,9 miliar dimulai pada tahun
2016 di tengah keraguan bahwa investasi besar yang mencakup sekitar 1/3 dari
ekonomi Laos akan mendorong negara itu ke dalam perangkap utang karena 60% dari
dana tersebut atau sekitar AS$3,5 miliar adalah pinjaman dari Export-Import
Bank of China sebagai pemodal proyek, sehingga menambah utang negara kecil itu
sebanyak lebih dari AS$1 miliar. Sisa
40% dari uang investasi diubah menjadi kepemilikan sahamnya dalam proyek - Laos
diminta untuk urunan AS$730 juta. Dari jumlah tersebut, AS$250 juta berasal
dari anggaran nasional Laos dan sisanya AS$480 juta akan didanai juga melalui pinjaman
dari pemodal yang sama - Exim Bank of China.
Secara keseluruhan, Laos akan dibebani dengan utang melebihi AS$14
miliar - jumlah yang mengejutkan, mengingat PDB Laos sebesar
AS$19,14 miliar [K5], menurut Bank Dunia pada tahun 2020. Somsavat, ketika masih menjabat wakil
perdana menteri dan menteri luar negeri Laos yang merupakan tokoh sentral dalam
perundingan dengan China mengatakan, '' Saya menyadari sepenuhnya masalah ini ketika
kontrak dibuat, jadi saya mengusulkan agar perusahaan patungan itu mengambil
seluruh utangnya dan menggunakan proyek ini sebagai jaminan untuk pinjaman
mereka sendiri. Dengan cara itu, proyek ini tidak membebani pemerintah ".
Sebuah laporan Bank Dunia pada 2020 mengatakan kereta api
sepanjang 414 km itu merupakan bagian integral dari Koridor Ekonomi
China-Indochina dari Enam Koridor Ekonomi Internasional di BRI yang diusulkan
China. Sistem kereta api berkecepatan
tinggi itu akan menghubungkan Kunming di China Selatan dengan Singapura melalui
Laos, Thailand dan Malaysia. Desain rel
listrik tersebut, dengan jarak antar rel 1,435 mm, dapat dilalui kereta api
berkecepatan tinggi yang melaju dengan kecepatan lebih dari 250 km per jam,
meskipun di Laos, kecepatan kereta penumpang 160-200 km per jam dan kereta
barang 120 km per jam.
Dr. Trin Aiyara, ilmuwan politik di Universitas Walailak di
Thailand, mengatakan bahwa proyek kereta api China mendukung kepentingan
pembangunan strategis bersama antara China dan ekonomi Asia Tenggara karena
China ingin memperdalam pengaruh politik dan ekonominya di kawasan dan secara
bersamaan memperluas akses pasar untuk barang-barang industri China, sehingga
merangsang pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di wilayah selatan daratan itu.
Jaringan tersebut pada akhirnya akan melontarkan China untuk menjadi pusat
ekonomi dunia baru.
Akademisi Thailand itu mengatakan, keuntungan yang akan
didapat kawasan ini adalah mereka akan memiliki mega-infrastruktur baru untuk
terhubung dengan dunia, peluang urbanisasi tanah di sepanjang rute, khususnya
di daerah perbatasan baik dengan China atau negara lainnya, dan stimulus untuk
meningkatkan ekonomi domestik mereka. Greg
Raymond, dosen Pusat Studi Strategis dan Pertahanan di Australian National
University (ANU), mengatakan China akan menuai keuntungan ganda jika
pembangunan infrastruktur ini menjadi kenyataan.
Keuntungan pertama, jaringan
transportasi kereta api menghubungkan China dengan Asia Tenggara dan
memberikannya lebih banyak akses ke negara-negara di kawasan tersebut yang ada
di 'halaman belakang'-nya. Keuntungan
Kedua, China dapat menggunakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru di kawasan
sebagai simpul untuk mengontrol produksi, rantai permintaan, dan konsumsi. China juga bekerja sama dengan pemerintah
Indonesia untuk membangun rute kereta api cepat Bandung-Jakarta. Jalur
sepanjang 140,9 kilometer itu disebut akan mulai diuji coba pada Oktober 2022.
Rute ini akan menghubungkan empat stasiun, dan di setiap
stasiun akan dibangun Transit Oriented Development (TOD) untuk mendorong
lahirnya sentra ekonomi baru di koridor Jakarta-Bandung. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dibangun
oleh PT Kereta Cepat Indonesia China, yang merupakan gabungan konsorsium BUMN
Indonesia dan konsorsium China Railways dengan skema business to business.
Ketika meresmikan proyek ini di Bandung pada 2016 silam,
Presiden Joko Widodo menjelaskan skema pembiayaan kereta cepat yang tidak
menggunakan APBN. " Karena APBN diperuntukkan bagi infrastruktur
luar Jawa. Misalnya jalan tol Makassar-Manado, kereta di Papua. APBN
akan kita arahkan ke sana ", Ujar SiDin Jokowi dan " Jangan sampai Jawa sentris lagi. Melainkan,
kita arahkan menjadi Indonesia sentris ", Ujar
SiDin Jokowi. Namun, belakangan proyek
ini diliputi kontroversi. Proyek yang semula dirancang menelan biaya $6,07
miliar atau sekitar Rp88 triliun dilaporkan mengalami pembengkakan biaya
sebesar 23 persen atau sekitar Rp20 triliun yang akhirnya ditanggung oleh
pemerintah.
Rute Kreta Cepat yang melintasi China - Laos |
Oleh karena itu, layanan kereta api berkecepatan tinggi harus
bergantung pada pengangkutan kargo, karena biaya pengangkutannya yang lebih
rendah. Setelah jaringan kereta api
regional yang menghubungkan China dengan Singapura beroperasi penuh, Bank Dunia
memperkirakan bahwa angkutan barang lintas batas, transit dan domestik akan
meningkat sebanyak 2,4 juta ton per tahun pada tahun 2030, sedangkan bagian
kereta api Laos-Cina diperkirakan dapat mengangkut hingga tujuh juta ton
barang.
Studi Raymond mengidentifikasi China sebagai pemain kunci dalam
pengembangan KEK di Laos. Kota Boten
dibangun, dimiliki, dan dikelola oleh China sejak tahun 2003 di bawah
perjanjian sewa 99 tahun. Selama hampir dua dekade, kota itu telah berfungsi
sebagai pusat ekonomi China di bagian utara Laos. Saat
ini, orang-orang Laos tidak akan menikmati banyak manfaat langsung dari
pembangunan sistem kereta api cepat. Wakil Perdana Menteri Laos Sonsai
Siphandone pada pertengahan Juni lalu mendesak perusahaan patungan untuk
menambah jumlah pekerja dari warga Laos - yang saat ini berjumlah 700 orang.
Kantor Berita China Xinhua melaporkan pada 26 Juni bahwa
pihak China sedang melatih 636 rekrutan muda Laos untuk bekerja di sistem
kereta api yang diharapkan dapat dibuka untuk publik akhir tahun ini. Beberapa
dilaporkan akan dipekerjakan sebagai masinis kereta api, atau bekerja di
fasilitas atau area pemeliharaan. Sebuah klip yang ditayangkan oleh kantor
berita menunjukkan pramugari kereta China berlatih percakapan dalam bahasa
Laos. Raymond mengatakan kepada BBC
Thai bahwa timbul gesekan sosial dalam pekerjaan di jalur kereta api Laos-China
karena para pekerja Laos dibayar lebih rendah daripada sejawat mereka yang dari
China, tetapi mereka tidak berani mengeluh.
Terlepas dari upaya bersama China dalam mendorong
pembangunan jaringan kereta api di Asia Tenggara dan pandangan analis bahwa
China akan menjadi pemenang terbesar dibandingkan mitranya di kawasan itu,
Raymond menunjukkan bahwa jalan yang diambil China bukan tanpa hambatan. Laos sejauh ini adalah satu-satunya negara
yang berada dalam posisi sulit untuk menolak tawaran China. Ekonomi terbesar di
ASEAN, yaitu Thailand, memiliki daya tawar yang lebih besar dan dapat lebih
memanfaatkan BRI. Thailand melihat
bahwa ada keuntungan dalam menghubungkan sistem kereta api berkecepatan tinggi
domestiknya dengan jalur kereta api China-Laos, tetapi mereka sangat sadar
bahwa mereka terlalu cepat terpikat ke dalam lingkup pengaruh China.
Negara ini telah memutuskan untuk membuat langkah
perhitungan dengan berfokus terlebih dahulu pada pengembangan kereta api
Bangkok-Nakhon Ratchasima alih-alih satu investasi besar untuk menghubungkan
Bangkok dengan Nong Khai - sebuah provinsi perbatasan di Timur Laut Thailand. Dr. Trin mengatakan China menghadapi banyak
rintangan sebelum mewujudkan proyek impiannya menjadi kenyataan. Yang paling
utama di antaranya adalah posisi utang Laos yang genting, resesi ekonomi di
Thailand, aturan yang rumit dalam sistem hukum negara mitra dan pembatalan
proyek kereta cepat Singapura-Malaysia pada Januari, yang diresmikan lebih dari
satu dekade lalu pada 2010.
Pada abad ke-21, negara-negara kecil mendapati diri mereka tidak siap menghadapi tren pembangunan internasional dan pengaruh China yang semakin besar. Berbicara kepada BBC Thai, Raymond menyimpulkan bahwa Thailand dan Vietnam, dua ekonomi terbesar di daratan Asia Tenggara, mungkin memiliki kemampuan manuver yang lebih besar untuk mengatasi tantangan dan tekanan tersebut dan dapat dengan gesit menggunakan BRI untuk keuntungan mereka lebih baik daripada negara kecil seperti Laos. Namun demikian, Laos masih punya pilihan dengan menjaga hubungan baik dengan mantan sekutunya, Vietnam.
Peresmian proyek kereta cepat Laos-China |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar