NusaNTaRa.Com
bySolanaNEnembE, S a b t u, 3 0 D e s e m b e r 2 0 2 3
Anggi Setiawan, petani padi asal Desa Waetele, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku.
Untuk menyisiati iklim yang berubah, petani mencari varietas yang lebih tahan cuaca.
Budi Santoso Ketua Kelompok Tani Sari Murni Desa Waekarta, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku wajahnya Sumringah, kebahagiannya karena panen gabah meningkat drastik, lahan 25 hektar dari 18 orang anggota kelompoknya mereka dapat menghasilkan 3–4 ton gabah/hektar. Para petani Desa Waekarta amat beruntung saat masuki musim tanam padi kedua, air masih tersedia, sebelum dampak El-Nino melanda Kabupaten Buru, “ Alhamdulillah, hasil panen musim tanam kedua bisa menutup biaya operasional. Kalau panen merosot lagi musim ini, mungkin petani sudah tidak bisa garap sawah lagi ”, Ujar SiDin Budi Santoso dengan Ahmadernya (Manisnya) saat ditemu bual NusaNTaRa.Com, Jumat (03/11/2023).
Meski di tengah ancaman kemarau panjang, hasil panen sawah para petani Desa
Waekarta mereka masih dapat bersyukur dan berhasil atas kecukupan air dan
minimnya hama tanaman mereka. Pada
musim tanam pertama 2023, mayoritas petani Waekarta hasil panennya merosot
tajam kehidupan merekapun mengalami kesulitan. Tahun-tahun
sebelumnya, 2021-2022 adalah mimpi buruk bagi para petani sawah, banyak tanaman padi yang rusak total (puso),
kala Pulau Buru dan daerah Kepulauan Maluku dilanda La-Nina.
Cuaca ketika itu tak menentu, bisa tiba-tiba hujan dan panas, tanaman padi mereka pun masif terserang hama. Lahan
sawah seluas 272,00 hektar di desa masih jauh dari target menghasilkan padi sehingga banyak para petani terpaksa berhutang menutupi kerugian, demi
bisa menggarap sawah. Salah satunya
Witarsa, dia mengaku saat itu tak kembali modal
”
Sekali musim tanam butuh Rp7,5 juta, di 2021–2022 saya rugi. Hasil panen
di bawah 50 persen ”, Ujar SiDin Witarsa dengan Boneernya (Rasa
takut Dada). Ketua Gapoktan Desa
Waekerta Heriyanto pun mengiyakan serta
menyebutkan kalau petani ketika itu dibebankan ikut arahan Program IP-400 dari
pemerintah.
Lewat program tersebut, dalam setahun siklus tanam padi
dilakukan 4 kali dengan menggunakan benih padi umur pendek atau Genjah/Super
Genjah dengan sistem tabur langsung di sawah. Varietas yang digunakan adalah
Cakrabuana, Mekongga dan Cigeulis. Namun program itu tidak menghitung adanya
perubahan cuaca yang tak menentu dan ketika
musim tanam berlangsung, lebih banyak terjadi hujan ketimbang panas, ditambah
dalam dua minggu selepas panen, lahan langsung dipersiapkan masuk musim tanam
kembali. Tanah tak diberi istirahat cukup, kestabilan unsur hara terganggu dan siklus hama belum sepenuhnya putus.
Walhasil panen kala itu merosot tajam. Tanaman padi
terserang wereng cokelat, blas dan
walang sangit. Meski berkali-kali
semprotan hama dilakukan hasilnya nihil because
hujan yang terus menerus melunturkan
obat-obatan kimia itu, ” Pokoknya, hama datang silih berganti. Petani sangat dirugikan oleh program IP-400.
Mayoritas sawah puso ”, Ungkap SiDin Heriyanto. Untuk menutupi kerugian, sebagian petani
terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan atau menanam palawija menutup kerugian karena
sebagian uang hasil kerja itu dipakai untuk modal menggarap sawah dan
membayar hutang di bank.
Jika di Desa Waekarta para petani menikmati hasil panen
padinya, hal sebaliknya terjadi di Desa Parbulu, Kecamatan Waelata. Kecamatan
ini meliputi desa-desa seperti Waelo, Waetina, Waeflan, Waeleman, Parbulu,
Debowae, Dava, Basalale dan Waehata. Total
area sawah adalah seluas 3.835,80 hektar, dengan sawah produktif 1.956,00
hektar dan yang tidak produktif 1.879,80 hektar, musim tanam kedua 2023, banyak petani yang
gagal panen karena padinya banyak yang terserang hama. Anggi Setiawan, seorang warga setempat,
sebut kegagalan ini disebabkan para petani menanam padi tidak serentak, ” Ada
para petani yang menabur benih padi duluan,
ada juga melewati musim
tanam ”,
Ujar Anggi Setiawan jelas, semua
itu menyebabkan siklus hama tidak putus
dan hama mudah berpindah.
Toto Sudaryanto, Penyuluh Balai Pertanian Kecamatan
Lolongguba, Dinas Pertanian Kabupaten Buru menjelaskan ‘kenekatan’ petani ini
disebabkan persoalan keterbatasan ketersediaan air, “ Persoalan
air membuat musim tanam tak serentak ”, Ujarnya menambahkan. Kini saat anomali cuaca El-Nino datang
sebagai dampak krisis iklim, sebagian petani di Kecamatan Lolongguba pun
terpaksa menunda musim tanam ketiga. Mereka masih memantau perkembangan cuaca.
Kemarau yang masih panjang dan belum adanya tanda-tanda
masuk ke musim hujan membuat para petani menahan diri. Pertimbangan lainnya,
air irigasi tidak cukup. Imbas sosialnya, ini bisa memicu keributan diantara
para petani saling memperebutkan air yang ada,
” Belajar dari tahun sebelumnya
[2021-2022], hujan tapi panas lagi. Keadaan ini berpengaruh pada tanaman dan
hasil panen ”, jelas
Pamuji, Ketua Gapoktan Desa Wanareja.
Salah siji yang masih menahan diri adalah Sudrajat, warga Desa Waetele.
Sudah sebulan lebih dia tidak turun bersawah. Dia memilih tidak melanjutkan
tanam padi di musim ketiga, karena khawatir malah merugi. Dia memilih kerja
kebun yang lain.
I Nyoman Widiarta dari Pusat Riset tanaman Pangan BRIN
merekomendasikan Inpari 13, Inpari Cakrabuana Agritan, Inpari 17 dan Inpari 18
yang emisi metannya lebih rendah 25 persen dari jenis Ciherang, “ Sisa
hasil panen [jerami] tidak dibakar, dan lakukan dekomposisi dengan bantuan
mikroba methanotrophs untuk mengurangi emisi metan. Petani juga perlu lakukan pengendalian
berbasis pada pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) ”,
Ujar SiDin Widiarta menjelaskan.
Sedang untuk daya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, Widiarta
menyebut petani dapat menerapkan sistem kalender tanam untuk mengurangi risiko
gagal panen. Kalender tanam ini diperbarui berdasarkan ramalan musim yang
dikeluarkan BMKG.
Fenomena kemarau basah saat terjadinya La Nina jelasnya,
menyebabkan air cukup tersedia untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) padi,
sehingga lahan tadah hujan menjadi lebih produktif. Namun, air yang melimpah akibat La-Nina dapat
pula menyebabkan banjir yang merendam tanaman padi. Dampaknya, tanaman
kelebihan air yang berakibat hasil panen berkurang. Sebaliknya saat El-Nino kekurangan air
menyebabkan berkurangnya areal tanam atau panen. Tanaman pun bisa puso akibat
kekeringan dan hasil panen menjadi lebih rendah, ” Kekeringan
berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman
”, Ujarnya menambahkan.
Petani Desa Waekasar mengangkat gabah yang telah
dimasukan dalam karung usai panen
Ketersedian
air, Hama dan varietas ukuran sukses hasil padi.
Varietas
dan musim tanam tepat jaminan sukses tanaman Padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar