NusaNTaRa.Com
byPunGKadA, M i n g g u, 2 3 J u n i 2 0 2 4
Pasar Kopi di Toraja Sulawesi Selatan
Kopi pertama kali masuk ke Sulawesi Selatan melalui
perdagangan dengan bangsa Arab di wilayah Makassar. ccKopi pertama kali ditanam
dan dibudidayakan di wilayah Toraja setelah diperkenalkan oleh orang-orang dari
Kerajaan Gowa, sebagaimana bunyi naskah Lontaraq, sebuah catatan harian dari Kerajaan Gowa,
menyebutkan bahwasanya orang-orang Gowa berlayar membawa kopi ke pelabuhan
Suppa (sekarang Parepare), kemudian menuju Toraja dengan berjalan kaki melalui
pegunungan Enrekang.
Pada masa tersebut, Gowa dan Toraja masih memiliki hubungan yang erat, bahkan pada masa-masa awal pembentukan Kerajaan Gowa telah ada hubungan yang baik kedua daerah tersebut, ini terlihat pada penggunaan pusaka Toraja dalam pelantikan raja-raja Gowa. Kopi akhirnya menjadi komoditas penting di Sulawesi Selatan yang diminum oleh semua kalangan tanpa membedakan kelas sosial. Kopi bahkan telah menjadi minuman khas untuk penambah energy dan sumangat sebelum askar-askar kerajaan berangkat berperang.
Komersialisasi kopi
yang semakin membaik kemudian memicu persaingan dagang
antara bagian selatan (sekitar Wajo, Sidenreng, Camba dan sebagian Sinjai) dan bagian utara (Toraja dan Enrekang). Kerajaan Sidenreng yang memiliki pelabuhan
Bungin memasarkan kopi dengan nama kopi Bungin
sedang pesaingnya, Kerajaan Bone
bersama saudagar Arab berupaya merebut pasar kopi melalui pelabuhan Palopo. Toraja
sebagai penghasil kopi utama walau secara geografis lebih dekat dengan
pelabuhan Palopo di bawah Kedatuan Luwu tetapi memilih menjual kopinya melalui
pelabuhan Bungin di wilayah Sidenreng.
Kerajaan Luwu kemudian bersekutu dengan Kerajaan Bone untuk
melancarkan perang ke Toraja, terjadinya penyerbuan
yang dikenal dengan nama Songko
Barong. Toraja di bawah Kerajaan
Sangalla dengan bantuan Sidenreng dan Enrekang memberikan perlawanan balik
terhadap Bone dan Luwu. Inilah Perang
Kopi I yang terjadi pada 1887-1888, selang sepuluh tahun kerajaan Bone kembali masuk ke Toraja untuk
memonopoli perdagangan kopi. Toraja kembali meminta bantuan Enrekang dan
Sidenreng.
La Tanro Arung Buttu, raja ke-14 Enrekang, melakukan
perundingan dengan pasukan Kerajaan Bone dan mengeluarkan aturan bahwa Bone
tidak boleh membawa kopi melewati Bambapuang di Enrekang, Wajo, Sidenreng,
ataupun Luwu. Mereka hanya diperbolehkan membawa kopi melewati Pinrang. Aturan
ini kemudian menjadi penyelesaian masalah dan dipatuhi. Perang Kopi II berakhir pada 1890 tanpa kemenangan salah satu
pihak.
Kebanyakan kopi yang diproduksi di Toraja berasal dari petani-petani kecil dengan produksi yang cukup rendah, sekitar 300 kilogram per hectare, ini membuat kopi Toraja menjadi komoditas yang makin dicari-cari karena keistimewaannya. Hingga kini, kopi Toraja masih dipetik dan disortir dengan tangan, sebuah proses yang menjamin kualitas kopi bagi para konsumen. Kemudian, setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia meluncurkan kebijakan nasionalisasi yang mengambil pertanian milik Belanda.
Toraja daerah
pegunungan sejak dulu Penghasil Kopi.
Sejarah Bugis-Toraja mencatat pernah terjadi PeranG KopI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar