NusaNTaRa.Com
byIrkaBPiranhA, S
e n i n,
1 9 F
e b r
u a r i 2
0 2 4
Hutan di perbukitan yang merupakan titik ritual para dukun selama ratusan tahun menjadi hutan tersisa di Pulau Bangka |
Janum bin Lamat adalah keturunan
ketujuh batin gunung. Sebagai sosok pemimpin dalam sistem adat Suku Jerieng,
batin berperan layaknya dukun kampung. Ia memiliki kemampuan mengobati
sekaligus penghubung dan penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan makhluk
lain, “
Dulu, ada sejumlah kelompok warga yang menganggap saya sesat. Beruntung
masih ada tokoh masyarakat yang mendukung dan memberi penjelasan, sehingga
masyarakat kembali bisa menerima posisi dukun di kampung ini ”,
Lanjut SiDin Janum Lamat dengan Soppengernya (Jumawanya).
Suku Jerieng merupakan sub Suku Melayu
tua yang tersebar di 13 desa di Kecamatan Simpang Teritip, dengan luas
wilayahnya sekitar 62 ribu ha dengan bukit Penyabung setinggi
300 m merupakan wilayah tertinggi sekaligus area sakral bagi Suku
Jerieng, “ Setiap tahun, pada bulan Muharram, kami
melakukan ritual taber gunung di Bukit Penyabung. Bukit ini dianggap sakral, tidak boleh
diganggu ”, Ujar SiDin
Janum Laji. Iapun menjelaskan makna
ritual itu bentuk syukur atas hasil alam dan doa kepada Yang Maha Esa agar
dijauhkan dari segala penyakit dan bencana.
Sejumlah warga berjalan menyusuri hutan untuk menuju titik ritual di puncak Bukit Penyabung |
Ritual ini juga ajang silaturahmi bagi
semua dukun kampung di Pulau Bangka hingga Pulau Belitung, “ Hingga
saat ini, ada sekitar 46 dukun tersebar di Pulau Bangka. Setiap kali ada
ritual, mereka semua hadir, baik secara fisik maupun gaib ”,
Cakap Besar Janum. Ritual taber
gunung di Bukit Penyabung sempat vakum sekitar 1991-1997 karena tidak ada
generasi dukun kampung yang sanggup memimpin ritual sehingga ritual ini
terhenti bertepatan masuknya perkebunan sawit yang menggerus hutan di sekitar
Bukit Penyabung.
Sekitar 2016, ritual pernah digelar
kembali oleh Lembaga Adat Melayu Jerieng,
tapi tidak sesuai adat
Jerieng, “ Banyak bagian ritual berubah, seperti lokasi
yang semula di bukit, dipindahkan ke rumah adat. Sehingga tidak dianggap atau diakui para
dukun kampong ”, Cakap si Janum Laji. Agustus 2022
Janum melalui mimpi diberi
kepercayaan leluhur Suku Jerieng meneruskan ritual taber gunung, sesuai tata
acara yang telah ditetapkan. “ Hampir 25 tahun ritual tidak dilaksanakan,
banyak bala menimpa masyarakat Suku Jerieng,
padi terserang hama, durian tidak berbuah, hasil madu berkurang dan puncaknya terjadi kesurupan massal saat
acara Pemerintah Kabupaten Bangka Barat di Desa Berang beberapa waktu lalu ”.
“
Leluhur kami yang tinggal di sekitar kelakak ini bernama Akek Burok dan
Nek Rempak. Merekalah yang mengawali ritual di Bukit Mangkol. Ritual itu
misalnya menyambut musim panen buah durian
”, Cakap Si Mang Kalu (40),
keturunan ketujuh dukun kampung di Desa Teru.
“ Dulu, buah durian yang pertama
kali jatuh dinamakan durian sentajau. Durian ini kemudian diletakkan di batu
granit yang dinamakan ‘batu kelambu’
”. Saat buah durian kedua jatuh,
barulah warga boleh mengambilnya.
Ada sekitar 32 bukit di Pulau
Bangka, tertinggi adalah Gunung Maras
(705 meter). Sejak 2016, lanskap Gunung Maras seluas 16.806,91 ha ditetapkan
sebagai satu-satunya taman nasional di Pulau Bangka. Bagi dukun-dukun di Pulau Bangka, wilayah
Gunung Maras merupakan titik spiritual terkuat yang harus dihormati dan dijaga, kerusakannya diyakini membawa banjir besar
kelak yang menenggelamkan Pulau Bangka hingga setengah Pulau Sumatera. Hingga saat ini, masih ada sembilan orang
yang melakukan ritual ke Gunung Maras berasal dari desa di kaki Bukit Maras
secara tertutup.
“
Dahulu ada ritual yang terbuka, masyarakat mendukung penuh. Tetapi, saat
ini, ritual kami lakukan tertutup, karena banyak pendatang yang tidak sepakat
dengan ada ritual tersebut ”, Cakap SiDin Damion (51), warga Desa Berbura.
Saat ritual, masyarakat membawa sejumlah hasil kebunnya, berupa padi yang dijadikan ketan ketupat, lepat, dsb |
Secara umum, hutan di Gunung Maras
masih terjaga meski dalam beberapa tahun
terakhir, sudah sering terjadi longsor karena tegakan pohon besar di beberapa
titik sudah hilang, “ Saat malam, kami sering mendengar runtuhan
batu, gemuruhnya hingga permukiman
”, Cakap Si Damion
pula. Sementara area ujung kaki
Gunung Maras atau Teluk Kelabat, yang didominasi ekosistem mangrove, sudah
banyak ditambang para pendatang, “ Jujur, sekarang sudah sedih melihat Gunung
Maras. Kondisinya jauh berbeda. Hutan dirambah dan ditambang. Sudah banyak
masyarakat yang tidak menghormati pesan leluhur
”, Cakap Si Damion.
Berdasarkan dokumen Status Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2014, luas kawasan hutan
di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 657.380 ha. Sementara, dalam dokumen Informasi Kinerja
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun
2021, luas kawasan hutan tahun 2015 tersisa 235.585,8 ha; berkurang 421.794,2
ha selama setahun. Luasan ini terus
menurun hingga tersisa 197.255,2 ha. Artinya, selama enam tahun (2014-2020),
Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 ha.
“
Secara umum, bisa dikatakan hutan primer di Pulau Bangka hanya tersisa
di sekitar perbukitan, selain di wilayah pesisir yang didominasi ekosistem
hutan mangrove ”, Ujar SiDin M. Dedi Susanto, Kepala Resort
Konservasi Wilayah XVI Bangka, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera
Selatan. Karena itu, kawasan konservasi
di Pulau Bangka terpusat di wilayah perbukitan seperti Gunung Maras (taman nasional),
Gunung Mangkol dan Gunung Menumbing (taman hutan raya raya), serta Gunung
Permisan (taman wisata alam).
Menurut sejumlah dukun di Pulau Bangka,
wilayah hutan di luar wilayah perbukitan yang kini banyak tergerus dinamakan
“hutan riding” yang menghubungkan semua kampong, hutan riding dahulu terbentang dari ujung
utara hingga selatan Pulau Bangka. Bentuknya memanjang selebar sekitar 100
meter. Hutan ini melintasi sekaligus menghubungkan setiap kampung dan bukit di
Pulau Bangka. “ Hutan ini dulunya disepakati setiap dukun
kampung di Pulau Bangka. Masyarakat hanya boleh mengambil hasil hutannya (tidak
boleh dibuka jadi kebun), dengan tetap minta izin dukun setempat. Hutan ini
diperuntukkan khusus makhluk lain (hewan, tumbuhan, dan makhluk gaib) ”, Ujar SiDin Janum.
“
Hutan riding juga berfungsi sebagai jalan bagi kita (manusia, hewan,
makhluk gaib) untuk menghadiri setiap ritual yang diadakan di bukit-bukit yang
dianggap sacral ”, Cakap SiDin Janum melanjutkan. Kini hutan riding terputus seiring
deforestasi di Pulau Bangka. Hanya menyisakan hutan di bukit-bukit dan hutan
bakau di pesisir.
Proses puncak ritual taber gunung yang dipimpin
oleh dukun kampung.
Sumber
kehidupan Manusia ada di Hutan.
Dukun
tokoh kearipan lokal penjaga Hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar