Minggu, 17 Juli 2011

MENOLAK MENJADI INDONESIA SUATU KENISCAYAAN DI KEP. TERUTARA

NusaNTaRa.Com                                                                                                                                        byTeukUKemaLFasyA,                                                                                                              07      N o v e m b e r     2012

Tulisan ini saya dapat ketika melakukan penelitian di Natuna dan Anambas  Kab.  pemekaran dari Natuna,  saya menemukan banyak hal yang mungkin tidak daapatkan di daerah  Indonesia lainnya.    Kedua kabupaten kaya minyak dan gas (migas) ini,  yang  disebut  ” Pulau Tujuh ”,  hidup dalam keragaman yang sangat tinggi.   Meskipun etnis Melayu adalah mayoritas, tetapi tidak menjadi etnis dominan dan manipulative karena  etnis lain  seperti Minang, Siak, Kampar, Bugis, Jawa, Batak, dan China  dapat hidup rukun-damai dlam aspek yang luas.   Agama di wilayah ini bukan hanya enam (orang masih melupakan Konghucu sebagai agama resmi sejak era Abdurrahman Wahid), tetapi bisa tujuh atau delapan.

Masyarakat asli (indigenous people) Anambas bukanlah suku Melayu, melainkan suku Laut yang tinggal di Air Sena dan Air Asuk  Pulau Siantan.   Sampai hari ini sebagian besar suku Laut masih hidup dengan agama lokal.   Bagi masyarakat lain disana (melayu, minang, Bugis, Jawa dll)   mereka tidak dianggap aneh bahkan diantara mereka  ada yang berpindah menjadi Katolik, Buddha atau Islam,  tetapi tidak berdasarkan politik islamisasi atau kristenisasi melainkan  dengan alasan-alasan yang sangat personal.

Peroalan komplik perkauman hampir tidak ada,   hampir seumur hidup mereka tidak pernah ada sejarah konflik berbasis agama dan etnis. Etnis China tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif, bahkan banyak yang duduk di pemerintahan dan politik.   Muhammad Jamil, tokoh politik Natuna keturunan Aceh yang telah berada di Bunguran (Natuna) sejak 1965 ketika Orde Lama dan yang telah melancarkan agresi anti-Malaysia, mengatakan, daerah ini bebas dari segala pengaruh buruk Jakarta.  Fenomena pembantaian pengikut PKI pada 1965 atau perampasan dan pemerkosaan etnis China pada 1998 tidak pernah jadi realitas di daerah ini.

Secara kultural NU   tak ada representasi politik dominan,   ada 11 partai yang mendapatkan kursi di  DPRD Natuna dan 13 partai di Anambas,  sebagian besar partai politik berhaluan nasionalis. Momen elektoral, seperti pilkada, pun tidak pernah bergumuruh dan luruh oleh kekerasan. ”Natuna dan Anambas bebas dari darah politik dan permusuhan yang kerap ditemukan di Pulau Jawa,” kata Jamil.

Definisi politis.

Persis ungkapan ikonik Natuna :    ” mutiara terpendam dari utara ” Indonesia.,  dengan kandungan potensi mineral berlimpah yang membuatnya tak terlepas  ke tangan Vietnam atau Malaysia  sejak awal brdirinya.   Namun, tokoh nasional, seperti Mohammad Hatta, pernah menjejakkan kakinya ke Natuna, bahkan ketika belum mengetahui potensi alamnya pada pertengahan 1950-an.    Politik Indonesia diingat bersemangatkan Hobbesianism,   Demokrasi  diterjemahkan sebagai praktik menyebar fitnah dan mekanisme kompleks untuk menguntungkan diri sendiri dan perkauman,   bahkan  tidak ada harmoni dan kerukunan kecuali di ujung retorika,  tidak ada ketulusan atas perbedaan  yang  bisa merusak iman dan mengganggu eksistensi  golongan.

Wacana seperti ini tidak bisa dikatakan kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Kekaburan memaknai Indonesia ini sesungguhnya hanya disebabkan beberapa kesalahan. Kesalahan pertama karena sebagian besar penelitian dan penulisan Indonesia dikonstruksikan melalui lensa miopik. Bukan hanya sarjana asing, cendekiawan pribumi pun sering latah menyebutkan praktik dan budaya politik ”pusat” adalah representasi Indonesia. Penelitian tentang dinamika politik Indonesia hanya bertemu narasumber di Jakarta, paling luas Jawa.

Kesalahan kedua adalah narasi. Narasi ”negara” lebih menawan untuk dibaca dan dimaknai, tetapi secara bersamaan narasi masyarakat, apalagi masyarakat sipil, dianggap kurang seksi untuk dibaca. Akhirnya penyebutan tentang Indonesia adalah yang berhubungan dengan ”serba negara”. Belum lagi penyebutan Indonesia yang memermanenkan limitasi temporer dan spasial, yaitu rezim yang sedang berkuasa (Simon Philpott, Rethinking Indonesia :  Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity, 2000).

Kesalahan ketiga karena pencampuran hal-hal ilmiah dan politik mengaburkan mana yang disebut fakta dan opini, mana yang bisa disebut ketepatan dan mana yang bersifat berlebih-lebihan, generalisasi  dan penyederhanaan. Ini bisa dilihat dari wacana para politikus, demagog, fundamentalis, oportunis, dan lain-lain, yang sifatnya elitis. Mereka membangun teori serba suram tentang Indonesia. Padahal, Indonesia yang diteoretisasikan itu tak lebih luas dari pikiran, tempat tinggal, dan lingkungannya.

Anti-Jakarta  ?.

Apa yang sebenarnya berlaku dalam wacana poskolonial bisa juga digunakan untuk mendefinisikan Indonesia versi baru. Wajah buruk demokrasi hari ini disebabkan elite-elite (Jakarta atau pengikut Jakarta) yang minim semangat kebangsaan, anti- keberagaman, pikiran taklid, dan serakah berada di tengah kekuasaan. Sebagian keburukan itu pun mengalir ke daerah-daerah. Akan tetapi, tidak semua terkena dampaknya. Ada daerah-daerah yang sama sekali tidak mengikuti langgam Jakarta.

Saat ini politik nasional dipenuhi praktik serba fitnah, jegal, dan korup, tetapi ada juga daerah-daerah yang tak suka—baik secara esensial maupun instrumental—budaya itu. Kalau kini ”Indonesia” dikacaukan oleh praktik kekerasan atas nama kesucian agama, kepentingan mayoritas, dan arogansi tempatan, masih ada ”Indonesia-indonesia” kecil yang mentradisikan sebaliknya. Andaikata muncul opini ”keniscayaan Indonesia harus menjadi negara agama”, siapa pula yang mengklaim itu sebagai keniscayaan?

Jika ada yang mengatakan dulu politik lokal dimanipulasi oleh elite nasional, apakah ada pembenaran elite lokal sekarang berhak memanipulasi sub-lokalnya  ?  Nilai etis mana yang membenarkannya ?  Tidak ada akar historisisme dan keilmiahan yang mengharuskan kita takluk oleh opini entah dari mana dan untuk kepentingan siapa itu.    Kalau  ” Indonesia ”  yang direpresentasikan serba melarat,  preman,  korup, a nti-perbedaan   dan monolitik,  selayaknya kita menolak  ” Indonesia ”  seperti itu. Karena ada Indonesia lain yang masih bersih dan otentik, yang belum rusak oleh budaya impor Jakarta dan Barat.   Ia bertempat jauh dari pusat, masih hening di tengah hiruk-pikuk, dan mempraktikkan kebaikan berbangsa,  berwarga-negara  dan bermasyarakat.   dr. KOMPAS.com,  Teuku Kemal Pasya,  07/11/2012.

Taman Indah beragam bunga,

Keragaman warga Natuna jadikan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HALIS MUHAMMAD NUR KERJA KERAS SUKSES SULAP PANTAI MASIRETE JADI TEMPAT USAHA WISATA

NusaNTaRa.Com     byLaCappotttA.         S   a   b   t   u,    2   7      A    p    r    i    l      2   0   2   4      Pantai Masirete yang...