Rabu, 21 Juni 2017

KAIN ULAP DOYO TENUNAN DAYAK BERNUANSA SAKRAL

NusanTaRa.Com


Kalau anda  jalan-jalan keperkampungan adat suku Dayak Benuaq di Issuy atau Barong Tongkok Kubar Kalimantan Timur,  melintasi perumahan perkampungannya tak jarang kita akan melihat seorang Gadis Cantik duduk di Beranda rumah atau di kolong rumah asik dengan semacam alat dengan juntaian benang, tak lain dan tak bukan itu aktipitas Gadis dayak yang sedang merajut atau  menenun kain khas dayak yang disebut dengan Ulap Doyo.    Meski kain tenun demikian hampir dikenal sebagian besar masyarakat tradisonil NusanTaRa seperti di Batak Ulos, di NTT, di Ambon, kain Rimpu Bima dan tenun Sabbe di Sulawesi solata,  proses pembuatan Ulap Doyo mulai dari bahan hingga selesai tentulah memiliki keunikan tersediri yang keren, beda banget dan Motip yang dihasil tangan-tangan trampil gadis dayak tentunya akan mempunyi keunggulan tersendiri (silakan coba).

Seni berpakaian Budaya Dayak memiliki  kekhasan  tersendiri  seperti  pakaian yang di tempelkan manik-manik dan bebatuan membentuk motip khasnya dan  Busana yang terbuat dari kulit batang kayu yang  terlebih dahulu di samak  serta pakaian yang terbuat dari tenunan Ulap Doyo dengan beragam warna dan motip.   Kekhasan motip Ulap Doyo selain bahan tenunnya dari tumbuhan khas Kalimantan,  tentunya juga motipnya  yang banyak diambil dari Fauna, Flora dan Alamnya seperti Burung Enggang, Elang, Buaya, Naga, Pakis, Gunung, kotak-kotak dllnya.  Motip-motip tentunya mempunya makna tersendiri terkadang menjadi sesuatu yang disakralkan dalam arti digunakan dan dipakai untuk hal yang sudah ditentukan sesuai adat.
 


Tenun Ulap Doyo  yang banyak dihasilkan dari tangan-tangan cantik wanita suku Dayak Benuaq  Kalimantan Timur   terbuat dari bahan yang tidak umum digunakan untuk membuat kain,  yakni dari serat  tumbuhan daun doyo (bahasa latinnya Curculigo  latifolia lend) yang tumbuh secara liar di pedalaman Kalimantan  di antaranya  di  wilayah Tanjung Issuy, Jempang, Kutai Barat.   Ulap Doyo merupakan hasil rajutan dari  benang  atau serat halus sehingga membentuk selembar kain,   benang  kasar  tersebut terbuat dari tumbuhan Doyo yang melalui diproses daun dikeringkan, disayat mengikuti arah serat daun,  direndam agar lebih lunak dan tak mudah patah hingga kemudian dijalin dan dilinting  membentuk benang kasar yang siap di tenun. 

Proses selanjutnya adalah pewarnaan benang tersebut hingga dapat menghasilkan Ulap Doyo  yang menarik kaya dengan hiasan atau motip.   Pewarnaan benang Doyo tersebut  meski saat ini sudah banyak pewarna  buatan  yang bisa digunakan dan mudah didapatkan dipasaran tetap sebagian peminat Ulap ini ada yang menginginkan pewarnaan tersebut secara alami yang diambil dari bahan-bahan alami baik tumbuhan maupun di alam,  terutama yang terkait dengan keyakinan  akan  nilai sacral pada penggunaan  Ulap tersebut.   Biasanya warna yang dikenakan adalah merah, kuning, hitam, hijau, Biru dan coklat,  secara alami warna merah dapat dibuat dari buah glinggam, kayu oter, dan buah londo  dan sementara warna coklat dari kayu uwar. 

Tanaman Doyo
Masyarakat Dayak Banuaq  dalam penggunaan  Ulap Doyo  membedakannya dalam berbagai  kegiatan adat,   yaitu untuk pakaian upacara adat, pakaian tari-tarian, pakaian bangsawan,  pakaian orang biasa  dan pakaian sehari-hari.   Keragaman akan upacara adat Dayak sangat mempengaruhi  jenis busana dan Corak yang dipakai bagi yang mengikutinya sehingga  upacara dapat berjalan sukses,  misalnya motif Waniq ngelukung hanya digunakan oleh masyarakat biasa  sedangkan motif jaunt nguku digunakan oleh kalangan bangsawan atau raja.   Menurut mereka, arwah nenek moyang yang  sudah meninggal akan selalu hadir untuk melindungi anak cucuknya yang masih hidup. 

Penggunaan motif dan ragam hias memiliki nilai estetika dan fungsional yang bersifat rohaniah.   Seperti motif naga melambangkan kecantikan seorang wanita, motif limar atau perahi melambangkan kerjasama, motif timang atau harimau melambangkan keperkasaan pria, motif tangga tukar toray atau tangga rebah bermakna melindungi usaha dan kerjasama masyarakat, dan masih banyak lagi.   Penggunaan warna juga mengandung makna simbolik tertentu.   Misalnya, warna hitam pada daster dan sarung atau kain panjang  pemakainya memiliki kemampuan dalam menolak sihir hitam (sihir jahat) dan  Jika warna hitam tersebut terdapat garis-garis putih, maka  pemakainya dapat mengobati segala bentuk sihir dan juga dapat mengobati segala bentuk penyakit. 

Tenun Ulap Doyo mulai popular  sejak awal masa Kerajaan Kutai  sebagai  kerajaan Hindu tertua di Indonesia,  dimana penggunaannya menjadi satu pertanda atau identitas sosial seorang saat itu. Upacara adat suku Datak Banuaq  sangat   terkait  dengan penggunaan tenun Ulap  Doyo baik dari  kaum pria maupun kaum  wanita  seperti  Upacara memelas kampung,  Erau padi,  Kwangkai,  Pemberian Penghormatan dan perkawinan.

byAsnISamandaK


Tanaman Doyo di tanam Sikulal,
Tenun Ulap Doyo busana adat bernilai sakral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PETUALANGAN PERAHU BOROBUDUR 2003 HINGGA CAPE TOWN, DALAM EKSPEDISI JAKARTA – GHANA AFRIKA

NusaNTaRa.Com byLaDollaHBantA,            S   a   b   t   u,    2    7         A    p    r    i    l        2    0    2    4           P...