NusaNTaRa.Com
byBambanGBiunG, S e l e s a, 0 5 O k t o b e r 2 0 2 1
Margaretha Mala dengan kelompok Tenun |
Margaretha Mala, perempuan Dayak Iban dari
Kalimantan Barat penggagas kegiatan Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi, menjadi pembimbing bagi kelompok Ibu-ibu yang
ingin belajar menemun dengan pewarna alami di Dusun Sadap, Desa Menua, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat. Pada penghujung
November 2020, Mala mendapatkan Kehati
Award 2020 untuk kategori Tunas Kehati (Generasi Muda) dengan menumbangkan 153 calon
lain dari 29 provinsi, sebuah
penghargaan bagi para pegiat lingkungan hidup yang karyanya dianggap penting
dalam kelestarian keragaman hayati.
Tenunan Dayak Iban pewarna alami |
Kegiatan Srikandi Pelestari Tradisi dan
Konservasi, bahasa Dayak Iban “ Dara
Labu Anya Ngemata Ka Pengawa Ari Aki-Inek Bansa Iban Ngan Ngenanka Menua ”,
dengan mengajarkan keterampilan ini kepada anggota kelompok. Mala bilang, menenun ini jadi satu upaya
melestarikan tradisi turun temurun
budaya Dayak Iban yang mulai
jarang digunakan, sehingga kepedulian
kaum muda penting guna memberikan inovasi baru baik dari unsur motif hingga
warna yang tak lepas dari nilai-nilai leluhur yang ada, “
Jadi, saya kasih variasi, kalau dulu tenun hanya garis satu, ketika
sudah ikut pelatihan di sini, saya coba ubah motif dan kualitas juga ”,
Ujar SiGaluH Margaretha Mala.
Ketertarikan Mala terhadap tenun sejak berusia 10
tahun, ketika ia melihat bagaimana tangan ibu dan neneknya
asyik menghasilkan kain khas ini, dari
situlah ia bertekad mempelajari
kerajinan ini hingga menguasai tenun sejak di usia 15 tahun. Mala
juga membuat kebun etnobotani seluas
tiga hektar di Dusun Sadap dengan sekitar 160 tanaman dengan berbagai jenis
pewarna alami yang dihasilkan seperti engkerebai, leban, durian, daun salam,
randu, ulin rambutan hingga pepaya dan lain-lain. Di lokasi lain, Mala dan warga dusun menggagas
demonstration plot (demplot) untuk membudidayakan rengat padi dan rengat akar
sebagai bahan pewarna alami.
Sejak saat
itulah Mala rajin bikin kain tenun, awalnya hasil tenunan Mala simpan untuk
kegiatan ritual dan budaya Dayak Iban.
Tak disangkanya ternyata kreativitas itu justru menarik banyak minat ibu-ibu di dusun yang secara
tidak sengaja melihat galeri hasil tenun Mala saat bertandang ke rumahnya. Mereka minta diajarkan dan ia tidak
menolak, “ Saya
justru bersyukur bisa mewarisi kebudayaan dari nenek moyang, pendahulu saya.
Melestarikan sesuatu yang sudah ada itu sangat penting ”,
Ujar SiGaluH Mala dengan
senangnya.
Sejak berdiri 2018, kegiatan ini sudah menggaet 28
perempuan Dusun Sadap jadi perajin tenun. Sebagian hasilnya, dijual dengan
penghasilan mencapai lebih Rp50 juta selama dua tahun, “
Setiap hasil tenun itu pasti terjual dan bisa bantu ekonomi ibu-ibu di
sana ”,
Ujar SiGaluH Mala.
Mala menamakan kelompok tenun tersebut dengan “Endo Segadok”, kegiatan menenun ini ternyata
ada juga di desa lain yaitu Desa Menua, namun kelompok desa lain ini
banyak mempercayakan pemasaran pada Mala
di Dusun Sadap. Harga tenun bervariasi,
mulai syal Rp75.000 hingga kain panjang lebih Rp1 juta, “ Tergantung ukuran, motif atau warna yang
seperti apa, kita kan menyesuaikan pesanan dan harga ”,
Ujar SiGaluh Mala dengan Soppenger (jumawanya).
Sejak usia 10 tahun perempuan yang kini berusia 25
tahun ini tidak hanya belajar menenun, juga filosofi di balik kerajinan
itu, setidaknya kata Mala, perlu ritual dan ada semacam sesajian yang harus disiapkan dalam
setiap tenun yang hendak dibuat, “ Ada ritualnya, tergantung motif. Kalau tidak ritual kami bisa mengalami mimpi buruk ”. Lewat
tenun ini dia katakan bukan hal sembarangan. Sejak zaman dahulu pemakaian tidak sembarangan mereka memakainya untuk kegiatan-kegiatan ritual Dayak
Iban, “
Jadi, ketika ada anak muda seperti saya yang promosikan kain tenun ini
ke luar, tidak sedikit yang tertarik dan memesan dari kami ”,
Ujarnya Laji.
M Mala membina kalangan rumaja |
Yang menjadikan
kain tenun Maya sangat berbeda
karena menggunakan pewarnaan yang
menggunakan bahan alami khususnya dari bahan tumbuhan, seperti rengat, engkerebai, leban, daun salam, randu, ulin, papaya,
rambutan hingga mengkudu yang didapat
dari kebun etnobotani atau dri alam disekitarnya. Di lokasi lain, Mala dan warga dusun
menggagas demonstration plot (demplot) untuk membudidayakan rengat padi dan
rengat akar juga bahan pewarna alami. Demplot ini berukuran satu hektar dan
kerjasama dengan Forclime, sebuah program iklim hasil kerjasama pemerintah
Indonesia dan Jerman.
Keterlibatan anak muda dalam Kelompok Penenun sangat kurang,
mengajak generasi muda sangat sulit. Padahal, kalau mereka bisa meluangkan waktu
ikut menenun di kala senggang, bisa mendapatkan penghasilan dari kain tenun
untuk menambah biaya sekolah, “ Yang paling penting adalah mereka, anak muda,
ikut melestarikan budaya yang sudah turun temurun ini ”,
Ujar SiGaluH Mala. Banyak remaja dan anak muda Iban sudah kurang
memahami tradisi menenun ini, padahal melestarikan suatu kebudayaan adalah hal
penting dilakukan generasi muda.
Mala juga mempercayakan penjualan tenun ini kepada Myra Widiono, Ketua Warna Alam Indonesia (Warlami) yang merupakan perkumpulan para perajin, pelaku kriya tekstil, akademisi dan pemerhati tekstil. Dari sini, hasil tenun dijual ke luar dusun menggunakan segala macam saluran iklan, termasuk internet, “ Setiap hasil yang dikerjakan ini pasti terjual dan bisa bantu ekonomi para ibu-ibu ini ”, Ujar SiGaluH Mala.
Margaretha Mala Penerima Kohati Award (2020) |
Kain ditenun agar budaya lestari,
Margaretha Mala pelestari Tenun Iban menggunakan pewarna alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar