Rabu, 22 Agustus 2018

WARGA NUSANTARA YANG PERTAMA NAIK HAJI KE MEKKAH !!!!!!!

NusanTaRa.Com
byMuhammaDBakkaranG, 02/7/2018


Menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, barangkali orang-orang Nusantara yang pertama menunaikan ibadah haji adalah mereka yang pernah dilihat  Ludovico di Varthema  seorang Roma pertama yang mengunjungi Mekah pada 1503,  ketika itu ia melihat jamaah haji dari kepulauan Nusantara  yang dia sebut  “ India Timur Kecil ”.   Sebuah sumber dari Venesia  bahwa pada 1556 dan 1566, terdapat lima buah kapal dagang dari Aceh yang berlabuh di Jeddah lolos hadangan portugis dan kemudian menyempatkan diri  ke Mekkah (Azra: 1994).    Tetapi, mereka bukan jemaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji,  melainkan  pedagang, utusan sultan, dan pelayar yang berlabuh di Jedah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Mekah  ”, Ujar SiDin Shaleh. 

Kota Mekkah terbilang sebuah kota yang memiliki daya tarik magis sejak dahulu kala terlebih bagi ummat Islam yang menjadikannya salah satu rukun imannya yaitu “ Menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah bagi Yang mampu “ serta merupakan kota kelahiran Nabi Muhammad yang menyebarkan risalah agama Islam.   Daya tarik lain  Mekah  disebut “ kota para nabi ”,  Adam ialah nabi pertama yang menapakkan kakinya di Mekah,    Ia menunaikan haji di kota itu dan mendoakan keturunannya agar dosa-dosanya diampuni  ”,  Ujar SiDin  Zuhairi Misrawi  intelektual muda Nahdlatul Ulama dan penulis buku soal Mekah. Beberapa nabi yang meninggal di Mekah di antaranya Nuh, Hud, Syua’ib, dan Shaleh. 

Nabi Ibrahim memiliki jasa dan sejarah monumental pada perkembangan kota Mekah karena  bersama anaknya Ismail ia membangun Kabah atau rumah Allah (Baitullah) yang menjadi tempat peribadatan resmi bagi beberapa Agama Samawi dan beberapa Kepercayaan budaya arab.   Pasca-Ibrahim, Mekah dikuasai kabilah Jurhum dari Yaman, lalu digantikan kabilah Khuza’a. Penggantinya yang berkuasa paling lama adalah kabilah Quraisy yang dipimpin Qushay, leluhur Nabi Muhammad yang kemudian meneruskan jejak perjuangan Nabi Ibrahim memuliakan Ka’bah sebagai tempat peribadatan kepada Allah.

Ketertarikan warga Nusantara sudah tumbuh sejak Islam mulai menapak bumi Nusantara di abad ke-7 yang dibawakan bangsa Arab khususnya dari Mekkah (ujar Hamka) karena dalam ajarannya mencantumkan kewajiban untuk mengunjungi Mekkah,  sebagaimana isi sebuah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada 625 M (Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997).     Perjalanan ke Mekkah khususnya untuk menunaikan ibadah haji (pilgrimage)  dalam agama Islam bukanlah sekedar berjalan-jalan menikmati keindahan tanah Arab,  tapi perjalanan untuk memenuhi rukun Islam kelima yang meliputi mengunjungi beberapa tempat dan melaksanakan beberapa kegiatan ritual yang telah ditentukan dalam ajaran agama Islam  untuk mendapat Ridho  Allah sebagai yang disembah dan penyempurnaan keimanan ummat Islam pada rabbinya. 

Sejarah kedatangan bangsa Nusantara ke Mekkah bermula  sejak  abad XVI dan ketika arus pelayaran perdagangan dari Timur Tengah ke Nusantara mulai surut akibat serangan armada perdagangan Portugis di Samudera Hindia, justru arus perdagangan dari Nusantara melalui Samudera Hindia baru dimulai,  Menurut P.M Holt (1970).   Peranan pedagang Arab yang sebelumnya mendominasi jalur pedagangan Samudera Hindia berpusat di Malaka, tapi setelah ditaklukkan Portugis tahun 1511 beralih ke tangan pedagang Nusantara yang  ada di Pasai (Aceh) atau daerah pelabuhan lainnya.    

Sejak abad XVII, penduduk pribumi Nusantara mulai banyak berkelana menuntut ilmu ke Haramain sambil melaksanakan ibadah haji, meskipun pada awalnya tujuan mereka adalah untuk berdagang atau menuntut ilmu. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai angkatan perintis haji Indonesia.    Kerajaan Atjeh dan Johor Malaysia juga mencatat perjalanan haji di abad 16 dan 17 yang begitu sulit. Demikian juga di Banten. Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Mengungkapkan sejarah Warga Nusantara yang pertama ke Mekkah tetap masih menjadi satu pembicaraan yang berkepanjangan, selain mendapatkan informasi dari Barat yang terlebih dahulu menginjakkan kakinya di Timur Tengah,  tentunya kita juga tak lepas dari kisah-kisah dari Kesultanan yang juga berkisah tentang Haji seperti Sunan Gunung Jati, Sultan Agung Tirtayasa, Haji Purwa, Walasungsang dan Rarasantang dan lainnya, ternyata catatan waktunya lebih awal dari temuan kalangan Barat.   Menurut sumber-sumber tradisional Jawa, Nurullah dengan julukan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, berangkat ke Makkah sebagai Diplomat untuk meminta bantuan pada Turki Usmania yang berkuasa disana,  setelah Pasai (kota kelahirannya), ditaklukkan oleh Portugis pada 1521.   Selama di Kota Suci  selama tiga tahun ia  telah melaksanakan rukun Islam yang kelima, haji dan menuntut ilmu.   Sekembali dari Mekkah, dia berangkat ke Demak untuk bersama penguasa setempat menyerang kerajaan Hindu-Buddha, Pajajaran, di Banten dan merebut pelabuhan utamanya, Sunda Kelapa.

Prof. Dadan Wildan Anas  dalam naskah Carita Parahiyangan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata penguasa kerajaan Galuh (1357-1371),  Ia menjadi raja menggantikan abangnya   Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat.   Sebelmnya  Bratalegawa memilih hidup  sebagai   saudagar dan sering  berlayar  ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, bahkan sampai ke negeri Arab.  Ia menikah dengan  muslimah dari Gujarat  Farhana binti Muhammad yang membuatnya  memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Syekh Yusuf Al-Makkassaris seorang ulama, negarawan dan putra kerajaan Gowa Makassar tercatat pernah melakoni perjalanan haji ke Mekkah sejak tahun 1645-1670,  sebelumnya ia menyinggahi Banten 1644,  Aceh 1645, Saylan 1649.    Perjalanan hajinya inipun bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan agamanya di beberapa perguruan yang ada di sana, seperti memperdalam Tarekat Nagsyabandiyah, Tarekat Assadah Al-Ba’alawiyah, Tarekat Satariyah, Tarekat Al-Khalwatiyah Al-Quraisyi dan masih banyak lainnya.   "  Haji bukan saja tuntunan iman bagi ummat Islam lebih jauh dari it telah tumbuh menjadi budaya Nusantara, ini ditandai dengan berbagai acara dalam pelaksanaan haji yang hanya ditemukan di Nusantara seperti acara selamatan dsbg  ", Ujar SiDin Ustat Muslimin Legenda pengamat Islam.

Naskah Kuno Carita Purwaka Caruban Nagari,  naskah-naskah tradisi Cirebon dan Babad Cirebon,   dalam naskah-naskah  tersebut  bahwa  Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang keduanya  putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi  di Gunung Amparan Jati Cirebon.   Walangsungsang bersama  Rarasantang berangkat ke Mekah sekitar  tahun 1446-1447  (seabad setelah Bratalegawa  menunaikan ibadah haji).     Dalam perjalanan ibadah haji  Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450)  dan  Sebagai  haji, nama  Walangsungsang menjadi Haji Abdullah Iman  dan  Rarasantang menjadi  Hajjah Syarifah Mudaim.

Agus Sunyoto (Sejarawan Islam) mengatakan geliat haji di Nusantara semakin meningkat di saat kongsi dagang Hindia Timur Belanda (VOC) membuka penyelenggaraan haji secara berjemaah dengan mengerahkan aset kapal yang dimilikinya. Peristiwa ini, kata dia, mulai berlangsung di saat VOC melihat peluang besar atas rencana dibukanya Terusan Suez pada 1869.  "  Sejak akhir abad 17 itulah tercatat Mukimin Nusantara mulai menginjakkan kakinya di Mekkah dan Madinah untuk berhaji  ", Ujar SiDin Agus, Selasa (30/8/2016).   Setelah VOC runtuh  penyelenggaraan haji diambil alih pemerintah kolonial Belanda dengan biaya   masing-masing calon haji  harus membayar  f282,99 (gulden) untuk tiket pulang-pergi dan f322,99  hanya membeli tiket sekali jalan.   

Perjalanan Haji zaman dahulu tidaklah semudah sekarang hanya dalam 48 jam dengan pesawat, Jemaah sudah berada di Mekkah, zaman dahulu orang naik haji dapat memakan waktu sampai dua tahun,  waktu pelayaran memakan waktu  6 bulan serta menyinggahi  beberapa kota seperti Singapura, Malaka, Aceh, Kota Serilangka dan India (Gujarat), Yaman dan lainnya.  Hal lain yang menjadi pertimbangan untuk berangkat  berhaji  musim badai dalam pelayaran, banyaknya Bajak laut dan bekal yang dibawa para Jemaah saat menunaikan tuntan Agama tersebut,  sangkin beratnya perjalanan ini terkadang ada Jemaah yang terpaksa tinggal dan menetap disuatu daerah dan tak jarang meninggal dalam perjalanan.

Dengan perkiraan jumlah penduduk dunia yang beragama Islam 1,6 milyar dan Indonesia 190 juta maka jumlah Jemaah Haji pertahunya di Ka’bah dapat mencapai 2 juta ummat Islam dan Jemaah Haji Indonesia mencapai 600 ribu Jemaah yang terbanyak, jumlah ini belum termasuk Jemaah Haji ……   alias haji Travel.   Perjalanan hajipun menuju Mekkah menggunakan berbagai kendaraan Pesawat, Kapal Laut, Mobil bahkan jalan kaki berjalan dengan lancar karena semakin membaiknya pelayanan publik disetiap Negara.   Biaya perjalanan haji  yang diselenggarakan Pemerintah dan swasta serta jenis pelayanan sangat berbeda, untuk pelayanan pemerintah per orangnya sekitar Rp 23 juta.


LaDollah Naik Hajii Geeeeerr,
Naik Haji dahulunye  Paki Perahu Layar.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BRIGJEN TNI MIRZA PATRIA JAYA SE, KUNJUNGAN KERJA MONITORING DI SOBATIK KALIMANTAN UTARA

NusaNTaRa.Com byFarhaMTukirmaN,           S   e   l   a   s   a,    2   3      A    p    r    i    l     2   0   2   4 Rombongan  Brigjen TN...