NusaNTaRa.Com
byMapiroHBorrA, S e n i n, 1 3 M
e i 2
0 2 4
Monumen Collieq Pujie di Barru |
Salah satu karya
tulisannya terkait tokoh yang sangat erat dengan Arung Pancana kala itu adalah karya sastranya “ La Galigo “, menjadi tanda tanya, entah apa yang ada di benak Colliq Pujie
ketika dia menyetujui permintaan Benjamin Frederik Matthes, seorang missionaris
Belanda untuk menyalin kembali epos besar
Bugis La Galigo tersebut. Nyatanya,
salinan ulang tersebut lebih dari seratus tahun kemudian masih terus
mencengangkan dunia, tidak hanya karena panjang
epos yang melebihi Mahabharata ini yang dikulik ahli dari beberapa negara. Colliq Pujie-pun menjadi subjek perbincangan
dan penelitian.
Memiliki Banyak Kemampuan
Colliq Puji memiliki
banyak kemampuan. Kecerdasan emosional
dalam memilah persoalan dan mengambil keputusan misalnya, begitu tampak saat
cucu syahbandar terkaya di Sulawesi Selatan tersebut bisa menyikapi “si kulit putih” (Tau Pute) pada saat yang
tepat. Sikapnya tegas dan menunjukkan
perlawanan ketika dia melihat Belanda sebagai pihak yang dengan berbagai cara
menguasai masyarakat, adat dan tanah
Bugis.
Namun, dia juga
menunjukkan sikap positif saat dia menyetujui permintaan B.F. Matthes, seorang
misionaris Belanda, untuk menyalin kembali dengan tulisan tangan naskah La
Galigo yang tersebar di banyak lontaraq.
Hanya Colliq Pujie yang mengetahui persis alasannya mengapa dia mau
melakukan tindakan tersebut. namun
pilihan untuk menyalin dan menjadikan epos Bugis tersebut menjadi 12 jilid untuk kemudian dibawa Matthes ke Belanda terbukti
strategis.
Paling tidak ada bagian La
Galigo yang tetap utuh, tercatat dan menjadi bahan kajian serta dinikmati
berbagai bangsa di dunia. Hanya dengan pertimbangan cerdas dan kematangan
emosionallah yang membuat seseorang mampu melakukan hal rumit tersebut selama
bertahun-tahun. Colliq Pujie adalah
seorang sastrawan, sejarawan sekaligus ilmuwan. Nurhayati Rahman menegaskan hal ini. Kemampuan menyalin kembali dan mengedit La
Galigo tentunya tidak bisa dilakukan sembarang orang, hanya mereka yang betul-betul ahlilah yang
bisa melakukannya.
Dalam hal ini, Colliq
Pujie telah memperlihatkan diri sebagai perempuan cerdas yang mengetahui secara
baik dan mendalam sastra dan budaya Bugis,
selain itu dia telah menulis
karya-karya seperti La Toa, yang menurut
Nurhayati merupakan kredo politik Colliq Pujie.
Menyadur karya sastra bernilai tinggi baik yang berasal dari karya – karya
Bugis maupun bangsa lain seperti Jawa, Melayu
dan Persia juga dilakukan cucu saudagar ternama ini. seperti dengan kepakarannya sebagai
sejarawan, pengetahuan dan pemahamannya dibuktikan saat perempuan beranak tiga
ini misalnya menuliskan Sejarah Kerajaan Tanete.
Kecerdasan Arung Pancana
Toa juga menghantarkannya menciptakan huruf Bilang - bilang yang kemudian dijadikannya
alat komunikasi rahasia dengan para pengikut dan sekutunya dalam upayanya
menentang pendudukan Belanda di Tanah Bugis.
Khusus huruf Bilang-bilang, Nurhayati berargumen bahwa surat menggunakan
huruf rahasia inilah yang membuat pengikuti dan sekutunya melakukan beberapa
perlawanan terhadap Belanda, terutama di Segeri dan Tanete. Bisa
dihitung jari berapa gelintir orang di dunia ini yang mampu mencipta huruf,
salah satunya adalah Colliq Pujie.
Naskah Di Gital I La Galigo koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda |
Meninggalkan Warisan Bagi
Dunia
Kemampuan Colliq Pujie
menyalin kembali sekaligus mengedit 12 jilid La Galigo telah menjadikannya
sebagai intelektual dan sastrawan yang menjadikan epos Bugis tersebut bisa
dibaca dan dipelajari siapa saja hingga saat kekinian. Perempuan ini mampu menjadikan La Galigo
tidak lagi hanya menjadi milik orang Bugis semata atau bangsa Indonesia saja,
tapi menjadi milik dunia. Jika dulu
bangsa-bangsa Eropa datang dan menduduki tanah Bugis, maka dengan La Galigo,
Bugis-lah yang ”menguasai dunia” dengan caranya sendiri.
Selain itu, warisan sastra
tersebut tidak hanya melintasi ruang, tapi juga waktu. Berbagai negara sekarang
ini misalnya telah menikmati pertunjukan teatrikal La Galigo, padahal sang
penulis ulang dan editornya telah terbaring tenang di alam keabadian lebih dari
satu abad yang lalu di Tucae. tersebut
ditambah dengan beberapa pertunjukan di berbagai negara, tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa La Galigo telah menjadi salah satu pengharum nama
Indonesia di tingkat internasional.
Tentunya, semua ini tidak
akan terjadi tanpa campur tangan dan keputusan Colliq Pujie untuk mau
menuliskan ulang dan mengedit La Galigo lebih dari seratus tahun lalu.
Penentang Kekuasaan
Belanda
Di Tanah Bugis, Colliq
Pujie menjadi salah satu penentang kekuasaan Belanda. Anaknya sendiripun yang
menjadi perpanjangan tangan Belanda, tanpa kompromis ditentang oleh perempuan
pemberani ini.
Oleh Nurhayati Rahman, dia
disebut sebagai aktor perlawanan rakyat. Belanda begitu mengkhawatirkan kemampuan dan
karisma Colliq Pujie dalam mempengaruhi dan mengorganisir sekutu dan
pengikutnya untuk melakukan perlawanan sehingga diapun, karena alasan politis,
dikucilkan oleh Belanda selama 10 tahun dengan mendapat tunjangan seadanya. Inilah sisi lain Colliq Pujie. Sisi kedua dari seorang Colliq Pujie adalah
kemampuan intelektual dan emosionalnya (seperti telah diuraikan di atas) yang
dalam banyak hal terbukti luar biasa, baik dalam bidang ilmu pemerintahan,
sejarah, sastra maupun budaya. Karya-karyanya sampai saat ini masih menjadi
bukti nyata abadi akan kemampuannya tersebut.
Dadi, Colliq Pujie telah mampu memadukan dua kekuatan menjadi satu. Layaknya dua sisi mata uang koin, dalam diri seorang Colliq Pujie, semangat juang Tjoet Nyak Dhien dan para pejuang perempuan lain seakan bertemu dengan kekuatan intelektual Kartini, Dewi Sartika dan lainnya. Keduanya tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Apa yang ditemui dalam diri Colliq Pujie ini bisa menjadi satu cara pandang baru di Indonesia dalam melihat ketokohan dan kepahlawanan perempuan.
Collieq Pujie Penulis Karya La Galigo |
Penyalin La Galigo, wanita Intelektual Bugis.
Collieq Pujie kecerdasannya di akui dunia dari Bugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar