NusaNTaRa.Com
byThEGreaTBriteN, S e l a s a, 1 4 S e p t e m b e r 2 0 2 1
Suku Laut sering kita temukan diberbagai belahan bumi Nusantara yang
umumnya hidup dalam ketermarginalan kehidupan entah mereka itu serumpun dalam
arti khusus atau tidak, Tak terkecuali
di Singapura Negara kecil dan termaju di Asia Tenggara, mereka masih ditemukan
meski dalam kondisi yang jauh dari originalitasnya karena kemajuan dan
pembauran dengan suku yang Melayu dan pendatang yang lebih maju. Keberadaan
mereka yang terAsimilasikan dengan budaya
Melayu dan kehilangan bahasa aslinya, membuat turunan pengembara
suku laut yang masih ada menghidupkan kembali budaya mereka melalui
makanan.
Mendiang bibinya Asnida Daud yang selalu
menjanjikan sajian yang menggiurkan, dengan seluruh anggota keluarga duduk
bersila di lantai dan makan dengan tangan seperti biasa dan penyaji
beragam hidangan, diantaranya
asam pedas (sup ikan asam dan pedas) yang dibuat dengan Ikan Pari menjadi teman sempurna untuk sepiring nasi putih
lembut, Asnida terus membuat makanan dengan satu cara
yang dia tahu, ini telah dilakukan Asnida bertahun-tahun setelah
bibinya pindah ke apartemen kecil di Clementi, sebuah kawasan perumahan di
barat daya Singapura, jauh dari desa di tepi Pulau Sudong, tempat dia dulu
tinggal,
Masakan Cumi suku Orang Laut Singapura |
Pulau Sudong dilepas pantai
selatan Singapura sekarang merupakan daerah pelatihan militer, dulunya
merupakan kawasan pemukiman
bagi Orang Laut (bahasa Melayu
untuk "manusia laut"), merekalah
penduduk asli dan diyakini sebagai penduduk pertama Singapura. Penyebutan paling awal tentang kelompok
pengembara laut ini berasal dari sebuah buku seorang pelancong China ke
Singapura pada abad ke-14, ratusan tahun sebelum kedatangan Inggris pada 1819. Suku Orang Laut Singapura termasuk Orang
Seletar yang tinggal di hutan bakau dekat Sungai Seletar, Orang Biduanda Kallang
dari Sungai Kallang, Orang Gelam di akhir Sungai Singapura dan Orang Selat dari Kepulauan Selatan.
Ibunya Asnida adalah Orang Laut seperti suku Orang Galang di Indonesia, mereka
pernah tersohor sebagai pendayung bagi Sultan Palembang. Ketika saya berbincang dengan Asnida, yang
kini menjadi pendidik dan pembela pelestarian warisan Orang Laut, saya bisa merasakan
kegembiraannya saat mengingat kenangan manis memakan asam pedas semasa remaja, dia mengatakan bahwa, “ yang
menonjol dari asam pedas di pulau utama, karena dibumbui dengan lada hitam yang
dihancurkan menggunakan batu giling tradisional
“.
Bagaimana kampung terakhir di Singapura mencoba bertahan di tengah modernism, Orang Laut secara tradisional hidup dari
laut, mencari makan dan berburu di hutan
bakau, memancing di sungai dan laut, lalu beralih ke tanaman dan makanan laut
saat mengobati penyakit dan cedera,
jadi makanan lebih dari sekedar
rezeki tetapi cara hidup. Seiring
waktu, dengan pembongkaran desa mereka dan perpindahan ke perumahan umum dari
tahun 1960-an hingga 1990-an karena industrialisasi Singapura, Orang Laut
menjadi terbiasa dengan perkotaan.
Sebagian besar mereka lantas diidentifikasi sebagai Melayu, sebuah
kelompok etnis di Singapura yang mencakup masyarakat adat termasuk orang-orang
dari Kepulauan Indonesia, belakangan
juga penganut Islam. Demikian pula
masakan Orang Laut, yang dicirikan oleh makanan laut segar yang diperoleh
dengan metode penangkapan ikan tradisional dan dimasak sederhana dengan bumbu,
ini semuanya hilang kedalam variasi makanan orang melayu, bahkan makanan mereka
sudah tidak dikenal pasti oleh keturunan
Orang Laut itu sendiri.
Firdaus Sani cemas warisan budaya yang kaya ini akan hilang, kemudian generasi keempat Orang Laut ini lalu
memutuskan membuka Warung Orang Laut
Singapore tahun lalu, sebuah bisnis pengiriman makanan rumahan yang berfungsi
ganda sebagai inisiatif untuk membagikan
budaya sekaligus penghormatan atas cara hidup tradisional komunitasnya. "
Banyak makanan kami yang hilang dimakan waktu atau dianggap tidak
unik " dan tambahnya Laji "
Pencarian saya adalah untuk membagikan masakan Orang Laut kepada dunia
dan membantu budaya ini menemukan tempatnya di peta makanan Singapura ",
Ujar SiDin Firdaus Sani dengan Soppenger (jumawanya).
Ketika Firdaus dewasa ia tidak mengerti mengapa sotong hitam buatan
keluarganya terasa berbeda dari yang dijual di warung makan Melayu. Akhirnya ia memahami bahwa buatan keluarganya menggunakan Nos jenis cumi-cumi yang lebih lebar dan panjang ketimbang
cumi-cumi biasa dengan kandungan tinta paling banyak. Ia
mengetahuinya saat tinggal di Pulau Semakau, pulau yang tidak jauh dari Pulau Sudong dan
kini Semakau oleh pemerintah Singapura dijadikan pusat tempat pembuangan sampah.
" Kami mencoba
mempertahankan masakan kami dengan menggunakan metode memasak tradisional serta
menghormati resep kami, bagaimana
makanan harus sajikan dan mengapa
beberapa binatang laut harus dimasak dengan cara-cara tertentu serta binatang
unik lain seperti Buntal, Sifut Rangga
(keong laba-laba) dam moluska ", Ujar SiDim Firdaus. Di
keluarga Firdaus, ikan buntal dimasak dengan gaya "kerabu", ikan
direbus dicampur dengan kangkung
dan serai lalu ditumis dengan pasta cabai kering, bawang putih, terasi, bawang
merah dan lada hitam.
Waktu memasaknya sekitar satu hari,
mulai dari mengulitinya, membagi
bagian yang dapat dimakan dan membuang racunnya, semua dapat dimakan kecuali
kulitnya, usus dibersihkan secara menyeluruh kemudian dikepang agar tidak pecah
selama proses perebusan yang akan berlangsung selama berjam-jam dan setelah direbus, tulang dibuang dan
bagian seperti jeroan dan insang diiris tipis-tipis untuk dimasak. Karena standar keamanan pangan Singapura yang
ketat membuat Firdaus hampir tidak bisa menjual hidangan ikan ini. Dia hanya
menawarkan hidangan tradisional lainnya seperti sotong hitam dan gulai nenas
(nanas dalam kaldu udang) yang dimasak oleh ibu dan bibinya.
Firdaus dalam memenuhi pesanan kulinernya dalam satu peket dilengkapi kartu pos berisi foto keluarga lama dan
catatan yang menjelaskan hidangan dan detail anekdot kehidupan di Pulau Semakau
(orang laut). Perpindahan dan asimilasi mengarah pada dekulturasi, membuat sulit mendefenisikan tempat fisik khas atau bahasa mendefinisikan
identitas budaya Orang Laut dan mungkin hanya
makanan dari sedikit hal yang tersisa
dari budayanya. " Hanya tersisa keturunan Orang Laut di
Singapura hari ini ", Ujar SiGaluH
Viviennee Wee antropolog penelitian lapangan terhadap masyarakat adat di
Singapura dan Kepulauan Riau. " Tidak ada lagi konteks kesukuan. Generasi
muda hanya memiliki ingatan generasi tua
", Ujarnya menambahkan.
Asnida Daud juga mempelajari
masakan Orang Laut yang dianggap memiliki manfaat kesehatan. Menyajikan bubur dengan timun laut setelah
melahirkan, Sementara nenek Firdaus
yang seorang bidan kerap membuat salad teripang mentah dengan buah cermai, asam
jawa, cabai kering, terasi dan kelapa
goreng. " Makanan Orang Laut bukan hanya tentang kelangsungan
hidup, tetapi salah satu cara nyata untuk mengekspresikan identitas kami ",
Ujar SiGaluH Asnida Daud dan menambahkan, "
Hidangan kami mencerminkan pengetahuan dan pengalaman kami. Misalnya,
penggunaan asam jawa dalam asam pedas bukanlah suatu kebetulan. Asam jawa memiliki sifat antibakteri dan rasanya yang manis dan asam melengkapi
rasa ikan, sumber utama protein Orang Laut
",
Bagi Mohamed Shahrom Bin Mohd Taha, cara hidup Orang Laut
mengisyaratkan bagaimana kita bisa hidup lebih berkelanjutan juga. "
Makanan adalah hadiah dari laut. Hormati laut dan jangan memancing
secara berlebihan ", Ujar SiDin M Shahrom guru sejarah yang neneknya Orang Laut, dari
suku Orang Biduanda Kallang dan Bintan Penaung itu dan menambahkan, "
Hari ini kami sangat terputus dari rantai makanan kami. Saya tidak
memancing tetapi saya membawa anak-anak saya berjalan-jalan di pasang surut,
dan liburan kami dihabiskan di laut ".
" Mengingat bahwa Orang
Laut adalah penduduk asli Singapura, kisah mereka, termasuk masakan mereka, adalah suatu hal yang
lebih penting untuk diceritakan karena hal itu menangkap momen dalam waktu di
dalam sejarah Singapura ". Warga
Singapura sangat ingin mempelajari lebih banyak, sejak buku Orang Laut Singapore diluncurkan
pada Agustus 2020, pesanan mingguan meningkat lebih dari tiga kali lipat di karenakan larangan makan di tempat bahkan Kedutaan Besar
ESTONIA di Singapura baru-baru ini memesan untuk Presiden ESTONIA yang baru
perttama kalinya berkunjung ke Singapura.
Dalam upayanya untuk mempopulerkan masakan Orang Laut, Firdaus Sani sekarang mengabdikan penuh waktunya untuk Orang Laut Singapura, dengan mimpi menerbitkan buku dan membuka ruang yang tidak hanya menyajikan makanan Orang Laut, tetapi juga berbagi cerita dan tradisi. Ini adalah tambahan tepat waktu untuk makanan lokal, mendorong makan bersama dengan orang-orang terkasih ketika banyak yang merasakan efek isolasi sosial saat pandemi berlangsung - dan memulai percakapan yang sudah lama tertunda tentang Orang Laut Singapura, satu kali makan pada satu waktu.
Orang laut terhimpit dibangunan
Singapura,
Kuliner Orang Laut masih ditemukan di Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar