Jumat, 10 April 2020

PETANI DAN RAKYAT DESA AKAN DIRUGIKAN JIKA RUU CIPTA KERJA TERPENUHI DENGAN OMNIBUS LAW.


NusanTaRa.Com
byBambanGBiunG,     24/03/2020


Omnibus Law atau metode hukum untuk mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai undang-undang,   dilatarbelakangi oleh penilaian Pemerintah bahwa peraturan perundangan-undangan yang selama ini berlaku tidak ramah  dan menghambat undang-undang pokok yang telah disyahkan (semisal RUU Cipta Kerja, Perpajakan, Agraria) sehingga untuk efisiennya diperlukan RUU sapu jagat untuk merombak tatanan hukum yang berlaku sebelumnya.   Terutama setelah pemerintah menyerahkan draf  Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja,  draf RUU tentang perpajakan ke DPR-RI pada tanggal 12 Februari 2020 lalu dan menyusul kemudian  RUU tentang Pemindahan Ibu Kota Negara yang juga menggunakan metode Omnibus Law.

Penyusunan RUU Cipta Kerja berlangsung tertutup dan terkesan mengistimewakan kepentingan pengusaha sehingga terkesan hanya  melalui investasi para pengusaha mampu memecahkan masalah publik terkait pengentasan kemiskinan.   Sebenarnya  Presiden Jokowi  telah mampu menurunkan kemiskinan di Indonesia,  terlihat dari data  Badan Pusat Statistik (BPS) per September tahun 2019 berada pada angka 9,22 persen atau 24,79 juta orang,   Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan penduduk miskin di Indonesia pada September 2014 sebesar 27,73 juta orang atau 10,96 persen.

Trend penurunan persentase kemiskinan yang ada tidak banyak mengubah komposisi kemiskinan di Indonesia yang terkonsentrasi di perdesaan, di mana sebagian besar penduduk desa bekerja di sektor pertanian,    data BPS menggambarkan penduduk miskin di desa  per September 2019 terdapat 12,60 persen atau 14,93 juta orang masih lebih banyak dibandingkan penduduk perkotaan yang persentasenya hanya 6,56 % atau 9,86 juta orang.  Keberhasilan penurunan angka kemiskinan periode 2014-2019 dipengaruhi oleh program-program pemerintah yang langsung dirasakan masyarakat perdesaan semisal  reforma agraria dan perhutanan sosial pada periode pertama cukup berdampak dan Nilai Tukar Petani (NTP) juga dalam lima tahun terakhir hampir selalu berada diatas 100  walau masih mendapatkan rapor merah untuk NTP Subsektor Perkebunan Rakyat.

RUU Cipta Kerja terdiri dari 79 UU, menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 17 Januari 2020,  akan  terdapat beberapa UU yang berkaitan erat dengan petani dan rakyat desa, antara lain  :    UU 41/1999 tentang Kehutanan ;  UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B); UU 13/2010 tentang Hortikultura; UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan UU 18/2012 tentang Pangan ;  UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan); UU 39/2014 tentang Perkebunan; dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.

Dengan rencana perubahan terhadap UU diatas, RUU Cipta Kerja berpeluang besar akan mengingkari konstitusi. Sebab RUU ini dalam klaster pengadaan lahan menghendaki Hak Guna Bangunan (HGB) di Kawasan Ekonomi Khusus selama 90 tahun.   Dalam draft RUU Cipta Kerja pada Pasal 123 sampai dengan pasal 139 termaktub aturan tentang pembentukan Bank Tanah, penguatan Hak Pengelolaan dan jangka waktu hak pengelolaan selama 90 tahun, dan hak kepemilikan bagi warga asing atas rumah susun.  Padahal ketiga aturan itu merupakan isi dari RUU Pertanahan yang telah ditolak berbagai kalangan termasuk petani pada September 2019 lalu.

Belum lagi menurut amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Penanaman Modal menganggap ketentuan waktu konsesi tanah selama 90 tahun adalah inkonstitusional. Karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang menjelaskan tentang hak menguasai negara dan prinsip ekonomi kerakyatan.   Bila RUU Cipta Kerja disahkan, luas hutan juga dikhawatirkan akan terus menyusut. Sebab mekanisme pengadaan lahan dalam kawasan hutan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) salah satunya bersumber dari pelepasan kawasan hutan.

Tak hanya menebar ketakutan dengan potensi sebaran konflik agraria yang lebih meluas dan penyusutan luas areal hutan,  RUU Cipta Kerja juga mengancam langsung hajat hidup petani dan rakyat desa. RUU Cipta Kerja akan mengubah Pasal 36 dalam UU Pangan mengenai impor pangan.    Frasa mengenai ‘apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi dalam negeri’ dihapuskan,  sehingga impor pangan dapat dilakukan secara bebas tanpa mempedulikan produksi pangan di dalam negeri  dan   UU Hortikultura yang mengatur batasan penanaman modal asing untuk usaha hortikultura kemungkinan besar akan diubah kearah UU Penanaman Modal.


Bagi petani dan rakyat desa, pemerintah sepatutnya melaksanakan terlebih dahulu peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada petani dan rakyat desa, bukan justru menggantikannya dengan RUU Cipta Kerja yang banyak berpihak pada Pengusaha dan Pemodal yang merugikaan Petani seperti penyediaan tanah bagi pengusaha dengan masa konsesi cukup lama 90 tahun.  Tanah pertanian produktip harus dilindungi namun RUU Cipta Kerja ini akan ditabrak demi investasi, lantas Nengdi keberpihakannya pada Rakyat cilik.

Beberapa pasal dalam dua UU yang belum genap berumur satu semester itu berpeluang akan diubah demi memperlancar investasi karena RUU Cipta Kerja berpeluang besar mengorbankan peraturan perundang-undangan yang baru saja disahkan DPR-RI, yakni UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.   

Apabila tujuan dari investasi adalah pengentasan kemiskinan dan memperpendek ketimpangan, RUU Cipta Kerja bukanlah jawaban dari itu. Solusi Omnibus Law untuk investasi tidak diperlukan sama sekali bagi petani dan rakyat desa. Justru RUU Cipta Kerja menciptakan ketakutan baru bagi petani dan rakyat desa.   Bagaimana tidak, RUU Cipta Kerja akan mengubah peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada petani dan rakyat desa secara langsung. Belum lagi dalam proses penyusunan RUU ini yang memunggungi petani dan rakyat desa.

Jika terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin kemiskinan akan kembali meningkat dan kesenjangan desa-kota kian menganga.  Pemerintah seyogianya lebih memilih kebijakan yang lebih strukturalis, ketimbang Omnibus Law untuk investasi. Seperti pemenuhan dan perlindungan hak-hak petani melalui percepatan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial.
dr. Qureta,  Angga Hermanda, 19/03/2020



Peraturan jaminan bagi rakyat,
RUU  Cipta Kerja akan persulit peluang usaha Rakyat.

2 komentar:

  1. Utamakan dong kemandirian ekonomi rakyat

    BalasHapus
  2. semoga kebijakan ini tidak mengorbankan kepentingan kesejahteraan masyarakat Koccillll .................

    BalasHapus

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...