NusanTaRa.Com
byLaDollaHBantA, 10/03/2020.
Penduduk
Teluk Semanting, Kalimantan Timur menggunakan dua jenis perahu tradisional
untuk melaut, yakni perahu panjang dan
perahu pendek (dompeng). Hasil para
nelayan berupa tangkapan ikan bawal, ikan merah, ikan kakap, ikan Senangin, ikan bandeng laut, dan lainnya yang kemudian dijual ke penampungan di teluk dan sebagiannya dijadikan produk olahan
kerupuk oleh kelompok ibu-ibu.
Selama
melaut, para nelayan seringkali berhadapan dengan beberapa risiko seperti mesin
rusak dan ombak badai. Meski begitu, menurut Fajrul
Ibrahim, Relawan Photovoices International, yang menjadi ancaman besar bagi
para nelayan adalah trawl yang memiliki daya tangkap
tinggi dan selektipitas rendah sehingga menyebabkan
penurunan hasil tangkapan laut para nelayan pantai.
Trawl
atau pukat harimau mengundang banyak protes nelayan tradisional karena sifatnya
yang merusak potensi sumberdaya perairan.
Apalagi,
sifatnya yang memiliki daya selektifitas tangkap rendah
mulai dari ikan kecil hingga besar yang ada didepan mulut jaring diembatnya
semua bahkan karang-karang didasar perairanpun disikatnya. Dengan kata lain bahwa alat ini banyak
menangkap ikan yang bukan menjadi target tangkapannya, sehingga tangkapan yang
lain dalaam jumlah banyak akan dibuang begitu saja, keadaan ini membuat
populasi ikan diteluk Semanting terkuras dan berkurang.
“ Saat ini
terjadi penurunan hasil tangkapan. Dulu, nelayan bisa dapat 100 kilogram dalam
satu trip, tapi sejak ada trawl paling banyak 30 kilogram. Trawl sering digunakan
di tempat yang sama dengan kami, karena itu hasil tangkapan berkurang ”, Ujar SiDin Fajrul di Gedung Mufakat Tanjung Redeb, Berau,
Kalimantan Timur (5/03/2020). Menanggapi ancaman nelayan
trawl, Wakil Bupati Berau, Agus Tamtomo menyayangkan bahwa hal itu mungkin
terjadi karena ada kesalahan dalam mengatasi keberadaan nelayan trawl.
“ Pendekatan
yang selama ini dilakukan kepada nelayan trawl ini represif dan
kucing-kucingan, harus pake patroli, ancaman, dan lain-lain. Ini jika
diperpanjang tidak bagus. Jauh lebih baik dengan edukasi ”, Ujar SiDinn Agus
dalam acara kerjasama Yayasan Konservasi Alam Nusantara dan Photovoices
International di Berau, Kalimantan Timur (5/03/2020).
Pada
masa mendatang, Agus berjanji akan memelihara populasi ikan tangkapan dengan
zona no taking (Kawasan tidak boleh menangkap). “ Saya akan
membuat zona no taking, kita jaga tidak boleh sama sekali penangkapan di sana.
Baik yang ramah lingkungan atau illegal ”,
Ujar SiDin Agus.
Menurut Fathur Rizal (26)
warga nelayan Semanting,
mengatakan kenyataan lapangan sangat berbeda bahwa mengatasi nelayan
trawl tidak bisa dengan cara baik-baik. “ Lebih
efektif ditangkap, kalau diomongin baik-baik ya namanya kita sama-sama cari nafkah.
Yang ada malah tensi naik ”, Ujar SiDin Rizal
kepada NusanTaRa.Com di
Teluk Semanting, Kalimantan Timur (6/03/2020).
Situasi pasang surut laut sangat menentukan rutinitas
nelayan Teluk Semanting, bagi mereka waktu
terbaik disebut sebagai “ air hidup ”
dan waktu terburuk disebut sebagai “ air
mati ”, dalam satu
bulan terdapat 2 kali masa “ air hidup ”. Rizal
sendiri sudah melaut sejak berumur 13 tahun, baginya dahulu para nelayan tidak perlu mencari spot ikan
karena populasinya bertumpah ruah di kawasan laut Teluk Semanting tapi sekarang hanya
berada di spot tertentu yang jaraknya berkilo-kilo meter ke tengah laut.
Tangkapan stabil suistenable terjamin,
Kapal trawl merugikan
Nelayan teluk semantin.NusanTaRa.Com
melayani pemasangan iklan
Sila Dail Talian 08125856599