Rabu, 10 Oktober 2012

MENIKMATI PERJALANAN MENUJU KAWASAN PERBATASAN LONG MIDANG KALTIM




Sabtu 29 September 2012, Tiba di Long Bawang Kecamatan Krayan yang berpenduduk 8.000 jiwa dengan pesawat Susy Air yang  mendarat di Bandara Yuvai Semaring  dan menginap di Hotel Agung Raya.    Perjalanan kali ini untuk menyaksikan keindahan panorama alam  di Desa-desa  Kawasan perbatasan Krayan dekat Malaysia bersama sahabat yang tinggal di sana   bapak Kurniawan Hendsoy.

Memulai perjalanan diudara sangat dingin maklum daerah krayan rata-rata berada pada ketinggian 2.000 m dpl sehingga ketika mandi pagi terasa  bagai mandi air es,  meninggalkan hotel dengan motor treil melewati jembatan kayu desa Long  Katung sepanjang 4 m  yang dibawahnya mengalir  air berwarna kecoklatan jernih,  kemudian mendaki jalan berbatu  yang cukup besar membuat perut sakit karena goncangan diboncengan,  sesampai di atas membelok ke kiri menyusuri tepi perbukitan  dengan Rumah dan Kantor Camat krayan di sisi.    Setelah itu hanya ditemui semak rumput jenis paku dan ilalang sesekali rumah petani  dengan jalan dari pasir halus sehingga ketika kendaraan disalip  mobil dari belakang bersiaplah menutup hidung karena debu berterbangan hingga kendaraan itu sejauh 55 m baru hilang.


Dua puluh menit kemudian memasuki Desa Long Api Jalan disini sama seperti sebelumnya masih bertanah dengan parit jalan yang baik sehingga jalan menjadi  lebih baik.  Membelok kekiri,  disamping berdiri gereja GKII yang besar dari kayu tapi terlihat  tua,  dibelakangnya terdapat rumah Pak desa Long Api.     Pak desa lagi keluar maka kami hanya ditemani Istrinya mengamati  tiga petak kolam ikan  Nila dan emas dan beberapa petakan sawah  dibelakang kampung,  umumnya sawah penduduk terletak dibelakang kampung yang terlihat  bagus, sehat dan padi yang ditanam telah berumur satu bulan lebih, baru akan panen empat atau lima bulan lagi kata ibu desa.   

Setelah menitip salam pada istri pak desa perjalanan dilanjutkan  menemui Pengurus GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani)  Rimba Lestari,  kebetulan ketuanya Pak Jones Pudun  lagi ada di unit usaha sembako.   Kata Pak Jones P hampir semua anggota Gapoktannya telah menanam Padi sejak Agustus dengan jenis padi lokal  padi Adan yang telah mendapat sertipikasi  Menhukum tentang hak paten kategori spesipik geografik dan beberapa petani belum dapat mengembalikan pinjamannya yang digunakan buat  usaha tani tersebut.   Di tengah desa terdapat padang yang luas dan beberapa Sapi merumput dan tak jauh dari situ terdapat Geraja Bethany besar terlihat sementara dibangun dengan berdinding bata merah dan atap seng.

Memasuki  Desa Buduk Tumu sepanjang sebelah kiri jalan, kami menikmati pemandangan  barisan panorama sawah yang menghijau dengan aliran sungai Long Nawang sebagai sumber pengairan dan beberapa rumah penduduk yang  tak jauh dari kaki bukit.     Beberapa sawah utamanya yang berada di deretan paling atas sisi jalan terlihat kering  serta jauh dari aliran sungai sekitar 600 meter bahkan  menurut petani di Long Api  sawah di Krayan masih banyak  tadah hujan.   

Sepanjang jalan  kami sering  bertemu beberapa petani yang membawa cangkul dan  wanita suku Lungdayeh yang bertopi CAPING (Topi bundar terbuat dari ayaman Pandan)  dan menggendong ANJAT (keranjang rotan) dibelakangnya sambil bercekerama sesekali  mereka mengangkat  tangan  jika ada yang melewati sebagai sapa kemesraan.   Di  depan sekolah SD yang terbuat dari kayu   yang berada di sebelah kiri jalan dan Gereja GKII disebelah kanan jalan, kami  terhenti karena seseorang sedang mengerjakan pipa air yang memotong jalan untuk pembagian air pada sawah dan kolan ikan Nila sebanyak enam petak, ternyata beliau Kepala Desa Buduk Tumu.

Sajian Pak Desa dengan Kopi manis dan Kue Kaleng ia dengan ramah menceritakan keadaan warganya yang sebagian besar petani, bahwa desa disini masih mempertahankan pertanian padi Organik dengan menghindarkan penggunaan pupuk anorganik atau kimia serta mereka lebih mengutamakan pengolahan yang berbasis alami yaitu pengaturan air,  Pengolahan rumput di sawah serta pengembalaan kerbau di sawah saat tidak bersawah sebagai cara menyuburkan lahan dan tenggang waktu olah yang teratur sehingga dapat menuai dalam sehektar 2 – 3,5 ton.

Peran Kelompok tani disini katanya meski belum besar tapi cukup membantu usaha tani, karena keterbatasan kemampuan SDM pengurus dalam mengurus usaha tapi dengan kesepakatan kelompok tani dan Ketua adat banyak kegiatan pertanian dapat dilaksanakan dengan bersama-sama.    Setelah  pamitan  perjalanan dilanjutkan ke Long Midang kawasan paling ujung dari Indonesia karena kalau diteruskan akan sampai di Negara tetangga Serawak Malaysia namun sebelumnya kami sempat  menyaksikan keberadaan petak kolam disekitar rumah beliau yang dipadukan dengan peternakan Babi.

20 menit meninggalkan Desa Buduk tumu kami melalui jalan yang berbatu,  berlobang dan sebagian  jalan beraspal,  ketika akan memasuki kampung  jalan beraspal terputus yang ada Cuma jalan berbatu dan berlobang.    Kemudian melintasi jembatan terbuat dari kayu  yang  beratap sepanjang 4 meter,  jembatan disepanjang jalan Perbatasan ini  banyak yang berbentuk demikian seperti  yang telah  dilalui sebelumnya.   Beberapa hamparan sawah dikiri kanan jalan dilalui sungai kecil yang mengalir dari puncak bukit dan bila musim kemarau akan mongering  serta  beberapa kerbau yang terbiar di atas sawah yang tidak di oleh tahun ini menambah keindahan pesona pedesaan.

Tak lama berselang kami memasuki kawasan  hamparan sawah yang  membentang disepanjang kaki bukit yang agak datar dengan sungai mengalir di bawahnya dan tak jauh dari sana terlihat perkampungan dua desa yang masuk kawasan Long Midang,  moment indah  ini tak kami lewatkan dengan  mengambil gambar keindahan alam tersebut sambil memperhatikan ikan mas seukuran telapak tangan berenang-renang.   Kantor Gapoktan Malindo menempati bangunan rumah batu dua lantai yang belum diplaster di dalamnya terdapat dua meja, kursi Tamu dan dua lemari arsip.  

Dari Ketua Gapoktan Malindo Pak Joles dengan ditemani seduhan Teh dan Kue Kalengnya dari negeri jiran yang tersaji di meja, menceritakan kesulitan petani disini,  jika musim kemarau sawah sulit di airi karena sungai dari puncak bukit banyak yang kering demikian juga Dam-dam sementara sungai  dikaki bukit bawah sangat jauh dan airnya kecil sehingga mereka sulit untuk melakukan penanaman dua kali dalam setahun disisi lain keterikatan  pada budaya tani mereka dari leluhur yang mengharuskan menanam padi lokal yang membutuhkan waktu 4-5,5 bulan dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak tubuh.  


Usai  berfoto-foto  bersama perjalanan dilanjutkan  melalui jalan berbatu dan diselingi beberapa meter jalan beraspal,  selama 15 menit kemudian kami melewati  Pos Pengaman Perbatasan (PAMTAS) berwarna loreng militer yang dikawal beberapa militer yang terlihata sedang bertugas dan disamping beberapa orang sedang berolah raga ,  Pos ini selain berpungsi penjaga keamanan diperbatasan juga  berpungsi mengecek adminsitrasi pelintas batas yang keluar masuk pintu tersebut.   

Pak Kurniawan Hendsoy   mengangkat  tangan dan dibalas tentara penjaga Pos perbatasan juga dengan lambaian, kemudian  kamipun melewati pos dengan melewati  kayu palang jalanan,  disebelah kanan terlihat bangunan pasar hewan perbatasan yang sepi dan tak lama kemudian  melewati Pintu Gerbang yang bertuliskan SELAMAT  JALAN  yang berarti kami telah melewati  batas Negara RI dan telah berada di wilayah  jalan menuju Bakalalan  sebagai kota terdekat  Malaysia.     

Kalau di daerah ini kami ditemukan  Polisi Malaysia tanpa surat perjalanan yang syah  seperti  PLB (Pas Lintas Batas) maka dipastikan akan diproses, untung  saja pos pengamanan Malaysia masih jauh sekitar 12  km.     Di suatu ketinggian puncak gunung kami  beristirahat  menikmati alam hutan tropikal yang masih asli  dan tidak melanjutkan perjalanan lebih jauh takut tertangkap Polisi Malaysia,  disini banyak melintas kendaraan menuju Malaysia dan sebaliknya membawa barang seperti mobil Pick up Datsun dan Toyota dengan garden yang ditinggikan  serta motor yang dirubah jadi ojek pengangkut barang,  ada yang menyebutnya sebagai Ojek Cargo karna berpungsi membawa barang dengan tarip sekitar Rp 15.000/kg dengan kapasitas 200 kg, motor ini telah dimodifikasi dengan membuat sobreker belakang lebih tinggi jadi pada saat hujan tidak takut terkandas oleh kumpulan lumpur.

Setelah puas istirahat  agenda selanjutnya menyaksikan proses pembuatan Garam pegunungan di Pa’Nado dan pulang.      Di sebuah bangunan kayu dari jauh terlihat asap mengepul keangkasa yang masih jernih membiru ternyata didalam  terdapat dua tungku pemasak Garam menggunakan tungku Tanah dan kayu pembakar yang masing-masing terdiri dari tiga Belanga dari Derum yang dibagi dua,  air yang dimasak diambil dari dua sumur  didepan bangunan tersebut.    Kami  membasuh muka dengan air sumur tersebut sebelum masuk sebagai mana yang diberitahu pemiliknya sebagai petuah adat dulu.   Proses memasak garam ini membutuhkan waktu sekitar 21 jam dengan menggunakan air sumur sebanyak 380 liter per sekali  masak.
Setelah   membeli garam 5 kg dalam kemasan plastik berupa serbuk putih  halus dan bersih kamipun permisi untuk pulang.    Apa yang bisa saya simpulkan selama perjalanan ini selama 2 .30 jam adalah perjalanan ini menyusuri lereng di kaki bukit dan menyusuri aliran sungai besar   dan kiri kanan jalan atau kampung yang berada di dataran lereng yang sempit dikelilingi gunung yang tinggi namun sangat indah karena pesona hijaunya alam

By  Bakri Supian




Gadis gunung menanam padi di Lereng Bukit,
Jauh di Pedalaman, berbukit, terisolasi  ciri Perbatasan  selalu sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEJARAH MASJID AGUNG SANG CIPTO RASA DIBANGUN WALI SONGO PADA ZAMANNYA, MESJID TERTUA DAN PERNAH DIBANGUN SATU MALAM !

NusaNTaRa.Com  byBambanGBiunG,   S   a   b   t   u,    2   7    A   p   r   i   l     2   0   2   4 Masjid Agung Sang Cipto Rasa di Cirebo...