NusaNTaRa.Com
byBambanGNunukaN, K a m i s, 1 8 A
p r i l 2 0 2 4
Keluarga Sanikem di Suriname, generasi kedua orang Jawa, yang tinggal di Desa Tamanredjo, 45 menit perjalanan mobil dari ibu kota Paramaribo. Sanikem masih fasih berbahasa Jawa ngoko. |
Tak kurang sesekali terdengar masyarakat memutar lagu-lagu pop Jawa dari koleksi almarhum Didi Kempot, komplit sudah Tamanredjo di Suriname ini benar-benar menyediakan nuansa Jawa. Ketika berada di rumah yang berjarak 45 menit monil dari Kota Paramaribo yaitu Mbah Sanikem peremuan berusia 82 tahun bersama menantu Rudi serta anak perempuannya Roesmini dan Roesijem. " Tamanredjo iki... (Ini Tamanredjo) ", Ujar SiGalUH Sanikem yang mengenakan jarik berwarna cokelat tua dan kebaya merah.
Sanikem
adalah generasi kedua dari pekerja kontrak yang dibawa pemerintah kolonial
Belanda dari Jawa untuk bekerja di perkebunan tebu di Suriname pada 1890 hingga
1939, selama periode itu tidak kurang
33.000 orang Jawa didatangkan ke Suriname.
Diantaranya ada pulang ke Indonesia atau pindah ke Belanda, namun
sebagian besar menetap di negara yang berjarak sekitar 18.000 kilometer dari
Pulau Jawa ini.
" Aku wiwit cilik manggon neng Suriname, nanging ora bisa ngomong basa Londo (saya sejak kecil menetap di Suriname, namun tak bisa berbahasa Belanda) ", Ujar SiGaluH Sanikem dengan Boneernya (Manisnya). Ngoko bahasa Jawa yang banyak digunakan disana, yaitu tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa, yang dipakai untuk berbicara dengan orang sudah akrab, dengan orang yang lebih rendah kedudukannya, atau dengan orang yang lebih muda. Tak jauh dari sana saya menemui Semoedi kelahiran 1940, pendatang kedua asal Jawa, fasih Jawa kromo.
Mbah Sanikem khawatir dengan nasib bahasa Jawa ke depan karena makin sedikit anak-anak muda yang aktif berbahasa Jawa. " Sulit [meminta kalangan muda menggunakan bahasa Jawa]. Contohnya, menantu saya. Dia paham jika saya berbicara bahasa Jawa. Namun sulit baginya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Demikian juga dengan cucu-cucu saya. Saya sudah mengajari mereka [berbicara bahasa Jawa] namun tidak mudah mendorong mereka menggunakan bahasa ini ", Ujar SiDin Semoedi dengan Plengoan Jawanya. .
Semoedi
sendiri belajar bahasa Jawa sejak kecil dengan berguru kepada orang tua di desanya, baginya untuk melestarikan bahasa Jawa adalah
mendorong anak-anak muda untuk belajar dan aktif menggunakan bahasa ini, "
Nak mboten, bahasa Jawi meniko nggih ical (jika tidak, maka bahasa Jawa
ini akan hilang) ". Di Desa Tamanredjo Pengguna bahasa Jawa kromo
Saat ini terbatas di kalangan orang-orang tua saja. Generasi muda lebih sering menggunakan bahasa
Belanda dan Sranan Tongo, bahasa pengantar di Suriname.
Rudi, menantu Mbah Sanikem, mengatakan, " Di sini ada banyak kelompok etnik sehingga ketika kami berbicara dengan mereka, kata-kata yang kami pakai campur-campur. Ya, pakai bahasa Belanda, ya bahasa Sranan Tongo.... ". Beberapa anak muda di Pasar Saoenah, Paramaribo, mengatakan lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, dibandingkan bahasa Jawa. Ernesto dan Kylie, mengatakan hanya bisa berbahasa Jawa secara pasif. " Saya tahu sedikit bahasa Jawa ... saya tinggal bersama nenek. Ia banyak berbicara bahasa Jawa namun saya berbicara dengannya dengan bahasa Belanda. Saya tak banyak belajar bahasa Jawa darinya ", Ujar SiDin Ernesto.
Ketika
Ernesto memulai sekolah, ia lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan
Tongo saat berbicara, jujur ia tidak merasa perlu bisa aktif berbahasa
Jawa. Baginya, cakap berbahasa Belanda
dan Sranan Tongo sudah cukup. " Orang-orang
yang berinteraksi dengan saya tidak berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka menggunakan
Belanda atau Sranan Tongo ", Ujar Ernesto dan menambahkan "[Tetapi] kalau ada orang-orang tua
berbicara bahasa Jawa, saya paham. Jika mereka berbicara dalam bahasa Jawa,
saya biasanya akan menjawab dalam bahasa Belanda ".
Siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname mendengarkan acara bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji, direktur Radio dan Televisi Garuda. |
Saat ditanya
apakah dirinya khawatir suatu saat nanti bahasa Jawa akan hilang jika jumlah
penuturnya makin sedikit, Kylie menjawab, " Iya,
tentu saja. Saya menyesal [sebenarnya] karena tak bisa fasih berbahasa
Jawa ". Kylie menambahkan bahwa ia punya keinginan
untuk belajar bahasa Jawa. Ia sering mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa dan
akan lebih mengasyikkan jika ia paham lirik lagu-lagu tersebut, kata Kylie.
5. Dengan
adanya siaran Garuda, masyarakat Jawa di Suriname bisa mendengarkan dan
menonton acara dalam bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari, kata Cindy Radji,
direktur Radio dan Televisi Garuda.
Lain halnya
dengan Jean Paul Armani yang merasa beruntung karena keluarganya aktif
berbicara bahasa Jawa. Dari sini ia banyak belajar, yang membuatnya cukup fasih
menggunakan bahasa Jawa, " Tidak paham 100%. Tetapi sebagian besar saya
paham ", Cakap Besar Jean Paul. Seperti halnya
keluarga Mbak Sanikem, Jean Paul hanya bisa berbahasa Jawa ngoko, Paul juga terbantu dengan siaran Radio Garuda,
salah satu stasiun radio berbahasa Jawa di Suriname.
Radio Garuda
yang mengudara di frekuensi 105,7 didirikan
pada 1996 untuk memperingati 105 tahun kedatangan orang-orang Jawa di
Suriname, menggambarkan bahwa Radio Garuda didirikan
105 tahun dan tujuh bulan setelah kedatangan pertama pekerja kontrak dari Jawa
pada 9 Agustus 1890. Hingga 1996, tidak
ada stasiun radio yang secara khusus melayani kebutuhan orang-orang Jawa,
stasiun radio hanya menyediakan dua jam siaran dalam bahasa Jawa.
Kekhawatiran
tentang nasib Bahasa Jawa, lebih jauh mendorong pencipta lagu dan penyanyi
Suriname, Mantje Karso, berinisiatif untuk mempopulerkan lagu-lagu pop dengan
lirik Bahasa Jawa. Ia meyakini musik
adalah salah satu cara efektif untuk membuat anak-anak muda suka dan bangga
dengan bahasa Jawa. " Sekarang anak-anak muda kesulitan menggunakan
bahasa Jawa. Melalui lagu, [harapannya] anak-anak muda lebih mudah [belajar
dan] menggunakan bahasa Jawa. Mungkin ini salah satu cara yang paling gampang
untuk mempertahankan tradisi Jawa
", Cakap SiDin Karso dengan
Soppengernya (Jumawanya).
Generasi muda Jawa di Suriname, seperti Ernesto, lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan bahasa pengantar Sranan Tongo |
Suku JAWA bangsa Suriname didatangkan Belanda.
Orang Jawa Suriname khawatir punahnya Bahasa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar