NusaNTaRa.Com
byBasruLDatUMabusunG, K a m i s, 1 5 D e s e m b e r 2 0 2 2
Suasana Samarinda sekitar tahun 1980-an
Meski Solco Walle Tromp, asisten Belanda di Kutai yang juga seorang
ilmuwan dan geology menyebutkan bahwa bentuk pemerintahan tersebut
bukanlah Republik definitif seperti standar sebuah Negara yang berdaulat
murni, sebagaimana yang sebagian orang ada yang menyebut pemerintahan otonom
komunitas Bugis di Samarinda (Seberang) ketika itu sebagai satu Republik.
Ketika itu orang-orang Bugis yang
berdiam di Samarinda tidak mengenal
istilah republik, mereka hanya mengenal tatanan
Pua Adu, sebutan bagi pimpinan komunitas yang dipilih oleh warga
sementara 'republik' baru muncul dua dekade setelah kelembagaan pua
adu dihapuskan Sultan Kutai, riwayat
pemerintahan Bugis ini berakhir sekitar 1870.
Sumber informasi riwayat Bugis adalah
penelitian Tromp pada 1887 berjudul Eenige
Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai. Dalam karya tulis tersebut,
Tromp melampirkan transliterasi naskah Salasila Bugis di Kutai. Tulisan berbahasa Belanda dan Melayu kuno ini
kemudian diterjemahkan serta disadur ke dalam bahasa Indonesia, dilakukan
oleh antropolgi kelahiran Sumatera Selatan dam seorang peneliti di
Universitas Leiden, Belanda, bernama Frieda Amran, saduran
berbentuk makalah itu lantas dipresentasikan dalam seminar kebudayaan Melayu di
sebuah kampus di Makassar, Sulawesi Selatan,
tahun 2016.
Tromp pernah menjabat Asisten Residen Afdeeling
Kutai dan Pesisir Timur Laut Kalimantan, Tulisannya pada 1887
diakui sebagai sumber sejarah yang sangat berharga dalam rekonstruksi
sejarah lokal Samarinda. Substansi Salasila Bugis di Kutai yang
ditelitinya memiliki kesamaan dengan Surat Perjanjian Bugis dengan Raja
Kutai, yang torlampir dalam kitab klasik Arab-Melayu
Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Kedua naskah salasilah itu sama-sama tidak
menyebutkan nama La Mohang Daeng Mangkona sebagai Pua Adu pertama di Samarinda, menurut hikayat Pua Adu inilah yang meminta izin menetap di
Samarinda Seberang kepada Raja Kutai. Nama yang diajukan sebagai Pua Adu oleh suku Bugis dan disetujui Raja Kutai, seperti
tertulis dalam naskah kuno itu, bernama Anakoda Latuji atau La Tujing.
Penyebutan Republik Samarinda pada masa Pua Adu
memang perlu diluruskan, karena
penyebutan Republik akan berasosiasi dengan sebuah pranata politik yang komplet
atau negara. Republik dapat dianggap
sebuah perangkat yang memiliki wilayah, kekuasaan, aparatur sipil dan militer,
serta kelengkapan seperti negara non-monarki,
dalam pandangan sebagian orang
maka Republik berkedudukan setara dengan imperium Kesultanan Kutai Kertanegara
saat itu. Realitasnya tidaklah demikian
dan Tromp tidak pernah menyebut Republik
Samarinda. Pada halaman 186 pustakanya
hanya menulis “Boegineesche Republiek” yang berarti hanya menganggap suatu bentuk
pemerintahan yang memilih pemimpin itu sebagai Republik Bugis di Kutai.
Paling penting lagi adalah penekanan Tromp bahwa
republik tersebut di bawah kedaulatan Sultan Kutai dimana hasil pemilihan
pejabat Pua Adu wajib dikonsultasikan
dengan Sultan Kutai dan Sultan berhak
memveto mengingat Kesultanan Kutai adalah tuan rumah. Ada perbedaan antara sebutan Republik Bugis
dan Republik Samarinda. Lingkup etnis yang dijangkau pemerintahan tersebut
adalah contohnya. Republik Bugis hanya menjangkau secara terbatas kalangan
perantau Samarinda dari Sulawesi Selatan. Ketika disebut Republik Samarinda
--sebutan ini kurang tepat--, berarti kekuasaan politiknya juga mengikat bagi
etnis non-Bugis seperti Kutai dan Banjar. Kedua etnis ini lebih dulu
berdomisili di enam kampung di Samarinda.
Kenyataannya, Republik yang dimaknai Tromp
tidak demikian. Pemerintahan Bugis di Samarinda tidak berkuasa atas masyarakat
Kutai dan Banjar yang merupakan rakyat Kesultanan Kutai Kertanegara. Tim
Penyusun buku Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa (1992)
menyatakan, kekuasaan Pua Adu bukanlah
seperti wakil raja di sebuah daerah,
melainkan hanya berfungsi sebagai
kepala suku setingkat desa yang berlokasi di Samarinda Seberang.
Tromp juga mencatat, hubungan komunitas Bugis
dengan Kutai tidak senantiasa berjalan baik. Beberapa kali terjadi konflik antara orang
Bugis dan Sultan Kutai, naskah Salasila
mencatat kali pertama penentangan tersebut ketika ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara
masih di Kutai Lama. Kala itu, orang
Bugis bersekutu dengan armada Kerajaan Sulu --yang menguasai selatan Filipina dan
sebagian utara Kalimantan-- untuk menyerang Kutai Lama. Kelompok Bugis ini merupakan rombongan Pua Adu
yang pertama, sebelum masa permukiman di Samarinda, mereka tidak senang dengan upacara Erau,
tijak tanah Kutai, yang mewajibkan istri Pua Adu sebagai relawannya.
Potret Suku BUGIS di Muara Bada dahulu kala |
Serangan koalisi Bugis-Sulu ini diperkirakan
bertarikh pengujung abad ke-17 atau permulaan abad ke-18. Setelah serangan
ditumpas atas pertimbangan keamanan,
Kutai Kertanegara memindahkan ibu kotanya ke Pemarangan --Jembayan-- pada 1832 dan Lima puluh tahun beribu kota di Jembayan,
Kerajaan Kutai memindahkan lagi pusat pemerintahannya ke Tenggarong. Dalam tulisan Tromp, ketika beribu kota di
Tenggarong, Sultan Kutai pernah terpaksa menyingkir dari keraton untuk
menyelamatkan diri. Kesultanan waktu itu telah membangun benteng kokoh yang
mengelilingi keraton. Amunisi persenjataan dan meriam terus-menerus disiagakan.
Langkah ini menunjukkan bahwa Kesultanan siap menghadapi ancaman dari orang
Bugis di hilir dan potensi gangguan dari hulu.
Memang, waktu itu, Tromp mengungkapkan bahwa
situasi wilayah Samarinda Seberang di bawah kepemimpinan Pua Adu --yang menetap atas izin sultan--
tidak kondusif, Kriminalitas merajalela. Pua Adu dan jajarannya kadang terjebak dalam
konflik internal. Konflik yang berpangkal karena urusan membela kerabat yang
berbuat onar sehingga kelembagaan segera kehilangan legitimasi karena tidak
mampu menegakkan hukum. Pertengahan abad ke-19, Sultan Aji Muhammad
Sulaiman mengangkat kepala polisi dari seorang Banjar bernama Ince Miril (Encik
Moril) yang memperuncing pertentangan, Pua Adu merasa pengaruh dan kedudukannya
terancam.
Setelah tujuh bulan bertugas di Samarinda Ince Miril digantikan Sultan dengan seorang dari pantai barat Kalimantan keturunan
Arab dan Bugis bergelar Pangeran Bendahara.
Iapun bertugas sebagai menteri luar negeri kesultanan sekaligus gubernur
daerah dan kepala polisi Samarinda. Carl Bock, petualang Norwegia yang
ditugaskan Gubernur Jenderal Belanda, mencatat nama asli Pangeran Bendahara
ialah Syarif Abdurachman bin Segaf. Semula,
orang-orang Bugis tidak mengacuhkan Pangeran Bendahara, ia konsisten memasuki
urusan internal komunitas Bugis dan mengusulkan kepada Sultan agar menerbitkan
peraturan yang memangkas wewenang Pua Adu. Sultan setuju.
Setelah kekuasaan Pua Adu dilucuti, konflik
tidak mereda, Pua Adu disebut
membangkang lalu mengundurkan diri. Sultan AM Sulaiman murka dan
lombaga Pua Adu dihapuskan. Sultan
rupanya masih berbaik hati sehingga kepemimpinan Pua Adu diganti dengan penggawa
yang kedudukannya di bawah Pangeran Bendahara. Namun demikian, angka
kriminalitas di wilayah ini tidak berkurang.
Pada akhirnya, Sultan memberhentikan penggawa dan secara tegas menghapuskan jabatan kepala suku Bugis di Samarinda dengan segala bentuk dan namanya. Sultan menetapkan Pangeran Bendahara sebagai pemimpin langsung komunitas Bugis di Samarinda. Sejak saat itulah, masyarakat Bugis tidak lagi memiliki pemimpin tersendiri di Samarinda. Keberadaan Pangeran Bendahara dan penghapusan lembaga otonomi Bugis ternyata mampu menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban. (dr.kaltimkece.id, 29/01/2020)
Potret Samarinda di era kolonial kawasan Selili
Tatanan
Kelembagaan eksistensi masyarakat berdiri.
Republik
Bugis Samarinda dahulu di Hapus Sultan Kutai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar