Minggu, 11 Oktober 2015

AYAHKU SEORANG PENEBUS BLOKADE PERAIRAN MALAYSIA


(Kisah ini merupakan kumpulan Tajuk  " Anak-anak PerBatasan " khususnya di kawasan Nunukan yang berbatasan dengan Sabah Malaysia tahun 1964-1968 yang saat itu bersitegang dalam konfrontasi Dwi Kora.  Tulisan ini buat Ultah Kab. Nunukan yang ke 16, pada 12 September 2015)



NusanTaRa.Com


Perseteruan Indonesia dan Malaysia tahun 1962 – 1968 yangg lebih dikenal dengan Dwikora atau konfrontasi,  berakibat terjadinya ketegangan politik dan militer yang tentunya sangat terasa bagi masyarakat yang berada diperbatasan kedua negara tersebut.   Sebagaimana  dengan desa tempat saya menetap di kala masa kecilku tahun 1966 yaitu di Pulau Nunukan Prov. Kalimantan Utara (Timur dulu) yang berbatasan dengan Sabah Malaysia yaitu kota Tawau dan Walacebay.

Dinamika yang tampak di daerah Perbatasan dengan ketegangan militer tentunya akan dihiasa dengan berbagai aktipitas militer atau pertahanan dan keamanan seperti aktifitas kesiagaan tentara dan masyarakat dalam  pertempuran, perlindungan,  patroli dan pengintaian.  Gejolak lain yang juga terasa di perbatasan Nunukan saat itu selain keamanan yang  selalu terancam,  masyarakat perbatasan didesa kami juga saat itu mengalami kekurangan bahan pangan khususnya beras yang sebagian besar masih didatangkan dari Jawa.   Gejolak ini seiring dengan keadaan politik di Pusat  Jakarta yang mengalami krisis pergerakan politik partai PKI  yang gagal ingin menguasai Indonesia serta konplik Trikora perebutan kembali Irian Jaya dari Kolonialis Belanda yang berdampak pada krisis ekonomi serta  pangan nasional berupa kurangnya produksi pangan dan harga pangan yang tinggi, sehingga lahir Tritura yang diserukan kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan diikuti kesatuan ormas lain,  yang memuat 1. Bubarkan PKI  2. Bersihkan kabinet dari antek PKI dan  3. Turunkan harga Sembako.

Gejolak pangan/sembako nasional tersebut ternyata merembes juga kedaerah terpencil dan perbatasan tempat saya tinggal, sehingga terlihat banyak masyarakat hanya memakan Jagung dan Ubi sebagai menu keseharian yang tentunya akan menjadi  kegelisahan masyarakat.   Sehingga tak heran bila Pak camat Nunukan yang saat itu dijabat Datuk Langkat,  hampir setiap hari ada saja masyarakat yang mengeluhkan keadaan ini pada beliau serta kepada komandan satuan TNI atau KKO yang banyak  bermarkas disana  dalam menjaga keamanan dan konplik perbatasan tersebut.

Untuk mengatasinya suatu saat ayahku dan beberapa masyarakat diajak berembuk mengatasi  kemelut pangan tersebut bersama Datu Langkat dan para komandan KKO.   Menurut Lamuka tokoh masyarakat dan anggota Sukarelawan bahwa : “  untuk memenuhi kebutuhan beras salah satu jalan adalah kita mendatangkannya dari Kota Tawau yang sedang konplik dengan kita “.   Maka diputuskanlah untuk mendatangkan beras dari Tawau dengan cara penyeludupan atau menerobos blokade laut dan ditetapkan peserta yang akan berangkat diantaranya Pak Barkat  penduduk asli suku tidung yang juga mempunyai banyak kekerabatan di sebelah,  La Muka seorang Sukarelawan sekaligus sebagai ketua,  LaOlo seorang Penambang (mengantarkan orang dengan perahu) ke Tawau dan Ayahku yang pernah bekerja di Tawau sebelum konfrontasi tersebut meletus, dengan menggunakan perahu kayu sepanjang 12 meter.

Setelah mahgrib aku dan ibuku menuju ke pantai yang berbakau terletak didepan Pos Intai KKO (sekarang=Pasar Tanah Merah) saat itu usiaku sekitar 5 tahun, aku melihat ayahku dan ketiga temannya sedang mempersiapkan pelayaran mereka menuju Tawau dengann perahunya.   Disaksikan  Bapak Camat dan para Komando KKO yang akan melepaskan keberangatan tersebut,  setelah semua peserta naik perahu aku melihat Bapak Camat mengucapkan kata-kata :    Hati-hati semua semoga selamat “, tak lama perahupun meluncur meninggalkan pantai dan tak lama hilang ditelan  pekatnya kegelapan malam serta deru ombak ditengah laut dan kamipun satu persatu meninggalkan tempat pemberangkatan menuju rumah masing-masing.

Selang  tujuh hari kemudian, disubuh hari saat aku masih enak tertidur  ibuku mendengar ketokan pintu dan iapun bergegas pergi membuka pintu tersebut, setelah dibuka ayahku masuk dengan memikul sekarung beras dengan kegembiraan ibuku memanggilku dan berkata :  “ Bapakmu datang cepat kesini “ mendengar tersebut aku dan adikku tersentak bangun dan datang memeluk ayahku yang baru tiba dan masih terlihat letih karena seharian harus berdayung selama kurang lebih 8-10 jam.

Menurut kisah ayahku, Pemberangkatan malam hari tersebut membuat mereka tidak terlihat oleh sebuah kapal patroli kecil Malaysia yang sering kami sebut Pos Apung yang selalu berlabuh didepan Nunukan yaitu Pos Kayu Mati,  kemudian perahu mereka mengambil jalur muara selat yang kecil sekitar 1,5 mil dari Pos Apung tersebut.  Perjalanan selanjutnya dari muara selat menuju Walacebay kota kecil Malaysia yang berada di P Sebatik yang ditempuh sekitar 5 jam setiba di sana mereka menginap salah satu rumah keluarga Pak Barkat yang banyak menetap disana.

Pagi hari sekitar jam 08.30 pagi keempat penebus blokade Malaysia tersebut turun keperahu untuk melanjutkan perjalanan menuju Tawau yang telah setengah perjalanan mereka lewati,  Sejam setelah meninggalkan pantai tadi mereka harus melalui penjagaan Pos Apung yang berlabuh tak jauh dari pantai,   mereka ditanya oleh seorang polisi Melayu sambil menelunjuk ke Pak Barkat :  “ Mau Kemana kamu ? “, Pak Barkat menjawab : “ Kami warga Walacebay mau ke Tawau membeli kebutuhan sehari-hari, mohon izin tuan ? “.   Perjalanan kali ini cukup berat karena perairan yang akan dilalui merupakan selat yang agak luas dengan arus yang besar  sehingga untuk sampai Di Tawau dibutuhkan waktu sekitar 8 jam.   Sesampai di Tawau mereka  masih harus melewati Pemeriksaan dari Pos Apung Malaysia, dengan alasan sebagai warga Walacebay ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka agar diizinkan mendarat, dan mereka pun mendarat di Pasar Ikan (sekarang menjadi Kawasan Sabindo).

Setiba di Tawau Pak LaMuka ketua rombangan  berkata  :  “ Kita harus menginap disini tiga hari sambil mencari keperluan, kita akan istirahat untuk memulihkan tenaga “.  Setelah perahu ditambatkan pas di belakang pasar ikan yang berada di pinggir laut dekat pusat perbelanjaan, mereka semua istrahat di warung Kopi milik Cina yang berada di salah satu blok perbelanjaan menikmati seduhan kopi dan makan dengan lahapnya, melepas kebosanan setelah dua hari lelah dengan mendayung seharian.   Selama di Tawau ayahku mengajak mereka menginap  dirumah rekannya yang ia kenal  saat ia masih bekerja disini dulu yaitu di kampung  “ Esbok ujung “ dan menjadi penunjuk jalan dalam mencari keperluan di Bandar Tanjung  (pusat keramaian/kota).

“ Pak semua barang Beras, Gula dan barang lainnya sudah siap diatas perahu “, ujar Pak LaOlo menjatuhkan karung beras terakhir  diatas perahu,  perahupun meluncur kelaut yang tentunya akan melalui Pos Apung yang selalu mangkal tidak jauh dari situ.  “ Hati-hati semoga selamat sampai ke Waylesbay  “ kata polisi melayu yang menyandang senjata di Kapal kecil itu, kemudian dijawab pak LaMuka terimakasih mister, dan perahupun malaju membelah selat dengan harapan segenap awak perahu yang masing-masing memegang dayung untuk segera tiba di Nunukan namun sebelumnya harus singgah bermalam dulu di Walacebay.
byBakriSupian


Naik sampan sendiri di Hutan Bakau,
Dengan hati yang baik kita dapat menghindari hidup galau.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KISAH JANDA PANGERAN CINA YANG BERUBAH MENJADI BATU. LEGENDS GUNUNG KINABALU DI SABAH

NusaNTaRa.Com     byGreaTBritteN,       J    u    m    a    t,     0    3      M    e    i       2    0    2    4   Gunung KINABALU gunung...