Jumat, 13 April 2018

TATO MENTAWAI : TATO TERTUA DI DUNIA SEBAGAI BUDAYA " ARAT SABULUNGAN ".

NusanTaRa.Com
byAsnISamandaK, 5/2/2018


Menurut hasil penelitian Ady Rosa tahun 2000  bahwa fungsi Tato bagi masyarakat Mentawai   : Pertama, tanda kenal wilayah dan kesukuan yang tergambar lewat Tato utama (semacam KTP),   Kedua,  Penanda status sosial dan profesi,   motif yang digambarkan bisa menjelaskan profesi si pemakai (sebagai Sikerei, pemburu binatang, atau orang awam) dan  Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan.   Tradisi Tato di Mentawai terancam punah karena   senimannya  semakin berkurang,   Esmat W. Sakulok (29 tahun) warga Siberut  yang masih mempertahankan seni Tato dari Mentawai sebagai Sikerei pembuat Tato memiliki  Tato terukir indah di punggung, dada, dan pahanya  serta  aksesori  gelang dan kalung  manik-manik berwarna  khas mentawaipun menjadi pelengkap.

Ady Rosa, peneliti Tato dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang  menyatakan “ titi/tato “ mulai dikenal di Mentawai sejak orang Mentawai-Protomelayu tiba di Siberut dari Yunan yang berbaur dengan Bangsa Dong Son yang kaya akan budaya  dari Vietnam antara 1500 hingga 500 SM.  Bermakna budaya Tato mentawai jauh lebih tua dari zaman Tato  bangsa Mesir yang ada sekitar 1300 SM,  sementara dalam catatan sejarah peradaban Barat  Tato mulai dikenal sejak adanya ekspedisi James Cook tahun 1769. 

“ Tato ” di  Mentawai disebut Titi sebagai yang tertua di dunia selain di yakini memiliki roh kehidupan,  dapat menunjukkan identitas yang menunjukkan  perbedaan status sosial atau profesi.   Sebagai contoh  Tato  Sikerei (sebutan untuk dukun Mentawai) yang memiliki Tato bintang “ Sibalu-balu “ ditubu mereka, berbeda dengan tato pemburu yang memiliki tato gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, monyet, burung, atau buaya.   Tato juga bisa menggambarkan  asal-usul dan penyebaran orang Mentawai,    "  Setelah saya telusuri tentang tato, itu ada perbedaannya antara  wilayah walaupun karakternya sama. Di Siberut yang sungainya berhulu di Sarereket, hampir sama semua tatonya. Tetapi, di Saibi beda lagi. Tatonya sama dengan tato dari Simatalu, Siberut Barat, karena hulu sungainya dari sana  ",  Ujar SiDin Esmat warga Siberut.    
 
Keberadaan perkembangan Tato mulai terancam ketika Agama mulai memasuki daerah Mentawai seperti Protestan yang masuk ke Mentawai tahun  1901,  Katolik dan Islam,  karena Tato termasuk bagian dari Arat Sabulungan  tidak sejalan dengan ajaran dalam agama.  Agama moyang (Arat Sabulungan) yang memuat kegiatan Tato dan meruncingkan Gigi semakin tertekan ketika tahun 1954 pemerintah memaksa warga untuk memilih salah satu agama resmi.  "  Saat pelarangan itu, banyak Sikerei yang ditangkap. Kalau ketahuan mengadakan punen, peralatannya dibakar, manik-manik dibakar, kabit dibakar. Sipatiti (pembuat tato) ikut ditangkap  ", Ujar SiDin Johanes Siritoitet (63 tahun) seorang Sikerei di Muntei Siberut selatan.  


Menurut Esmat hal lain yang mempengaruhi tidak berkembangnya Budaya Tato menyangkut distribusi pengetahuan,   selama  ia  berdiam di Siberut   Mentawai, hingga sekolah menengah atas (SMA) tak satu pun pengetahuan mengenai budaya Mentawai sampai kepadanya.    "  Yang saya pelajari di sekolah itu budaya Minangkabau : cerita Malin Kundang, Siti Nurbaya, Silat, kearifan lokal Minangkabau. Tak satu pun ada budaya Mentawai yang saya dapatkan  ", Ujar SiDin Esmat.  Dia baru mendapatkan wawasan   mengenai keragaman budaya karuhun sedikit demi sedikit  setelah dia menempuh kuliah di Universitas Negeri Jakarta pada 2008 dan dia  mulai mempelajari budaya Mentawai dari sejumlah buku karangan peneliti luar negeri.

Meski Tato hampir punah tapi Esmat membuktikan bahwa tradisi budaya leluhur Mentawai itu tetap ada yang meneruskan, meski ia menambahkan  "  Generasi orang tua saya, paman, bibi sudah tidak ada lagi yang ditato. Juga generasi saya  ",  Ujar SiDin di Padang,  17 September 2017.   Ia mengatakan Titi mulai berkurang ketika zaman kakeknya di era ketika Arat Sabulungan-agama lokal Mentawai yang meyakini para roh oleh pemerintah dilarang  secara resmi tahun  1954  dan Menato tubuh merupakan bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan.

Ketika Esmat pulang dan berlibur ke Siberut ia menimba ilmu tentang budaya Mentawai langsung dari kakeknya, seorang Sikerei di Siri Surak, kawasan hulu Saibi Samukop dan sebelum kembali ke Jakarta, dia meminta izin ke kakeknya untuk dititi,  Tapi dijawab neneknya bahwa,    "  Kamu tidak perlu ditato. Kamu sudah menjadi orang besar, sudah berpendidikan. Nanti tidak bisa menjadi pegawai kabupaten dan bisa diusir dari gereja  ",  Ujar SiDin Esmat.  Meski pada akhirnya ia mendapat izin dari  sang nenek  yang kemudian menyiapkan ritual Punen Patiti bagi cucunya, seperti pembacaan mantra, menyiapkan Ramuan diikuti dengan penyembelihan beberapa ekor Babi. Untuk kesempurnaan Tato tersebut ia harus menyempurnakannya di Jakarta dari Seniman Tato  Mentawai. 

Ady Rosa mengatakan Siberut mempunyai 160 motif Tato  setiap orang Mentawai, laki-laki maupun perempuan  dapat memakai belasan tato di sekujur tubuhnya.   Sebagai bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan  pembuatan tato melewati ritual tertentu  dan  bahan-bahan dan alat yang digunakan didapatkan dari alam sekitar  hanya jarum yang digunakan untuk perajah memakai besi dari luar wilayah itu sebelumnya  alat penato menggunakan  sejenis kayu karai  tanaman asli Mentawai yang bagian ujungnya diruncingkan.   Pembuatan Tato Mentawai melalui beberapa  tahap,  pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan penatoan di pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato paha. Tahap ketiga setelah ia dewasa.

Ritual   Arat Sabulungan  ” Meliputi segala sistem yang mengatur masyarakat Mentawai dalam  meliputi,   setiap upacara, kelahiran, pernikahan, pengobatan, pindah rumah, pengetahuan dan tato.  Anak laki-laki yang memasuki usia dewasa usia 11 – 12 tahun akan menjalani masa pentatoan yang penentuan waktunya dilakukan  Sikerei dan Ramata (kepala suku).    Bahan pewarna tato adalah olahan arang tempurung kelapa dan daun pisang  dicampur air tebu,  sedangkan penusuknya, jarum yang diikatkan ke sebatang kayu kecil  kemudian dipukul-pukul dengan semacam palu kecil secara perlahan agar menembus kulit diikuti cairann pewarna yang akan memberikan khas lukisan jika telah lama,  sebelumnya Jarum diolesi zat pewarna terbuat dari arang  namun sekarang bisa menggunakan bolpoin.  

Budaya Tato selain di Mentawai ternyata juga di miliki suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan  dengan nasib yang hampir serupa alias kurang diminati kalangan penerusnya.  Redupnya penggunaan Tato di kalangan generasi muda keturunan Dayak, menurut Hartoyo Sagog, karena situasi dan kondisi yang kurang mendukung seperti   sejumlah institusi pemerintah melarang pegawainya mengenakan Tato di tubuhnya. Padahal, anak-anak keturunan Dayak banyak yang berkeinginan menjadi pegawai negeri, namun tidak semua pemerintah daerah melarang penggunaan Tato bagi pegawainya seperti Kabupaten di Pedalaman Kalimantann yaitu Kabupaten Mahakam Ulu (kata Novita Bulan keua DPRD Mahakam Ulu), karena mereka menyadari bahwa masyarakat mereka  memiliki budaya Tato sebagai identitas diri dan  tato merupakan pesan spiritual bagi mereka sudah terpilih menuju jalan kebenaran.

David sebagai tukang Tato suku Dayak ditubuhnya  juga dipenuhi tato diantaranya gambar tato “  salampang mata andau (tombak matahari) dikedua betisnya,  menurutnya tato tersebut  perlambang tameng kehidupan. "Agar kami kaum laki laki mampu bekerja keras dalam mengarungi kehidupan ini," katanya.   Motif bunga terung yang ditatokan di kedua pundak,   melambangkan lelaki pekerja keras bagi keluarga. Ada pula motif mata pancing atau mata kael biasa dipakai  pesilat atau jawara kampung dan dukun yang melambangkan bahwa pemakainya bisa menarik penyakit dari tubuh seseorang.




Terukir Indah di tubuh sebagai tanda,

Tato Mentawai sebagai Budaya tertua di dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEDDY SUJADI DRUMMER GODBLESS DENGAN KARYANYA TUA-TUA KELADI DI POPULERKAN ANGGUN C SASMI

NusaNTaRa.Com   byAsnISamandaK,          S   a   b   t   u,    0   6      A   p   r   i   l      2   0   2   4 Ian Antono dan Teddy Sujadi...