NusanTaRa.Com
byBambanGBiunG, 24/03/2020
Omnibus
Law atau metode hukum untuk mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum
dalam berbagai undang-undang, dilatarbelakangi oleh penilaian Pemerintah
bahwa peraturan perundangan-undangan yang selama ini berlaku tidak ramah dan menghambat undang-undang pokok yang telah disyahkan (semisal RUU Cipta Kerja, Perpajakan, Agraria) sehingga untuk efisiennya diperlukan RUU sapu
jagat untuk merombak tatanan hukum yang berlaku sebelumnya. Terutama setelah pemerintah menyerahkan
draf Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Cipta Kerja, draf RUU tentang
perpajakan ke DPR-RI pada tanggal 12 Februari 2020 lalu dan menyusul kemudian RUU tentang Pemindahan Ibu Kota Negara yang
juga menggunakan metode Omnibus Law.
Penyusunan
RUU Cipta Kerja berlangsung tertutup dan terkesan mengistimewakan kepentingan
pengusaha sehingga terkesan hanya melalui
investasi para pengusaha mampu memecahkan masalah publik terkait pengentasan
kemiskinan. Sebenarnya Presiden Jokowi telah mampu menurunkan kemiskinan di Indonesia,
terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per September
tahun 2019 berada pada angka 9,22 persen atau 24,79 juta orang, Angka
ini mengalami penurunan bila dibandingkan penduduk miskin di Indonesia pada
September 2014 sebesar 27,73 juta orang atau 10,96 persen.
Trend
penurunan persentase kemiskinan yang ada tidak banyak mengubah komposisi
kemiskinan di Indonesia yang terkonsentrasi di perdesaan, di mana sebagian
besar penduduk desa bekerja di sektor pertanian, data
BPS menggambarkan penduduk miskin di desa per September 2019 terdapat 12,60 persen atau
14,93 juta orang masih lebih banyak dibandingkan penduduk perkotaan yang
persentasenya hanya 6,56 % atau 9,86 juta orang. Keberhasilan penurunan angka kemiskinan periode
2014-2019 dipengaruhi oleh program-program pemerintah yang langsung dirasakan
masyarakat perdesaan semisal reforma
agraria dan perhutanan sosial pada periode pertama cukup berdampak dan Nilai
Tukar Petani (NTP) juga dalam lima tahun terakhir hampir selalu berada diatas
100 walau masih mendapatkan rapor merah
untuk NTP Subsektor Perkebunan Rakyat.
RUU
Cipta Kerja terdiri dari 79 UU, menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
pada 17 Januari 2020, akan terdapat beberapa UU yang berkaitan erat
dengan petani dan rakyat desa, antara lain
: UU 41/1999 tentang Kehutanan ;
UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B); UU 13/2010 tentang Hortikultura; UU
2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan UU
18/2012 tentang Pangan ; UU 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan); UU 39/2014 tentang
Perkebunan; dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Dengan
rencana perubahan terhadap UU diatas, RUU Cipta Kerja berpeluang besar akan
mengingkari konstitusi. Sebab RUU ini dalam klaster pengadaan lahan menghendaki
Hak Guna Bangunan (HGB) di Kawasan Ekonomi Khusus selama 90 tahun. Dalam draft RUU Cipta Kerja pada Pasal 123
sampai dengan pasal 139 termaktub aturan tentang pembentukan Bank Tanah,
penguatan Hak Pengelolaan dan jangka waktu hak pengelolaan selama 90 tahun, dan
hak kepemilikan bagi warga asing atas rumah susun. Padahal ketiga aturan itu merupakan isi dari
RUU Pertanahan yang telah ditolak berbagai kalangan termasuk petani pada
September 2019 lalu.
Belum
lagi menurut amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU
Penanaman Modal menganggap ketentuan waktu konsesi tanah selama 90 tahun adalah
inkonstitusional. Karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang
menjelaskan tentang hak menguasai negara dan prinsip ekonomi kerakyatan. Bila RUU Cipta Kerja disahkan, luas hutan
juga dikhawatirkan akan terus menyusut. Sebab mekanisme pengadaan lahan dalam
kawasan hutan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) salah satunya bersumber
dari pelepasan kawasan hutan.
Tak
hanya menebar ketakutan dengan potensi sebaran konflik agraria yang lebih
meluas dan penyusutan luas areal hutan, RUU
Cipta Kerja juga mengancam langsung hajat hidup petani dan rakyat desa. RUU
Cipta Kerja akan mengubah Pasal 36 dalam UU Pangan mengenai impor pangan. Frasa mengenai ‘apabila produksi pangan
dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi dalam negeri’ dihapuskan, sehingga impor pangan dapat dilakukan secara
bebas tanpa mempedulikan produksi pangan di dalam negeri dan UU Hortikultura yang mengatur batasan
penanaman modal asing untuk usaha hortikultura kemungkinan besar akan diubah
kearah UU Penanaman Modal.
Bagi
petani dan rakyat desa, pemerintah sepatutnya melaksanakan terlebih dahulu
peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada petani dan rakyat desa, bukan
justru menggantikannya dengan RUU Cipta Kerja yang banyak berpihak pada
Pengusaha dan Pemodal yang merugikaan Petani seperti penyediaan tanah bagi
pengusaha dengan masa konsesi cukup lama 90 tahun. Tanah pertanian produktip harus dilindungi namun
RUU Cipta Kerja ini akan ditabrak demi investasi, lantas Nengdi keberpihakannya
pada Rakyat cilik.
Beberapa
pasal dalam dua UU yang belum genap berumur satu semester itu berpeluang akan
diubah demi memperlancar investasi karena RUU Cipta Kerja berpeluang besar mengorbankan
peraturan perundang-undangan yang baru saja disahkan DPR-RI, yakni UU 17/2019
tentang Sumber Daya Air dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian
Berkelanjutan.
Apabila
tujuan dari investasi adalah pengentasan kemiskinan dan memperpendek
ketimpangan, RUU Cipta Kerja bukanlah jawaban dari itu. Solusi Omnibus Law
untuk investasi tidak diperlukan sama sekali bagi petani dan rakyat desa.
Justru RUU Cipta Kerja menciptakan ketakutan baru bagi petani dan rakyat
desa. Bagaimana tidak, RUU Cipta Kerja
akan mengubah peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada petani dan
rakyat desa secara langsung. Belum lagi dalam proses penyusunan RUU ini yang
memunggungi petani dan rakyat desa.
Jika
terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin kemiskinan akan kembali meningkat dan
kesenjangan desa-kota kian menganga. Pemerintah
seyogianya lebih memilih kebijakan yang lebih strukturalis, ketimbang Omnibus
Law untuk investasi. Seperti pemenuhan dan perlindungan hak-hak petani melalui
percepatan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial.
dr. Qureta, Angga Hermanda, 19/03/2020
Peraturan jaminan bagi rakyat,
RUU Cipta Kerja akan persulit peluang usaha Rakyat.
Utamakan dong kemandirian ekonomi rakyat
BalasHapussemoga kebijakan ini tidak mengorbankan kepentingan kesejahteraan masyarakat Koccillll .................
BalasHapus