Minggu, 02 Oktober 2016

SYEIKH YUSUF AL-MAKASSARI ULAMA BESAR DAN PAHLAWAN.

NusanTaRa.Com
Menyambut 1 Muharram 1438 H


     Bagi masyarakat Indonesia khususnya Bugis-Makassar kebesaran Syeikh Yusuf Al-Makassari  tak dapat dipungkiri, beliaulah tokoh agama yang mengembangkan ajaran Islam  di kerajaan Gowa  dan sekaligus sebagai tokoh pejuang dalam menegakkan  dauliah  Kerajaan Makassar.     Ketokohan beliau tidak saja sebagai  pengembang   Islam tetapi juga sebagai  tokoh dalam perjuangan melawan kolonialisme penjajah yang berlaku  seenaknya saja,  Ketokohannya juga berlaku dimanapun ia berada seperti kala berada di Banten  bahkan ketika beliau berad di Sailan dan Durban Afrika Selatan.



     Syeikh Yusuf  lahir pada 3 Juli 1628 M, tepat pada 8 Syawal 1036 H yang bermakna beliau dilahirkan setelah dua dekade pengislaman kerajaan kembar Gowa-Tallo oleh  ulama Minangkabau  Syeikh Abdul Makmur  yang  disebut Datuk Ri Bandang.    Kedekatan beliau dengan rakyat yang akrab, alim, bijak dan arif  melahirkan kekaguman dan penghargaan  sebagai waliyullah besar buatnya hingga  melahirkan beberapa kisah yang  kuat  tentang dirinya.



     Tuanta Salamaka ri Gowa,  berdasarkan lontara  bahwa ayah Syeikh Yusuf  bernama Gallarang Moncongloe,  yang merupakan saudara dari Raja Gowa Sultan Alauddin Imang'rang' Daeng Marabbia, Raja Gowa yang beragama Islam.   Sultan Alauddin menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 1603 M   Ibu kandung Syaikh Yusuf, tak lain adalah Aminah binti Dampang Ko'mara, keturunan bangsawan kerajaan Tallo,  kerajaan kembar yang berdampingan dengan kerajaan Tallo.


Makam Syeikh Yusuf di Durban, Capetown  Afrika Selatan
       Kisah perjuangan Syeikh Yusuf dalam mempertahankan kedaulatan di bumi Nusantara menjadikan dirinya diasingkan di Ceylon (Srilangka) dan Afrika Selatan.   Syeikh Yusuf tidak hanya milik masyarakat Bugis, namun juga warga muslim Nusantara dimana beliau terlibat dalam pengembangan Islam  dan perjuanagn melawan Belanda di Banten,  dan  Ceylon dan Afrika   ketika beliau mengalami pengasingan disana  ia mengembangkan Islam  yang hingga kini keberadaan ummat Islam tersebut masih dapat terlacak.     Presiden Afrika Selatan, pada 1994, menetapkan Syaikh Yusuf sebagai pejuang kemanusiaan dan tahun 2009 dianugerahi penghargaan OLIVER THAMBO sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan, penghargaan ini diserahkan langsung  kepada tiga ahli warisnya  Andi Makmur  dan  Syachib  Sulton disaksikan Wapres Yusup Kalla di Uniion Building Pretoriaa Afrika Selatan.  


     Lahir di tanah Bugis, Syaikh Yusuf menjadikannya banyak mendapat  tempaan pendidikan Islam dari keluarga dan ulama di kampungnya  seperti  dari  Daeng ri Tamassang,  Syed Ba’alawi bin Abdulah asal Yaman di Pesantren Bontoala, Syekh Jalaluddin Aidit asal Aceh yang mengembara ke Tanah Bugis di Pasantren Cikoang kemudian menuju Hijaz.    Dalam perjalanan ke Hijaz 22 September 1644 singgah di Banten berkenalan dengan putra mahkota Banten Abdul Fattah putra Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), selama disini ia terlibat perlawanan terhadap penjajah Belanda, Singgah di negeri Serambi Mekkah  Aceh selama lima tahun berkomunikasi dengan pimpinan Thariqah al-Qadiriyah Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid  al-raniry,  atas saran dari Ulama Aceh  syeikh Yusuf singgah di Yaman berguru pada Syaikh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqqi (w.1664) dari tarekat an-Naqsyabandiyah,  berguru pada Syed Ali  al-Zubaidy (w.1084) seorang muhaddits dan Sufi,  Menunaikan Haji di Mekkah , menjiarahi Kuburan Nabi di Madinah dan berguru kepada Syaikh Ahmad al-Qusysyi (w.1661), Mullah Ibrahim al-Kawrany (1690) dan Hassan al-Ajamy (1701).     



     Belum puas dengan   pengetahuan  yang ada  beliau melanjutkan perjalanannya ke  Syam (Damaskus) dan Turki.   Di Syam, Syaikh Yusuf memperdalam pengetahuan   dan mengasah kepekaan bathin   kepada   Syaikh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwaty al-Quraishi.   Ketika musim haji tiba, Syaikh Yusuf mengajar santri-santri Nusantara   terutama yang berasal dari kawasan Bugis  diantaranya Syaikh Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuan Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng, merekalah yang kemudian meneruskan ajaran tarekat Khalwatiyyah Syaikh Yusuf di tanah Bugis.



Sufisme Syekh Yusuf,  mewariskan kepada keturunan dan pengikutnya,  Bahwa  Allah tidak ada yang menyerupainya  dan tidak ada yang menandinginya.



“ Sesungguhnya, Allah Ta'ala disifati dengan ayat al-Qur'an al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada Tuhan apapun yang menyerupai-Nya. 



     Konsep tauhid Syeikh Yusuf tidak lepas dari konsep tauhid ahl as-sunnah wal-jama'ah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana  dalam al-Qur'an dan  menyebutnya sebagai  um al-i'tiqad  induk dari keimanan yang mesti pegangi dan diyakini.   Unsur   ketauhidan yang mesti diyakini dalam menjalani suluk (pendekatan)  :  (1) Tauhid al-Ahad, meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Qadim (tidak berpemulaan), qadim bi-nafsih (berdiri sendiri), muqawwim lighairih (mengadakan selain-Nya).   (2) Tauhid al-Af'al, meyakini bahwa sesungguhnya Allah,  pencipta segala sesuatu, Allah berkehendak, dan semua kehendak manusia berada dalam kehendak Allah.   (3) Tauhid al-Ma'iyyah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah bersama hamba-Nya, di manapun berada.  (4) Tauhid al-Ihatah, meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.



     Dimensi tassawuf Syaikh Yusuf bergerak dalam konsep keyakinan terhadap Allah, mengelaborasi konsep tauhid sebagai pintu masuk untuk mengenal dzat yang Maha Besar, Allah Maha Agung. Inilah jalan pembuka, yang disadari Syaikh Yusuf sebagai pelajaran awal bagi pengikutnya untuk mengenal Allah, mengenal Sang Pencipta.



     Pengembang Islam Syaikh Yusuf  menghasilkan risalah al-Futuhah al-Ilahiyyah sebuah karya  rincian rukun tasawuf  ke dalam sepuluh perkara,  yang  menurut beliau  sangat penting bagi salik untuk berada dalam garis perjalanan mendekat menuju-Nya.   1. Tahrid al-Tauhid memurnikan ketauhidan kepada Allah yang disarikan dalam surat al-Ikklas,  2. Faham al-Sima’I memahami tata cara menjalani  pendekatan  diri kepada Allah (Syekh Mursyid),  3.  Husn al-Ishra  memperbaiki hubungan silaturahmi  dan pergaulan,   5.  Tark al-Ikhtiyar Berserah diri kepada  Allah tanpa I’timad kepada ikhtiar sendiri,  6. Surat al-Wujd memahami secara murni  hati nurani seiring kehndak al-Hag,  7. Al-Kahf an al-khawatir membedakan yang benar dan yang salah,  8.  Khatrat al-Safar melakukan perjalanan untuk mengambil I’tibar dan melatih ketahanan Jiwa,  9. Tark al-Iktisab mengandalkan usaha sendiri dengan berlatar Twakkal kepada Allah  dan  10. Tahrim al-Iddihar tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukan melainkan tuumpuan pada Allah.



     Bagi Syaikh Yusuf, manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) merupakan manusia yang sampai ke makam ma'rifat,  bukan hanya manusia biasa yang berislam secara dangkal,  dengan memberi penekanan tentang hakikat ma'rifat dalam kekhususan tingkatan manusia sebagai al-insan al-kamil dan  Manusia sempurna akan ingat Allah dalam segala urusan, kapanpun dan di manapun berada.     Syaikh Yusuf lahir  3 Juli 1628 M, di Gowa Sulawesi Selatan  dan wafat   23 Mei 1699 di Capetown, Afrika Selatan. 
byMuhammaDBakkaranG


   Beliau sebagai pejuang, jembatan Ulama Nusantara dan Timur Tengah dan  sufi yang mengajarkan lautan ilmu kepada murid-muridnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PETUALANGAN PERAHU BOROBUDUR 2003 HINGGA CAPE TOWN, DALAM EKSPEDISI JAKARTA – GHANA AFRIKA

NusaNTaRa.Com byLaDollaHBantA,            S   a   b   t   u,    2    7         A    p    r    i    l        2    0    2    4           P...