Senin, 24 Januari 2022

AM SANGADJI “SI JAGO TOEA” SATU DARI TRIO PENDIRI SYARIKAT ISLAM

NusaNTaRa.Com

byKariTaLa L A, K a m i s, 1 1   N  o  v  e  m  b  e  r   2  0  2  1

Meski  Abdul  Muthalib  Sangadji  atau A M Sangadji  adalah seorang  pejuang  yang seangkatan dengan  pahlawan HOS  Tjokroamnito dan Haji Agus Salim  dalam masa jaya-jayanya SI dalam dasawarsa tahun dua-puluhan dulu dan  mereka bertiga boleh dikatakan merupakan trio yang saling melengkapi  dalam pimpinan SI.   Oemar Dahlan tertarik menulis artikel  terkait Sangadji, karena tidak banyak buku atau tulisan sejarah pergerakan Nasional  khususnya yang berkaitan dengan SI  mengungkap nama A M Sangadji.

Kiprah A M Sangadji  dalam sejarah  pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia,  tidak banyak diulas dalam buku-buku sejarah,   padahal   ia sosok yang dikenal juga sebagai salah satu dari tiga serangkai Syarekat Islam, bersama HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.  Dia juga salah satu peserta Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta.   Oemar Dahlan, dalam Majalah Suara Muhammadiyah terbitan No.4/64 TH 1984 menulis artikel berjudul   “Monumen A M Sangadji di Tenggarong  (Tokoh Trio SI : Tjokro-Salim–Sangadji)”,  karena   penasaran nama  A M Sangadji   tidak banyak dikenal dan ditulis seperti dua nama dari trio Syarekat Islam (SI), yakni HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.

Tiga nama ini dikenal sebagai trio SI, yang kemudian menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia  yang lebih dikenal dengan PSII. Apalagi menurut Oemar  Dahlan  Sangadji adalah tokoh penting di Kalimantan Timur, terutama Tenggarong, Kutai Kartanegara.     Tidak sedikit dari pemuda Samarinda dan Kalimantan pada umumnya,  yang sesudah Indonesia merdeka menjadi orang-orang penting, juga dalam pemerintahan,  yang tadinya menjadi “murid”  Sangadji, setidaknya pernah berguru pada Sangadji  ”,    Ujar SiDin Oemar Dahlan dalam tulisannya itu. 

Salah satu rujukan Oemar Dahlan dalam  mengungkap nama A M Sangadji dalam tulisan itu, karena dia membaca artikel yang ditulis Mr. Mohammad Roem dengan judul,  “ Potret HOS Tjokroaminoto”,   yang dimuat Majalah  “Budaya Djaja”  Jakarta,  No. 52 bulan September 1972.  Dalam artikel tersebut Roem mengatakan Tjokro-Salim-Sangadji adalah masing-masing orator “Par exelence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai ciri sendiri-sendiri.   Roem sendiri adalah seorang diplomat dan salah satu  pemimpin di  Indonesia di masa perang kemerdekaan  bahkan ia pernaah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, kemudian Mendagri di era Presiden Soekarno.

Konon, lanjut Roem,  Sangadji memiliki suara  saat pidato seperti geledek dan digelar “Si Jago Tua”  sedangkan Tjokro memiliki keistimewaan suara konsisten dan berwibawa, sehingga orang di baris depan mendegar suara Tjokro sama kerasnya dengan orang di belakang.  Kombinasi trio Tjokro dari Jawa, Salim dari Padang-Minangkabu  dan Sangadji dari Maluku-Ambon, menggambarkan corak perjuangan kebangsaan  kemerdekaan Indonesia kala itu,  saat Bhineka Tunggal Ika  semboyan Negara sesudah kemerdekaan,  Roem kemudian teringat kombinasi  Tokro-Salim-Sangadji di tahun 1925.

Dalam buku  Sam Habib Mony,  “A M Sangadji menuju Indonesia Merdeka”,  terbitan Halaman Moeka Publishing, 2016, Jakarta,  Sangadji juga berkiprah dalam Ambon Seileiden  atau  Sarikat Ambon organisasi pemuda berhaluan nasional republik yang didirikan  Alexander Jacop Patty di Semarang tahun 1927,  karena A Y  Patty ditangkap Belanda maka terbentuklah  Syarikat Ambon lainnya  oleh  Mr. J Latuharhary di Surabaya.   Perkumpulan Pemuda Ambon  yang bernama Moloeksch Politiek Verbond dibawah pimpinan dr. Apituley dan dr. Tehupiory,   mereka melihat bahwa cara radikal AY Patty   telah merugikan Syarikat Ambon karena sering mendapat reaksi keras dari Belanda, sehingga  berkeinginan Indonesia tetap dengan kerajaan  Belanda.

Menjelang peristiwa Sumpah Pemuda 1928,  terjadi rapat pemuda di Jakarta selama dua hari, dari 27 – 28 Oktober 1928 untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda.   Sebanyak 80 orang pemuda dari berbagai daerah  sebagai panitia dan peserta. Saat itu Sangadji sudah aktif di PSII, sedangkan Johanis  Leimena aktif Parkindo.  Keduanya kemudian menjadi utusan Jong Ambon.   Leimena menjadi panitia   dan Sangadji  menjadi  peserta utama  dalam  rapat-rapat  dan  peristiwa  sumpah  pemuda.  

 

Awal Mula Pergerakan

Setelah Sangadji menyelesaian sekolah Mulo di  Ambon tahun 1909,  kemudian   ia bekerja sebagai Grifeer Landraad atau panitera di Pengadilan  Negeri Saparua,  kakak tertua Abdoullah Sangadji bekerja di kantor Residence van Ambon kakak  kedua penyidik di kantor Hoofd Djaksa Amboina.  Sangadji  anak ketiga dari 4 bersaudara dari orang tua Abdul Wahab Sangadji dan Sitti Saad Pattisahusiswa. Dua tahun setelah ayahnya diangkat menjadi raja Rohomoni 1887, pada 3 Juni 1889 Sangadji lahir di kampungnya. Ibunya adalah putri Raja Negeri Siri Sori Islam bernama  Abdul Madjid Pattisahusiwa.

Pada tahun 1919, Sangadji memilih pindah ke Surabaya masih dalam pekerjaan sebagai Grifeer Landraad  yang menetap di Gang Blauran IV Surabaya.   Meskipun bekerja di jawatan pemerintah Belanda,  Sangadji tidak suka dengan cara Belanda menjajah republic,  sehingga dia seringkali membangkan dalam tugasnya, dan memilih kembali  pulang ke kampungnya.   Di tahun 1922 dia bergabung dengan SI bersama Tjokro dan Agus Salim,  di  SI  Sangadji diberi jabatan sebagai Ketua Lajnah Tanfiziah (eksekutuf partai),  karena  kecakapannya dalam berpidato dan memahami ilmu hukum dengan handal satu  kepiawaian  penting sebagai propagandis republik melalui SI  yang kemudian menjadi PSII.

 

Menuju Indonesia Merdeka

Sekitar pertengahan tahun 1939, seperti dalam tulisan Oemar Dahlan,   Sangadji datang di Samarinda, sebagai tokoh Pemimpin Pergerakan “Penyadar”,  Pergerakan “Penyadar”  adalah pecahan dari PSII sepeninggalnya Tjokro, dimana Sangadji dan Salim menjadi tokohnya.   Di Tenggarong  dia mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan  Rakjat untuk mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan Bumiputera.

Sekian lama dia mendidik rakyat di Kutai, Tenggarong dan Samarinda. Setelah mendegar  kabar proklamasi  kemerdekaan  republik oleh Soekarno-Hatta dari Jakarta, Sangadji  mengkoordinir suatu perjalanan panjang dari Samarinda ke Banjarmasin  untuk bertemu dengan pimpinan BPRI untuk mengabari kemerdekaan, mengibarkan bendera merah putih dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilaluinya.   Dalam perjalanan  Sangadji  ditangkap Belanda di Marabahan Kalimantan Selatan  dan  April 1946 dipenjara di Banjarmasin, yang lokasi penjaranya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin.

Penjara  penuh sesak tahanan, dari penangkapan besar-besaran  yang dilakukan Belanda akibat pemberontakan di tiga tempat, yakni 9 November 1945 di Banjarmasin, 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “Trekesuma” di Barabai 19-20 Maret 1946.   Saking sesaknya penjara, sehingga para  tahanan  didalamnya  hanya bisa berdiri, sukar bernapas, bahkan kelaparan.  Mereka hanya diberi makan sekali sehari, dengan porsi sepiring dibagi empat,  kunun curitanya saking lapar kulit pisang yang dilempar sipir penjara, akan menjadi santapan dan rebutan tahanan.

Dalam Majalah Mandau terbitan Ikatan Perjuangan Kalimantan di Jogyakarta 1948, Si Jago Toea  ini  menceritakan  :   “ Keadaan kami  ketika itu dalam penjara adalah sebagai daerah merdeka, daerah republik di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya,  ada polisinya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit  menjadi isi tempat tahanan itu  ”.   Dari penjara Banjarmasin Sangadji menyeberang ke Pulau Jawa, ia  memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat Jogyakarta  dan pernah menugaskan R Soedirman  untuk membentuk Laskar Hisbullah di daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo  sebagai   penghubung Markas Besar  Hisbullah Yogyakarta untuk Kalimantan.

A M  Sangadji  meninggal ditembak mati militer ketika Agresi Militer Belanda II di Jogyakarta  8 Mei 1949  dan dimakamkan di pemakaman Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Slema Jogyakarta.    Untuk mengenang jasanya namanya diabadikan di ruas jalan di Kota Yogyakarta dari arah Tugu Jogya kea rah utara hingga tahun 2016,  di  Tenggarong, Kutai Kertanegara,  sebuah moumen berupa patung  A M Sangadji dibangun dan berdiri kokoh.

Monument A M Sangadji di Tenggarong

Berpolitik tegakkan perjuanam,

A M Sangadji tokoh Pendiri Syarikat Islam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DESA WAE REBO OLEH TIMEOUT TERMASUK SEBAGAI KOTA TERKECIL TERINDAH DI DUNIA.

NusaNTaRa.Com     byBambanGNunukaN,        S   e   l   a   s   a,     0    7       M     e     i        2    0    2    4     Rumah Adat Mb...