Sabtu, 17 Desember 2022

TRAGEDI KEBERADAAN REPUBLIK BUGIS DI SAMARINDA, YANG BERDIRI DAN DIHAPUSKAN SULTAN KUTAI

NusaNTaRa.Com

byBasruLDatUMabusunG,     K  a  m  i  s,     1   5     D  e  s  e  m  b  e  r     2  0  2  2

Suasana Samarinda sekitar tahun 1980-an

Meski Solco Walle Tromp,  asisten Belanda di Kutai yang juga seorang ilmuwan dan geology  menyebutkan bahwa  bentuk pemerintahan  tersebut  bukanlah Republik definitif seperti standar sebuah Negara yang berdaulat murni, sebagaimana yang sebagian orang ada yang menyebut pemerintahan otonom komunitas Bugis di Samarinda (Seberang)  ketika itu sebagai satu  Republik.   Ketika itu  orang-orang Bugis yang  berdiam di Samarinda tidak mengenal istilah republik,  mereka hanya  mengenal  tatanan  Pua Adu, sebutan bagi pimpinan komunitas yang dipilih oleh warga sementara  'republik'  baru muncul dua dekade setelah kelembagaan pua adu dihapuskan Sultan Kutai,  riwayat pemerintahan Bugis ini berakhir sekitar 1870.

Sumber informasi riwayat Bugis adalah penelitian Tromp pada 1887 berjudul Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai. Dalam karya tulis tersebut, Tromp melampirkan transliterasi naskah Salasila Bugis di Kutai.   Tulisan berbahasa Belanda dan Melayu kuno ini kemudian diterjemahkan serta disadur ke dalam bahasa Indonesia,  dilakukan  oleh antropolgi kelahiran Sumatera Selatan dam seorang peneliti di Universitas Leiden, Belanda, bernama Frieda Amran,   saduran berbentuk makalah itu lantas dipresentasikan dalam seminar kebudayaan Melayu di sebuah kampus di Makassar, Sulawesi Selatan,  tahun 2016.

Tromp pernah menjabat Asisten Residen Afdeeling Kutai dan Pesisir Timur Laut Kalimantan,  Tulisannya  pada 1887  diakui sebagai sumber sejarah yang sangat berharga dalam rekonstruksi sejarah lokal Samarinda.   Substansi Salasila Bugis di Kutai yang ditelitinya memiliki kesamaan dengan Surat Perjanjian Bugis dengan Raja Kutai,   yang torlampir dalam kitab klasik Arab-Melayu Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara.   Kedua naskah salasilah itu sama-sama tidak menyebutkan nama La Mohang Daeng Mangkona sebagai  Pua Adu pertama di Samarinda,  menurut hikayat   Pua Adu inilah yang meminta izin menetap di Samarinda Seberang kepada Raja Kutai.  Nama yang diajukan sebagai Pua Adu oleh  suku Bugis dan disetujui Raja Kutai, seperti tertulis dalam naskah kuno itu, bernama Anakoda Latuji atau La Tujing.

Penyebutan Republik Samarinda pada masa Pua Adu memang perlu diluruskan,  karena penyebutan Republik akan berasosiasi dengan sebuah pranata politik yang komplet atau negara.  Republik dapat dianggap sebuah perangkat yang memiliki wilayah, kekuasaan, aparatur sipil dan militer, serta kelengkapan seperti negara non-monarki,  dalam pandangan  sebagian orang maka Republik berkedudukan setara dengan imperium Kesultanan Kutai Kertanegara saat itu.  Realitasnya tidaklah demikian dan  Tromp tidak pernah menyebut Republik Samarinda.  Pada halaman 186 pustakanya hanya menulis   “Boegineesche Republiek”  yang berarti hanya menganggap suatu bentuk pemerintahan yang memilih pemimpin itu sebagai Republik Bugis di Kutai.

Paling penting lagi adalah penekanan Tromp bahwa republik tersebut di bawah kedaulatan Sultan Kutai dimana hasil pemilihan pejabat  Pua Adu wajib dikonsultasikan dengan Sultan Kutai dan  Sultan berhak memveto mengingat Kesultanan Kutai adalah tuan rumah.    Ada perbedaan antara sebutan Republik Bugis dan Republik Samarinda. Lingkup etnis yang dijangkau pemerintahan tersebut adalah contohnya. Republik Bugis hanya menjangkau secara terbatas kalangan perantau Samarinda dari Sulawesi Selatan. Ketika disebut Republik Samarinda --sebutan ini kurang tepat--, berarti kekuasaan politiknya juga mengikat bagi etnis non-Bugis seperti Kutai dan Banjar. Kedua etnis ini lebih dulu berdomisili di enam kampung di Samarinda.

Kenyataannya, Republik yang dimaknai Tromp tidak demikian. Pemerintahan Bugis di Samarinda tidak berkuasa atas masyarakat Kutai dan Banjar yang merupakan rakyat Kesultanan Kutai Kertanegara. Tim Penyusun buku Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa (1992) menyatakan, kekuasaan   Pua Adu bukanlah seperti wakil raja di sebuah daerah,  melainkan  hanya berfungsi sebagai kepala suku setingkat desa yang berlokasi di Samarinda Seberang.

Tromp juga mencatat, hubungan komunitas Bugis dengan Kutai tidak senantiasa berjalan baik.  Beberapa kali terjadi konflik antara orang Bugis dan Sultan Kutai,  naskah Salasila mencatat kali pertama penentangan tersebut ketika ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara masih di Kutai Lama.   Kala itu, orang Bugis bersekutu dengan armada Kerajaan Sulu --yang menguasai selatan Filipina dan sebagian utara Kalimantan-- untuk menyerang Kutai Lama.  Kelompok Bugis ini merupakan rombongan Pua Adu yang pertama, sebelum masa permukiman di Samarinda,   mereka tidak senang dengan upacara Erau, tijak tanah Kutai, yang mewajibkan istri Pua Adu sebagai relawannya.

Potret Suku BUGIS di Muara Bada dahulu kala

Serangan koalisi Bugis-Sulu ini diperkirakan bertarikh pengujung abad ke-17 atau permulaan abad ke-18. Setelah serangan ditumpas  atas pertimbangan keamanan, Kutai Kertanegara memindahkan ibu kotanya ke Pemarangan --Jembayan-- pada 1832  dan Lima puluh tahun beribu kota di Jembayan, Kerajaan Kutai memindahkan lagi pusat pemerintahannya ke Tenggarong.  Dalam tulisan Tromp, ketika beribu kota di Tenggarong, Sultan Kutai pernah terpaksa menyingkir dari keraton untuk menyelamatkan diri. Kesultanan waktu itu telah membangun benteng kokoh yang mengelilingi keraton. Amunisi persenjataan dan meriam terus-menerus disiagakan. Langkah ini menunjukkan bahwa Kesultanan siap menghadapi ancaman dari orang Bugis di hilir dan potensi gangguan dari hulu.

Memang, waktu itu, Tromp mengungkapkan bahwa situasi wilayah Samarinda Seberang di bawah kepemimpinan  Pua Adu --yang menetap atas izin sultan-- tidak kondusif,  Kriminalitas merajalela.   Pua Adu dan jajarannya kadang terjebak dalam konflik internal. Konflik yang berpangkal karena urusan membela kerabat yang berbuat onar sehingga  kelembagaan  segera kehilangan legitimasi karena tidak mampu menegakkan hukum.   Pertengahan abad ke-19, Sultan Aji Muhammad Sulaiman mengangkat kepala polisi dari seorang Banjar bernama Ince Miril (Encik Moril) yang   memperuncing pertentangan,  Pua Adu merasa pengaruh dan kedudukannya terancam.

Setelah tujuh bulan bertugas di Samarinda  Ince Miril  digantikan Sultan dengan  seorang dari pantai barat Kalimantan keturunan Arab dan Bugis bergelar Pangeran Bendahara.  Iapun bertugas sebagai menteri luar negeri kesultanan sekaligus gubernur daerah dan kepala polisi Samarinda. Carl Bock, petualang Norwegia yang ditugaskan Gubernur Jenderal Belanda, mencatat nama asli Pangeran Bendahara ialah Syarif Abdurachman bin Segaf.   Semula, orang-orang Bugis tidak mengacuhkan Pangeran Bendahara, ia konsisten memasuki urusan internal komunitas Bugis  dan  mengusulkan kepada Sultan agar menerbitkan peraturan yang memangkas wewenang Pua Adu. Sultan setuju.

Setelah kekuasaan Pua Adu dilucuti, konflik tidak mereda,  Pua Adu disebut membangkang lalu mengundurkan diri.  Sultan AM Sulaiman murka  dan  lombaga Pua Adu dihapuskan.   Sultan rupanya masih berbaik hati  sehingga  kepemimpinan Pua Adu diganti dengan penggawa yang kedudukannya di bawah Pangeran Bendahara. Namun demikian, angka kriminalitas di wilayah ini tidak berkurang.

Pada akhirnya, Sultan memberhentikan penggawa dan secara tegas menghapuskan jabatan kepala suku Bugis di Samarinda dengan segala bentuk dan namanya.   Sultan menetapkan Pangeran Bendahara sebagai pemimpin langsung komunitas Bugis di Samarinda. Sejak saat itulah, masyarakat Bugis tidak lagi memiliki pemimpin tersendiri di Samarinda. Keberadaan Pangeran Bendahara dan penghapusan lembaga otonomi Bugis ternyata mampu menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban.   (dr.kaltimkece.id, 29/01/2020)

Potret Samarinda di era kolonial kawasan Selili



Tatanan Kelembagaan  eksistensi masyarakat  berdiri.

Republik Bugis Samarinda dahulu di Hapus Sultan Kutai.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...