NusaNTaRa.Com
byDannYAsmorO, J u m a t, 2 9 M a r e t 2 0 2 4
Raymond Sapoen pada 2015 ditetapkan partainya sebagai calon presiden Suriname. |
" Suatu saat nanti, saya bisa menjamin akan ada orang Jawa yang mendadi presiden di Suriname, yang leluhurnya berasal dari Indonesia ", Ujar SiDin Sapoen pada Mohamad Susilo wartawan BBC News Indonesia, di rumahnya bercat hijau asri di Lelydorp, sekitar satu jam perjalanan dengan mobil di sebelah selatan ibu kota Paramaribo. Sapoen memiliki nada bicara kalem, ora meledak-ledak namun mendalam terasa akan adanya keyakinan aspirasi politike orang Jawa di Suriname negara di ujung utara benua Amerika Selatan.
Pada tahun 2015 Sapoen tiba-tiba saja viral mengumumkan pencalonan diri sebagai presiden Suriname, di Indonesia media memberitakan bahwa seorang politisi keturunan Jawa meramaikan pemilu dan mencalonkan diri sebagai presiden Suriname. Perhatian tak hanya tertuju pada sosok Sapoen tetapi juga ke kerabatnya yang diyakini tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Dalam satu wawancara khusus dengan BBC News Indonesia delapan tahun kemudian, Sapoen mengungkapkan alasan mengapa ia dicalonkan oleh partainya, Pertjajah Luhur, untuk menjadi orang nomor satu di Suriname.
" [Pencalonan]
itu merupakan kebijakan partai untuk meraih lebih banyak dukungan dari
masyarakat Jawa, meskipun saya sebenarnya sejak awal sadar bahwa peluang saya
untuk terpilih menjadi presiden sulit ", Cakap Besar SiDin Sapoen, yang pernah menjadi
menteri pendidikan dan menteri perdagangan.
Perjalanan sejarah Suriname menunjukkan kekuatan dan pengaruh politik
komunitas Jawa di Suriname tidak sebesar komunitas Afro-Suriname dan
Indo-Suriname.
Berawal sebagai pendatang, kini warga keturunan Jawa
menjadi tokoh di Suriname, mulai dari menteri, ketua parlemen, hingga wakil rakyat
di dewan perwakilan nasional. Kelompok
pertama yang dibawa ke Suriname oleh bangsa Belanda beberapa abad silam adalah
komunitas keturunan orang-orang Afrika Barat yaitu orang-orang Maroon dan
Creole untuk menjadi budak. Kelompok
kedua adalah keturunan pekerja migran India yang masuk ke Suriname setelah
penghapusan perbudakan pada abad ke-19.
Dalam pemilu 2015, Partai Demokrat Nasional (NDP) yang
berbasis pada etnik Jawa menang besar dengan meraih 26 kursi dari 51
kursi di parlemen nasional. Pertjajah
Luhur, masuk dalam aliansi partai-partai politik yang menamakan diri V7 yang
secara keseluruhan mendapatkan 18 kursi.
Pertjajah Luhur sendiri mendapatkan lima kursi, "
Dalam pemilu [2015], suara yang didapat partai Pertjajah Luhur tidak
mengalami kemajuan yang berarti. Suara yang didapat mengecewakan ",
Cakap SiDin Sapoen dengan Boneernya (Rasa Takut).
Selain Pertjajah Luhur, ikut pula tiga partai lain yang juga berbasis etnik Jawa dalam pemilu 2015, partai itu adalah Kerukunan Tulodo Pranatan Inggil (KTPI), pecahan KTPI bernama KTPI Gaya Baru (NSK), dan Partai Demokrasi dan Pembangunan (PDO). Analis politik dari Universitas Leiden, Belanda, Peter Meel, dalam buku Departing from Java, mengatakan populasi Jawa di Suriname sekitar 14% dimana suara mereka terpecah ke sejumlah partai termasuk ke partai yang tidak beretnis Jawa khas.
Setelah pemilu 2015, yang terpilih menjadi presiden
adalah Desi Bouterse, pemimpin NDP berlatar belakang militer dan partai ini pemegang mayoritas kursi di parlemen. Menurut sistem ketatanegaraan Suriname,
presiden dipilih oleh minimal dua pertiga anggota parlemen. Bagi Bouterse ini kali kedua menduduki kursi
tersebut karena 2010 ia terpilih sebagai presiden menyusul
kemenangan aliansinya, Megacombinatie. Dengan
naiknya Bouterse di pemilu 2015, keinginan untuk melihat orang Jawa menjadi
presiden di Suriname harus dikubur.
Muncul pertanyaan, mengapa tidak didirikan satu partai
yang mewadahi suara masyarakat Jawa di Suriname ? Bukankah dengan munculnya beberapa partai
berbasis orang Jawa, suara orang-orang Jawa menjadi terpecah ?. Pada 1949 digelar pemilu pertama, yang
mendorong pendirian partai-partai politik yang muncul adalah partai berbasis etnik dan
agama karena faktor komposisi populasi dan juga karena penerapan politik pecah
belah (divide et impera), kata pengamat politik Universitas Leiden, Peter Meel.
Adapun sebagian orang Jawa mendirikan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) pada 1948 melalui tokohnya, Iding Soemita, ada Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) yang dirikan oleh Salikin Hardjo pada 1947 dengan gaya kepemimpinan yang berbeda. KTPI mencitrakan diri sebagai organisasi yang mendukung gagasan kembali ke Jawa, sementoro PBIS mendorong orang Jawa menetap di Suriname dan membangun masa depan di negara tersebut. Soemita memproyeksikan diri sebagai tokoh yang dekat orang-orang Jawa kebanyakan, sedangkan Hardjo yang berpendidikan dikesankan sebagai elitis.
Puncak dari tajamnya perbedaan antara KTPI dan PBIS
adalah keputusan S Hardjo untuk moleh ke
Indonesia tahun 1950-an bersama sekitar 1.000 orang dan menetap di Tongar, Sumatera Barat. Pada 1970-an, wajah politik Jawa di Suriname
diwakili dua figure : Willy Soeminta,
anak Iding Soemita, yang memimpin KTPI menggantikan sang ayah dan Paul
Somohardjo, yang meninggalkan presidium Jawa di Partai Nasional Suriname (NPS)
dan mendirikan Partai Pendawa Lima pada 1977.
Bronto Somohardjo tokoh Jawa menjabat menteri dalam negeri kabinet Presiden Chan Santokhi setelah pemilu 2020 |
Saat berkembang wacana kemerdekaan Suriname pada 1970-an, Soemita mendukung negara Suriname yang lepas dari Belanda, sementara Somohardjo menolak kemerdekaan Suriname karena khawatir lepasnya Suriname dari Belanda akan memicu kerusuhan etnik dan mendorong pindah ke Belanda untuk menyelamatkan orang Jawa di Suriname. Dalam perjalanannya, Somohardjo meneguhkan diri sebagai salah satu tokoh politik utama masyarakat Jawa di Suriname pada 1998 mendirikan Pertjajah Luhur, partai yang hingga sekarang dikenal menjadi wadah suara orang-orang Jawa, kemudian mengantarkan dirinya menjadi ketua parlemen 2005.
Rosemarijn Hoefte, guru besar sejarah Suriname di Universitas Amsterdam, Belanda, mengatakan politik di Suriname sering kali bersifal personal. " Ini soal aliansi dan kesetiaan personal. Ada Somohardjo, Willy Soemita, dan keduanya tak bersedia bekerja sama. Selalu berseberangan ", Cakap Besar SiDin Hoefte, juga peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, kepada Mohamad Susilo, " Jika yang satu bilang A, yang satu bilang B. Contohnya, ketika kemerdekaan Suriname menjadi agenda politik. Ini wacana yang tidak populer karena mungkin sebagian besar orang tidak setuju " dan " Somohardjo mengatakan tidak setuju dan mengatakan akan membawa orang-orang Jawa ke Belanda dan kemudian ke Jawa, karena khawatir dengan kerusuhan etnik. Soemita sebaliknya, ia mendukung kemerdekaan ", Cakapnya Besar.
Evert Karto, anggota parlemen dari Pertjajah Luhur menyadari perjalanan sejarah partai-partai berbasis etnis Jawa di Suriname, meminta komunitas Jawa mengambil pelajaran masa lalu dan meningkatkan soliditas. Jika tidak, suara orang Jawa di politik tidak akan lantang. " Sudah ada pelajaran, mereka sudah melihat sendiri [sejarah partai Jawa]. Orang-orang Jawa harus memilih dan mendukung politisi-politisi Jawa. Jika tidak, maka kelompok Jawa tidak akan punya suara di parlemen ", Ujar SiDin Karto, anggota parlemen daerah Commewijne dekat ibu kota Paramaribo, banyak didiami orang-orang Jawa dan " Populasi Jawa sekitar 70.000 orang, yang terbesar keempat di Suriname [harus ada dukungan etnik lain] ".
Keluar dari "jebakan etnisitas" sudah ada
dalam pikiran Raymond Sapoen, politisi yang pernah menjadi anggota Pertajah
Luhur dan sekarang aktif di Partai Gerakan Pembaharuan dan Reformasi (HVB). Bagi Sapoen tidak cukup hanya mengandalkan dukungan
orang Jawa, kelompok etnik lain harus dirangkul dan
diakomodasi. Sapoen juga punya visi HVB
sebagai partai yang modern, progresif, dan inklusif. Termasuk memberi kesempatan
bagi figur-figur lain untuk menjadi tokoh sentral partai. Ia tidak ingin
melihat partai terfokus pada satu tokoh.
Para pengurus di HVB memutuskan, seseorang bisa menjabat sebagai ketua partai maksimal selama dua periode, dengan satu periode berdurasi lima tahun, " Dengan begitu, ketua hanya maksimal menjabat selama sepuluh tahun. Membatasi masa jabatan ketua sangat penting ", Ujar SiDin Sapoen tegas. Yang tidak kalah penting, kata Sapoen, partai harus hadir menjawab isu-isu penting yang dihadapi rakyat. Partai harus memiliki program yang jelas di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, pembangunan, dan bidang-bidang penting lainnya.
" Kami
kesulitan mencari orang-orang Jawa yang mau menjadi calon anggota legislatif.
Anak-anak muda yang berpendidikan tinggi, mereka tidak mau terlibat aktif di
politik. Mereka umumnya mencari pekerjaan yang menjamin kesejahteraan. Saya
paham, tetapi akibatnya adalah partai diisi oleh orang-orang tua. Ketika orang
tua ini meninggal, partainya juga meninggal. Ini harus kita pikirkan agar partai
wong Jowo bisa bertahan hidup ", Ujar SiDin Sapoen dengan Boneernya (Rasa
Takutnya). Sekat-sekat etnisitas
"makin cair" membuat populasi
mixed (kelompok campuran) makin besar dari tahun ke tahun, jumlah mereka menempati urutan keempat setelah
Afro-Suriname, Indo-Suriname, dan Jawa.
Sejak merdeka pada 1975, Suriname belum memiliki presiden berlatar belakang Jawa. Di kalangan tokoh-tokoh Jawa ada keyakinan bahwa orang Jawa pantas dan layak menjadi orang nomor satu di Suriname. Untuk bisa mewujudkan aspirasi tersebut, perlu meningkatkan soliditas di masyarakat Jawa sendiri dan tentu saja menarik dukungan dari kelompok-kelompok etnik lain dengan memperjuangkan kepentingan mereka.
Berawal sebagai pendatang, kini warga keturunan Jawa menjadi tokoh di Suriname, mulai dari menteri, ketua parlemen, hingga wakil rakyat di dewan perwakilan nasional. |
Sapoen
suatu saat orang Jawa Presiden Suriname.
Sapoen
mantan menteri pendidikan di Suriname.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar