NusaNTaRa.Com
byIrkaBPiranhA, K a m i s, 1 6 S e p t e m b e r 2 0 2 1
Coto Makassar hadir ketika Islam masuk pertama kali di
Sulawesi Selatan pada 1500 masehi lalu,
tepatnya di sebuah daerah antara
perbatasan Kabupaten Takalar dan Gowa
Sulsel, tempat berdirinya
kerajaan kecil yang bernama Bajeng. Di kerajaan itu ada seorang juru masak yang
sering dipanggil Toak yang sangat suka berkreasi dengan berbagai jenis masakan. Kala
itu, belum ada daging sapi, hanya terdapat daging Kerbau, setiap hari raja-raja diberi sajian daging tersebut yang
terbuat dari hanya dagingnya sementara seluruh isi perutnya dibuang.
Toak yang merupakan koki handal kerajaan merasa sayang
setiap melihat bagian dalam hewan itu dibuang percuma sedangkan masyarakat di luar kerajaan tidak
pernah merasakan nikmatnya daging. Suatu ketika Toak termenung akan hal
itu, " Pasti aku bisa menjadikannya sesuatu yang
enak dengan bagian dalam perut ini (Jeroan). Jadi masyarakat bisa merasakan nikmatnya
daging ”(gumamnya dalam ketermenungannya).
Kala itu, Toak memiliki kekerabatan yang baik dengan
pedagang rempah-rempah dari Tiongkok, Persia, dan beberapa negara lainnya. Maka tak heran jika dia memiliki beragam
ramuan bumbu dapur, baik rempah dari Indonesia maupun negara-negara lain bahkan
berbagai kuliner khas dari Negara luar tersebut. Karena makanan ini memiliki unsur makanan
China (Tiongkok) di dalamnya karena
perpaduan rempah dari beberapa negara tadi itu dan pengaruh masakan soto dan
sop yang dominan dari Tionkok saat itu.
Akhirnya dengan segala keahliannya, dia mulai membersihkan
jeroan itu. Mengukus dan meracik
bumbunya. Namun anehnya dia tidak menggunakan
santan sebagai campuran kuah tetapi air
beras dan diberi kacang yang di haluskan.
Hidangan itupun oleh Toak disebut Coto Makassar yang sering ia bagi-bagikan kepada warga miskin disekitar kerajaan. Bahkan Toak juga menyajikan kepada
rekan-rekannya dari negara lain yang kebetulan ada di kawasan itu. Mereka menyebut, kuliner yang diciptakan Toak sangat
nikmat, hingga iapun memiliki percayaan diri untuk menyuguhkan hidangan tersebut
kepada sang raja.
Singkat cerita sampailah makanan itu ke lidah raja dan ternyata disukai hingga ia mendapat
pujian, perkembangan selanjutnya menjadi
satu kuliner favorit raja-raja di
kerajaan itu, dan makanan itupun menjadi
popular dan kegemaran masyarakat Makassar hingga kini.
Sebelum Coto Makassar melejit, Toak pernah mencoba mengganti
daging kerbau ke daging kambing, tapi
tidak bisa karena Rasa dan Aroma khas daging kerbau tak lebih
menjiwa rasa khas kuliner itu. “ Dari
situlah asal muasal Coto Makassar. Bahkan
lama kelamaan makanan ini hanyalah
makanan rakyat jelata karena bahan dasar
berubah jadi jeroan, jadi makanan ini
tergolong junk food dan masuk kategori soto-sotoan ”, Memasaknya pun harus menggunakan wadah periuk yang terbuat tanah liat di atas perapian yang tepat.
“ Tempat membuat
bumbu tidak boleh dicampur. Dan selamanya, Coto Makassar selalu di masak di
depan rumah, idak bisa di belakang
karena rasanya akan berbeda ”, Ujar SiDing. Tradisi
umik pembuatan Coto Makassar tidak mau di madu dalam arti, menjual
makanan ini tidak bisa bersama dengan soto lainnya semisal Sop Konro, Soto Banjar dan semua jenis soto dan sop-sopan lainnya, Karena
akan mempengaruhi rasa dan emosinya penikmat sangat jauh berbeda dari
rasa sebenarnya.
Bahkan untuk menikmatinya pun ada aturannya. Dahulu Coto Makassar bukanlah makanan untuk sarapan maupun makan siang apalagi malam, karena makanan ini hanya merupakan makanan perantara sehingga kuliner ini paling nikmat disantap pada pukul 09.00 Pagi hingga 11.00 siang. Dengan porsi yang tidak banyak, menggunakan mangkuk ukuran kecil dan sendoknya harus sendok bebek semakin sedap jika ditaburi bawang goring dan seledri serta disantap dengan ketup. Tak terasa penikmat akan mengatakan “Sere si panombonna Daeng” (satu mangkuk lagi tambahan Daeng). drFBSyarifah Haerana Almahdali16/09/2021.
Ke Makassar jalan-jalan mencicip coto daging,
Coto Makassar dengan rasanya khas kuliner dari kota Daeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar