Jumat, 12 Oktober 2018

MERENANGI MUARA SUNGAI BOLONG DARI LOGPOND MENJUAL KAYU LOG.

NusanTaRa.Com
byBakrISupiaN, 12/10/2018

(Kisah ini merupakan kumpulan Tajuk  " Anak-anak PerBatasan " khususnya di kawasan Nunukan yang berbatasan dengan Sabah Malaysia tahun 1964-1970 yang saat itu bersitegang dalam konfrontasi Dwi Kora.  Tulisan ini buat Ultah Kab. Nunukan yang ke 19, pada 12 oktober 2018)



Hidup di daerah perbatasan  yang memiliki kedekatan atau jarak yang tidak terlalu jauh dari Negara tetangga tentunya memiliki pesona tersendiri  berbanding  daerah  lain  yang  jauh dari perbatasan, terlebih berjarak lebih  dekat dengan  ibukota Negara.    Karna daerah perbatasan  pembaurannya  dengan kehidupan Negara jiran  lebih  sering  dan jauh dari pusat budaya Indonesia sehingga  melahirkan  dinamika kehidupan tersendiri yang berbeda.  Demikianlah sekilas ihktisar keadaan Pulau atau Kecamatan Nunukan tempat saya menetap saat anak-anak dahulu di tahun 1970an yang berada di Kalimantan bagian utara Kabupaten Bulungan (Sekarang Kab. Nunukan).

Tahun 1970 an   merupakan awal kegiatan sektor pembangunan di Kecamatan Nunukan ini, mengingat  beberapa tahun sebelumnya terutama saat Konfrontasi Indonesia – Malaysia terkait penggabungan Sabah dan Serawak sebagai bagian dari Kerajaan Malaysia yang bermula tahun 1962 dan berakhir 1969 yang menyebabkan komunikasi daerah ini dengan luar hampir tertutup terlebih dengan Tawau Sabah yang paling aktip.  Diawal tahun 70an geliat tersebut semarak kembali seperti Transportasi laut  Tawau-Nunukan-Tarakan, Distribusi sembako, Pembalakan, lalu lintas manusia dll yang membentuk kehidupan lebih baik.

Keadaan tersebut tentnya tidak terlepas pada kehidupan anak-anak perbatasan yang ada disana yang harus mengalami persinggungan dengan aktipitas yang ada disekitarnya sebagai satu wujut lingkungannya.   Sebagai  anak perbatasan Nunukan ada tiga hal yang sangat aku kenal dan menjadi kepribadianku sampai kini,  Pembalakan dimana kayu log ditebang   dihutan oleh dua perusahaan Besar PT. Inhutani daan PT. Yamaker untuk ekspor dan  pembalak-pembalak masyarakt untuk pembuatan kayu setengah jadi baik untuk kebutuhan masyarakat maupun dijual ke Sabah Malaysia  secara Illegal,  Pembangunan Pasar Baru tempat tinggal  kami sebagai dampak memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin bertambah dan Pembangunan Pelabuhan  sebagai sarana transportasi Nunukan – Tawau Malaysia.

Di hari minggu  pagi,   sedang asiknya saya  bermain keleker (Kelereng=bahasa perbatasan) seorang diri di depan perumahan Inhutani tiba-tiba dua sahabatku yang bersaudara Baco dan Asis anak Tidung  (suku  asli P Nunukan)  datang menghampiri, di mengajakku untuk kemuara sungai bolong  mencari kayu Log (batang kayu  panjang 3,5-4 meter diameter 40 Cm dan  sudah dikupas)  dan dijual ke Penggergajian rakyat yang berbaris di sisi  muara sungai Bolong.  Agak takut aku berkata,  “ Aku tak tahu berenang !! “,  Ujarku, “ Nanti kau berpegang ke batang kayu   (log) itu  selama di air dan pasti aman “, Kata si Asis yang adik.

Kurang lebih 15 menit kami bertiga berada di muara Sungai Bolong yang lagi air pasang,  kiri kanannya ditumbuhi pohon Bakau  disebelah kiri terdapat LogPond  (Penampungan kayu Log yang mengapung diataas laut,  dipagari kayu bulat berjarak 9 m  tempat mengikat  tali kawat kemudian dihubungkan pada log yang mengapung agar tidak hanyut).    LogPond  tersebut  milik PT. Inhutani panjangnya 350 m dan lebar dari pantai kelaut 150 m dipenuhi barisaan kayu Log.   Sesampai kami diatas kayu Log LogPond  yang bergoyang karena ombak,    Cari Kayu yang tidak terikat dan mudah dikeluarkan dari disini  “, Ujar SiBaco, kamipun mulai meloncat dari satu kayu kekayu lain untuk mendapatkan kayu yang mudah kami dapat, karena saat itu kebetulan tidak ada Wakar (penjaga).

  Ini ada satu batang kayu yang dapat kita bawa keluar “, Ujar si Baco dengan suara berteriak dari sudut luar LogPonD  sambil tangannya melambai ke  kami.  Mendengar panggilan tersebut akupun berlari menuju kesana dengan melompati satu persatu batang yang terapung yang terkadang ada yang tenggelam dengan hati-hati karena takut terpeleset jatuh, sesampai disudut itu tak lama si Asis pun tibah dengan raut wajah lesu cape  dan raut penuh kecemasan.  Kamipun mulai mendorong batang tersebut melewati celah-celah kayu dan sesekali mengangkat dawai besi yang merintanginya hingga dapat keluar dari kumpulan kayu Log tersebut.

Setelah kayu itu berbebas dari batasan LogPonD,  Sibaco sambil mengelap ingusnya yang meleleh hampir  menyentuh bibir atas berwarna hampir kehijauan  dengan belakang telapak tangannya  dan ingus itupun menggaris hingga kepipinya,  memberi komando ;    Kau Asis berenang di bagian depan kayu, kau berpegang ditengah kayu apapun janga kau lepaskan ingattu ya dan aku nanti dibagian belakang kayu  “ dan “  Kita akan membawa kayu ini dengan berenang  melintasi semak bakau agar jarak dekat, ombak tidak terlalu keras dan kita dapat beristirahat dibawah pohon “, Ujar SiBaco memberi komando, setelah itu iapun terjun kelaut untuk segera memulai.

Tak  lama kayupun telah meluncur dibawah semak pohon bakau yang kami tolak bertiga dengan berenang sambil kaki kami mengepak dilaut yang memercikkan air dan sekali-kali kami mengayuhkan tangan kami.   Tak lama kemudian kamipun telah berada di bawah hutan bakau yang masih dihiasi satu dua pohon besar dan menemukan pohon yang berbuah ada yang berbentuk  Panjang dan ada yang bundar, kamipun mengambil Perengat buah Bakau yang bundar yang rasanya kelat dan berbiji banyak sekali untuk dimakan sambil berenang.

Setelah melintasi hutan Bakau sejauh 95 m kamipun telah berada di luar hutan bakau dan berada di muara sungai bolong (30 m).   Kayu meluncur semakin laju karena semangat dan penggergaji kayu pertama di pinggir sungai  Bolong si Tongge  telah terlihat melambaikan tangan memanggil,  “ Jangan disitu, yang berikutnya saja si Koddeng harganya bagus “, Ujar si Baco sambil berenang.

“ Kau mau jualkah kayu mu ini Baco ?  “, Ujar Pak Koddeng pada kami sesampai  kami dilokasi penggergajian kayunya,  terlihat anak buahnya lagi bekerja yang satu di atas  batang  kayu  yang diletakan diatas  rangka penyangga kayu setinggi  2,5 m dan satu dibawah batang kayu tersebut sambil keduanya memegang gergaji besi  yang ditarik naik turun secara teratur melintasi batang dan membelahnya.   Meski di atas masih ada sekitar enam penggergajian lagi, akhirnya kami menjualnya ke Pak Koppe  karena ingin cepat pulang dan telah penat berenang  hampir seharian.

Penuh kegembiraan kami berlari kecil meninggalkan pusat penggergajian rakyat di siring sungai Bolong setelah menerima pembayaran harga kayu kami senilai Rp 3.000, yang kami bagi tiga  masing-masing  Si Baco Rp 1.500, aku dapat Rp 1.000 dan Si Asis adiknya menerima Rp 500.  Setiba di rumahku sebuah toko di Pasar Baru  dengan gembira,  Ibuku yang melihatku gembira dengan pakaian masih basah, iapun bertanya    Kenapa kau gembira dan basah begitu ? “, Ujar ibuku. Akupun menjawab dengan menceritakan semua kejadian yang baru kami lalui, mendengar hal itu iapun marah  “ Kau mau matikah di sungai itu  !!!,  jangan ulangi lagi !!  “, Ujar ibuku marah, dan akupun mengiyakan untuk menenangkan meski masih kami ulangi beberapa kali lagi berikutnya.
Sponsored by Pemda Nunukan dan NusanTaRa.Com


Buah perengat rasanya kelat,
Menggiring KayuLog pekerjaan Maut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DESA WAE REBO OLEH TIMEOUT TERMASUK SEBAGAI KOTA TERKECIL TERINDAH DI DUNIA.

NusaNTaRa.Com     byBambanGNunukaN,        S   e   l   a   s   a,     0    7       M     e     i        2    0    2    4     Rumah Adat Mb...