NusaNTaRa.Com
byGreaTBritteN, J u m ‘ a t, 0 2 D e s e m b e r 2 0 2 1
Mohangu-hangu di Lembah Bada sulteng
Selain keindahan alamnya Lembah Bada yang
berada di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Kabupaten Poso, Provinsi
Sulawesi Tengah ternyata memiliki beragam kearifan lokal dan diantaranya
terdapat kegiatan yang cukup menarik
untuk diikuti. Salah satunya adalah tradisi Mohangu yang
dilakukan di Desa Tuare, Lore Barat (25/11/2021), yaitu sebuah kegiatan penangkapan ikan dengan alat dari bamboo di kolam tradisional
khas Lembah Bada, bagian dari lanskap Cagar Biosfer Lore Lindu, Sulawesi
Tengah.
“ Masyarakat
hanya diperkenankan menangkap ikan menggunakan alat “hangu” dan “pehao”,
yang keduanya terajut dari bamboo ”, Ujar
tulisan unggahan akun Instagram Taman Nasional Lore Lindu @bbtn_lorelindu (28/11/2021). Tradisi Mohangu diriwayatkan kala
orang-orang Bada yang terbiasa bercocok tanam dan berburu, mencari cara lain
mendapatkan lauk dengan cara mencari di sungai untuk mendapatkan ikan besar
dan juga kolam, menggunakan bambu yang dibuat sedemikian rupa.
Dan tradisi ini selain mengikat
persaudaraan antar desa di Lembah Bada, juga sebagai pelestarian cara-cara
ramah lingkungan dalam budidaya dan menangkap ikan. “ Pengelolaan
kolam tradisional dan kegiatan Mohangu di Desa Tuare ini merupakan bagian
kegiatan pengelolaan Dana Konservasi Desa dalam skema Kesepakatan Konservasi
Masyarakat (KKM) melalui Forest Programme III Sulawesi, yang diselenggarakan
bersama antara Lembaga Pengelola Konservasi Desa dan pemerintah Desa
setempat ”, Ujar Tulisan di TNLL.
Seperti biasanya dikala pagi hari saat matahari mulai meninggi
dilangit, warga sudut kampung Desa Bewa,
Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso,
beramai – ramai membawa alat penangkap ikan berbahan dasar bambu anyam
layaknya bubu untuk menangkap ikan. Jika
bubu hanya ditaruh di bawah air sambil menunggu ikan masuk perangkap, namun alat
yang mereka pakai lebih aktif
oleh penggunanya, “ Namnya hangu. Kegiatan menangkap ikan disebut
mohangu ”, Ujar SiDin Burhan Lamama, warga Desa Bewa.
Tradisi modulu-dulu dimulai 1930-an saat
orang Bada mulai tahu membuat sawah menggunakan kaki kerbau sebagai pembajak. Saat makan siang, pemilik sawah yang
berdekatan itu, 20-an orang, membagi diri; setiap kelompok 4 orang. “
Tradisi ini masih berlangsung dan terus ditingkatkan. Kegunaannya
menjaga persaudaraan, kebersamaan, dan menyelesaikan masalah bersama demi
kepentingan umum. Jika ada pejabat, mereka duduk melantai, setara dengan
lainnya ”, Ujar SiDin Burhan Lamama.
Mohangu tidak dilakukan setiap saat,
kadang setahun sekali. Kadang, pada acara tertentu. Saat ini, setiap warga yang
ikut dikenakan biaya senilai Rp 50.000, dibayar ke pemilik kolam. Setelah itu
dipersilakan menangkap sepuasnya. “ Dulu, jika ada yang mendapat 10 ekor, satu ekor
diberi ke pemilik kolam. Jika dapat 20 ekor diberi du ekor, begitu
seterusnya ”, Ujar SiDin
Hendrik Mangela, tokoh masyarakat Lembah Bada.
Agus Tohama, pemandu wisata senior di Lembah Bada mengatakan, banyak wisatawan asing datang ke Lembah Bada hanya untuk melihat tiga hal. Pertama, penasaran situs-situs megalitik seperti arca atau patung Palindo yang posisinya miring. Kedua, menyaksikan keindahan alam dan hutan Lembah Bada hingga melakukan jungle tracking. Ketiga, penasaran dengan budaya di Lembah Bada. “ Umumnya, wisatawan mancanegara yang datang dari Eropa ”, Ujar SiDin Agus Tohama dpemandu wisata dengan Plabomoranya (hebatnya).
Mencari ikan dalam perairan,
Mohangu – hangu joo di
Lemba Bada dapat Ikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar