NusanTaRa.Com
byBakuINunukaN, 28 J u l i 2020
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah menerima pengaduan dari
perwakilan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (AKUR) Cigugur terkait
larangan dan penyegelan pesarean atau bakal makam Tokoh Masyarakat Adat Karuhun
Urang Sunda Wiwitan (AKUR) Cigugur, yakni Pangeran Djatikusumah daan Istrinya
Ratu Emalia Wigarningsih. Pembangunan
pesarean atau bakal makam disebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), Satpol PP Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
sebelumnya menyegel bangunan pasarean di Situs Curug Go'ong, Senin 20 Juli 2020 melalui surat nomor
300/851/GAKDA.
Sebagai
mana diketahi bahwa Sunda Wiwitan merupakan
kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme
dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda namun ada sementara pihak yang berpendapat bahwa
Agama Sunda Wiwitan memiliki unsur
monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya
terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang
Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut
ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat,
seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan
kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran
Hindu dan Islam. Ajaran Sunda Wiwitan
berpegang pada kitab Sanghyang
Siksakanda ng Karesian disebut jug Kropakk 630, sebuah kitab yang berasal dari
zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan
dan pelajaran budi pekerti.
Masyarakat
AKUR Cigugur sebelumnya telah mengajukan Penetapan Masyarakat Adat (PMA) kepada
Bupati Kuningan terkit penetapan
pasarean namun permohonan tersebut
ditolak. Menanggapi kisruh tersebut Komnas
HAM menilai bahwa larangan pembangunan dan penyegelan pesarean itu bertentangan
dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal
28E Ayat 1.
Pasal
itu menyatakan " Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ", "
Perlu diketahui bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menganut
kepercayaan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termasuk dalam
hak-hak sipil dan politik ", Ujar SiDin Beka Ulung Hapsara Komisioner Komnas
HAM di Jakarta, Senin 27 Juli 2020.
Sikap
Pemerintah Daerah Kuningan itu juga telah mencederai Pasal 6 Ayat 1 UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan " Dalam rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah ". Komnas HAM meminta Bupati dan jajaran Pemda
Kuningan untuk menghentikan segala bentuk proses penyegelan atau pembongkaran
Pesarean Curug Goong sebaliknya diminta untuk menjaga keamanan dan mencegah
adanya tindak kekerasan. Komnas HAM
juga meminta kepada semua pihak untuk mengedepankan dialog berdasarkan
prinsip-prinsip kemanusiaan dan penghormatan hak asasi manusia sebagai dasar
tindakan atau kebijakan.
Pendamping
masyarakat adat Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri, menyebut apa yang
dialami pihaknya sebagai "diskriminasi yang sistematis", " Kami merasa hak kami sebagai warga
negara terdiskriminasi secara sistematis, secara terstruktur, dan
sistematis ", Ujar SiDin
Djuwita kepada NusanTaRa.Com, Rabu (22/07). Pemda Kuningan menampik tudingan
diskriminasi dan berdalih pembangunan bangunan yang dianggap sebagai tugu
tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), Bupati Kuningan, Acep Purnama, menyebut
langkah penyegelan dipilih sebagai langkah "persuasif dan paling
baik".
Makam
berupa dua liang lahat dan batu berukuran besar yang ditatah seperlunya hingga
berbentuk tugu—atau disebut batu satangtung oleh warga lokal—terletak di desa
Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Pembangunan makam itu kini terbengkalai dan didepannya terpampan pita
segel berwarna oranye bertuliskan
“ DILARANG MELINTAS “ dan “ SATPOL PP KAB KUNINGAN “ tampak mengelilingi bangunan tersebut,
sementara pemberitahuan penyegelan terpampang di batu besar yang menjadi
sentral dari bangunan itu.
Sunda
Wiwitan pemujaan pada alam dan arwah,
Pembangunan
Pasarean Sunda Wiwitan sementara di cegah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar