NusaNTaRa.Com
byBakrISupiaN, S e l a s a 1 6 F e b r u a r i 2 0 2 1
Seakan
berdiri magis sebuah rumah
tua itu berwarna serba putih, mulai pagar
panggungnya putih, dinding rumahnya
serba putih dan langit-langitnya
juga putih. sepintas lalu rumah itu terlihat tak ada yang istimewa, namun jika kita perhatikan dan selidiki
lebih detail, tornyata rumah itu
menyimpan nilai multikultural yang kaya.
Bangunan bergaya panggung
Melayu, lantainya diimpor dari Eropa
dan ornamennya bergaya Cina namun yang tinggal di rumah tersebut adalah keluarga
keturunan Arab.
Orang – orang disekitar rumah itu menyebutnya sebagai Rumah Letnan Arab, Letnan Arab atau Kapita Arab adalah gelar yang diberikan Kesultanan Ternate kepada perwakilan komunitas Arab dan yang menghuni rumah tersebut tercatat sebagai turunan kelima Letnan Arab. Di zamannya, Para pemimpin komunitas Cina dan Arab mendapat kehormatan dan dimasukkan dalam struktur Kesultanan Ternate sebagai perwakilan dan penyambung antara komunitas mereka dengan Kesultanan.
Kelucuan
dari Rumah Letnan Arab ini yang berada
di Kampong Arab Ternate, karena Kampong
Arab ini berada di dalam wilayah Kampong
Cina Ternate. Menurut kisah masyarakat
lama disitu ketika saya bertraveling kesana (penulis) bahwa selain
Kampong Arab di Kampong Cina Ternate ini
terdapat juga Kampong Palembang dan Kampong Butun. Hanya saja, kini orang-orang Palembang sudah
pergi dan tak menghuni kampung itu lagi dan wilayah tersebut sudah
berganti wajah menjadi pusat perniagaan dengan banyak bangunan pertokoan dan
bank yang berdiri di atasnya.
Niat
buruk Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) sejak awal untuk memonopoli perdagangan rempah dari Ternate. Padahal, sebelum bangsa Eropa itu datang ke
Ternate, para pedagang asli Ternate sebenarnya telah terbiasa menjalin
transaksi rempah dengan pedagang-pedagang dari Nusantara, Tiongkok, India, dan
Arab. Tak ada dari mereka yang memiliki
niat rakus untuk memonopoli perdagangan rempah dari Ternate ini seperti bangsa
Eropa. Meski dahulu para pedagang dari
Cina, Arab, Melayu, India, Palembang, Butun dan Makassar terbiasa hidup berbaur
bersama orang-orang asli Ternate, kedatangan VOC Belanda, para pedagang dari Asia itu kemudian
dipaksa untuk tinggal secara berkelompok sesuai komunitas etnis masing-masing
di tempat-tempat yang terpisah satu sama lain, yang kini dikenal sebagai
kampong-kampong.
“ Pembagian kampong-kampong ini baru terjadi
pada awal abad ke-17. Awal ketika Benteng Oranje mulai dibangun (oleh VOC).
Jadi ketika Benteng Oranje dibangun, 1606, di situlah para pedagang-pedagang
tadi dikumpulkan di sekitar benteng ”, Ujar SiDin
Maulana Ibrahim dosen ketika arsitektur di Universitas Khairun dan pendiri
Ternate Heritage Society yang ditemui
Bakri Supian Jurnalis sposial NusaNTaRa.Com ketika menhadiri
acara " Avontur Daring Kampong Cina Ternate dan
Sekitarnya: Perjalanan yang Mengungkap Kisah di Balik Toponimi Kampung-kampung
Tua di Jantung Kepulauan Rempah ",
Sabtu (13/2/2021).
Meski wilayah tempat tinggal para warga pendatang itu dipisah-pisahkan oleh VOC dengan dibagi per kampong, pergaulan antar mereka sangatlah cair dan rukun, dan itu terus terejawantahkan hingga sekarang. Vice Chairman Ternate Heritage Society, Aiye Lee, dalam acara avontur daring yang sama menceritakan bahwa setiap ada perayaan hari besar Islam, warga keturunan Cina di Ternate rajin mengantarkan makanan untuk warga keturunan Arab. Begitu pula saat ada perayaan hari besar Tionghoa, orang-orang keturunan Arab juga rutin mengantarkan makanan untuk warga keturunan Cina tersebut.
Aiya
Lee menekankan, toleransi beragama masyarakat Ternate sangatlah tinggi sejak
dulu hingga sekarang. Ia mencontohkan, “ Pas
Imlek kemarin, ada pengajian di Gang Habib I (yang terletak di dalam Kampong
Cina). Pengajian sengaja setop jam 9 malam.
Kemudian di-prepare (dipersiapkan)
untuk acara Imlek jam 10 ”, Perayaan Hari Tahun Baru Imlek pada 2021 di
Ternate ini menggambarkan betapa indahnya nilai-nilai kebersamaan masyarakat di
sana.
Dalam
acara avontur daring ini, seorang peserta sempat bertanya apakah ada identitas
penanda yang membedaan wilayah komunitas Kampong Arab dan Cina di Ternate. Maulana Ibrahim menjawab, penanda indetitas
antar kampong itu justru bisa sangat berbahaya,
karena akan memperkuat stereotipe antaretnis di sana. “ Kalau kita kembali memberikan penanda, apa
bedanya kita dengan VOC ? ”, Ujar
SiDin Maulana Ibrahim dengan
plabomoranya (hebatnya). Yang selama ini
sudah berlangsung di Ternate, warga dari berbagai etnis bisa hidup membaur satu
sama lain. Mereka bisa hidup rukun berdampingan dengan nilai-nilai kekeluargan
dan toleramsi yang luhur.
VOC
membagi wilayah masing-masing kampong dengan lokasi-lokasi yang dekat dari
Benteng Oranje. Pembagian kampong-kampong ini dilakukan oleh VOC agar mereka
bisa dengan mudah mengawasi dan mengontrol para pedagang dari Asia tersebut. “
Jadi kota Ternate tuh dibagi-bagi seperti orang membagi pizza. Di bagian
utara Banteng Oranje adalah jatahnya Kampong Makassar ”,
Ujarb Maulana mencontohkan. Kemudian
Aiya Lee menimpali, “ Sekarang
di seberang rumah tiga lantai milik orang keturunan Cina itu ada rumah dengan
arsitektur Melayu yang ditinggali oleh orang keturunan India ”, Kecuali
saat datangnya kolonial Eropa, sejak dulu hingga nanti tampaknya kehidupan
warga di Ternate akan senantiasa berlangsung baik tanpa perlu sekat etnis,
tanpa perlu batas wilayah.
Dalam
Kabupaten terdapat beberapa Kecamatan,
Kampong
Cina Ternate terdapat Kampong Arab, Palembang dan Butun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar