NusaNTaRa.Com
ByBambanGBiunG, K
a m i s
2 0 M
e i 2 0 2 1
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International dan PVRI |
Yang
Mulia Usman Hamid, Direktur Eksekutif
Amnesty International dan yang juga
Ketua Dewan Pengurus lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute
(PVRI) sangat geram dengan penolakan Indonesia atas resolusi PBB
terkait pelaksanaan tanggung-jawab untuk melindungi atas kejahatan HAM di
Palestina, Myanmar dan Suriah. Seperti
diketahui bahwa di ketiga daerah ini terjadi kerusuhan dan peperangan yang menimbulkan kesengsaraan dan penganiayaan
bagi masyarakat, serta mengancam bagi
kehidupan sebagai manusia di muka bumi.
“ Kami menyayangkan sikap Indonesia yang
menyatakan “TIDAK” saat pemungutan suara di Sidang Umum PBB
terkait resolusi pelaksanaan Tanggungjawab Untuk Melindungi (Responsibility To
Protect / R2P) atas situasi kejahatan yang tergolong amat serius di Palestina,
Myanmar dan Suriah, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal jenis
kejahatan ini merupakan pelanggaran HAM yang berat dan melanggar hukum
Indonesia, yaitu UU No. 26/2000 ”, Ujar SiDin Usman.
Menurut Usman Hamid, sikap itu memperlihatkan rendahnya tingkat komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM di dunia dan dalam voting di PBB, Indonesia sejajar dengan 14 negara lain yang memiliki reputasi rendah di bidang HAM. “ Indonesia diapresiasi karena memberikan perhatian atas situasi kemanusiaan di sana (Palestina, Myanmar dan Suriah) ", Ujar SiDin Usman Hamid. Tetapi sayangnya, kata Usman, Indonesia justru tidak mau memberikan suara YA untuk menghentikan pelanggaran HAM di ketiga Negara yang dianggap parah.
“ Indonesia diapresiasi karena memberikan
perhatian atas situasi kemanusiaan di sana. Tetapi sayangnya tidak mau
memberikan suara YA untuk menghentikan pelanggaran HAM di Palestina, Myanmar
dan Suriah melalui voting tersebut. Penolakan resolusi ini mencerminkan
komitmen domestik Indonesia yang terlihat separuh hati dalam memperbaiki
keadaan HAM di negeri sendiri seperti yang kita saksikan di Papua dan penanganan
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ”, Ujar
SiDin Usman Hamid, dalam keterangannya.
The
Responsibility to Protect (R2P) adalah komitmen masyarakat dunia yang disetujui
oleh semua negara anggota PBB pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia 2005
lalu. Komitmen itu untuk menangani serta mencegah terjadinya
kejahatan-kejahatan yang sangat serius di bawah hukum internasional, yaitu
genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Penolakan
resolusi ini, kata Usman Hamid, mencerminkan komitmen domestik Indonesia yang
terlihat separuh hati dalam memperbaiki keadaan HAM di negeri sendiri, " Seperti yang kita saksikan di Papua dan
penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ”,
Ujar SiDin Usman Hamid. Ditempat
terpisah, Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian
Alphyanto, menyampaikan bahwa Indonesia memang menolak resolusi PBB, namun apa yang mereka tolak bukanlah substansi
dari R2P itu sendiri. Apa yang ditolak
Indonesia adalah pembahasan R2P dalam ruang atau event terpisah.
Menurut
Febrian, sudah terlalu sering pembahasan R2P dilakukan dalam kegiatan terpisah
atau bahkan agenda tambahan dan itu, sudah terjadi sejak konsep dasar R2P
dibahas pada World Summit 2005, oleh
karenanya, sudah tidak perlu lagi ada resolusi untuk memisahkan agenda
pembahasan R2P. " Kesalahpahaman ini sepertinya timbul karena
informasi yang tidak cukup banyak soal isu resolusi. Jadi, saya tegaskan, apa
yang ditolak Indonesia bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya...Kami
sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban
kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas ", Ujar SiDin
Febrian.
Muhammad
Taufan, delegasi RI di PBB mengutarakan tiga alasan mengapa Indonesia memilih
TIDAK atau menolak resolusi PBB terkait pelaksanaan Tanggungjawab Untuk
Melindungi (Responsibility To Protect) atas kejahatan HAM di Palestina, Myanmar
dan Suriah. Pertama keputusan itu adalah
Responsibility To Protect tidak membutuhkan sebuah agenda tahunan tetap. Kedua, setiap posisi atau gagasan untuk
memperkaya diskusi dari konsep ini tidak boleh menggagalkan batasan yang telah
ditetapkan dalam World Summit Outcome 2005 bermakna upaya hendaknya tidak melonggarkan, memperluas atau
menciptakan ambang batas dari yang sudah ditentukan, sehingga dibutuhkannya kehati-hatian yang
besar dalam hal ini.
Ketiga, Taufan berharap posisi Indonesia memilih menolak resolusi PBB terkait pelaksanaan Responsibility To Protect atas kejahatan HAM di Palestina, Myanmar dan Suriah, tidak disalah artikan sebagai sikap melawan Responsibility To Protect. Sebab pada 2005, Indonesia bergabung dengan konsensus yang mengadopsi konsep Responsibility To Protect seperti tertuang dalam resolusi 60/1. Dalam kontek semacam itu, memperkuat kerangka pencegahan di tingkat nasional adalah hal terpenting.
Pelanggaran
HAM melahirkan kesengsaraan,
Keterlibatan
Indonesia di dunia HAM menurun.
NusaNTaRa.Com Advertisisment
Melayani Pemasangan Iklan
Sila Dail Talian 0812 5856 599
Tidak ada komentar:
Posting Komentar