NusanTaRa.Com
byAsnISamandaK, 29/04/2020
“ 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia “, diresmikan Presiden SBY di Istana Merdeka.
Jamu
pada umumnya merupakan minuman ramuan sejak dahulu yang terbuat dari tumbuhan,
hewan dan zat kimia tertentu yang berkasiat sebagai obat-obatan dan biasanya
banyak digunakan kalangan pribumi.
Meski demikian ramuan tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu kala
yang banyak digunakan dikalangan Pribumi ternyata banyak juga digemari orang
Belanda yang telah lama tinggal di
Hindia Timur untuk berbagai kebutuhan.
Sejarawan
Fadly Rahman mengungkapkan bahwasanya pada abad ke-17 seorang ilmuwan bernama
Jacobus Bontius memanfaatkan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan
Pieterszoon Coen, yang sedang sakit. Penyakit
yang sering diderita orang Belanda di Hindia Timur kala itu memang jenis
penyakit tropis yang banyak berkembang, seperti skorbut, asam lambung, mag,
kolera, dan beri-beri. Hal ini ia
lakukan karena terdorong oleh rasa penasaran saat melihat orang pribumi
mengobati orang sakit dengan Jamu.
Seiring
waktu pengenalan Jamu oleh kalangaan orang Belanda tak terbatas hanya konsumsi untuk kesehatan saja namun mereka menegealnya lebih jauh dengan
melakukan penelitian medis pada tanaman Jamu
sejak abad ke-18. Buku Herbaria
Amboinesis (1775) merupakan buku yang memuat berbagai tanaman yang bermanfaat
di kepulauan Maluku sebagai hasil penelitian Bung Rumphius seorang Botanis
Belanda.
Adapula
Kloppenburg-Versteegh yang mengamati aktivitas konsumen dan jual-beli tanaman
herbal di pasar-pasar. Serta aktivitas dukun dan bagaimana jamu berperan
sebagai proses penyembuhan pada pasien-pasien mereka. Perempuan Indo yang berprofesi sebagai
botanis itu mencatatnya dalam beberapa buku seri, salah satunya adalah Indische
Planten en Haar Geneeskracht (Tumbuhan-Tumbuhan Asli dan Khasiat
Penyembuhanya), yang memuat berbagai jenis tanaman obat penghasil jamu berikut
petunjuk penggunaanya.
Sejarawan
Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, studi
tentang obat-obatan lokal menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun
keilmuan, sehingga perintah kepada petugas kesehatan untuk meneliti terapi
tradisional dan kemampuan para dukun pun dikeluarkan lewat pasal 52 Staatsblad
Nomor 68 tahun 1827. Friedrich August
Carl Waitz, dokter yang mempelopori penelitian jejamuan di era itu, penelitian
jamunya membuktikan daun sirih
mengandung agen narkotika untuk mengobati batuk menahun dan air rebusan kulit
sintok untuk mengobati masalah pencernaan, khususnya usus.
Penelitian
ilmiah jamu juga teramu oleh Dokter Belanda seperti Dr.Boorsma, Dr C.L Van der
Burg dan Ilmuwan moderen H.A van Hien kemudian membuat buku pada 1924 yang berjudul
Javaansch Receptenboek (Buku Resep-Resep Pengobatan Jawa Kuno). Sejarah jamu Nusantara terdahulu kita bisa
diamati dari relief-relief candi. Seperti di kaki candi (Karmawabhangga)
Borobudur, terlihat relief tabib yang sedang mengobati pasien dengan menggunakan
beberapa jenis jamu yang berasal dari tumbuhan seperti akar, batang, biji,
daun.
Adipati
Mengkunegara III (kemudian menjadi Pakubuwono V) adalah ketua penyusun yang
menitahkan para pujangganya untuk melakukan inventarisasi kuliner, sandang,
pangan, termasuk tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Pada Serat Centhini disebutkan berbagai
jenis tumbuhan obat yang bisa dipakai untuk mengobati beberapa jenis penyakit
seperti panas dingin, meriang, cacingan, cacar, berkaitan syaraf, batuk, mata
dan lainya.
Kemudian
ada Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi yang disusun atas perintah Pakubuwono V
pada tahun 1831, Jamu merupakan akronim dari kata jampi (doa
atau mantra penyembuhan menggunakan ramuan) dan usodo (kesehatan). Namun di sini, kata jampi lah yang disebutkan
karena memang masyarakat saat itu melihat jamu bukan hanya dari aspek
pengobatan melainkan aspek mistiknya juga,
" Jamu juga dilihat pada
aspek mistik oleh masyarakat saat itu, berkaitan dengan mantra yang dipakai
oleh para dukun untuk mengobati orang sakit yang datang ke mereka. Praktik ini
membuktikan bahwa jamu berkaitan dengan aktivitas supranatural ", Ujar SiDin Fadly.
Secara
pasti kapan awalnya Jamu belum ada data pasti
kata Andra, namun ia menambahkan
bahwa Jamu sudah ada sejak abad ke 8 sesuai primbon di prasasti Candi Perot (772 Masehi),
Haliwangbang (779 M), dan Kudadu (1216 M).
Ia menambahkan bila artefak arkeologis berupa lumping, alu, dan pipisan
pada masa Neolitikum disinyalir sebagai alat pembuat jamu pada masa itu.
Berkembangnya Jamu
sebagai usaha produktif pertama kali dilakukan oleh keluarga Tjoeng
Kwaw Suprana di Wonogiri pada tahun 1918 dengan merek legendaris, Djamoe Djago
kemudian tahun 1937 ditetapkan sebagai Jamu resmi Istana oleh Keraton Surakarta
Hadiningrat dan berpindah ke Semarang. Jamu
Nyonya Meneer yang berawal di Surabaya juga menjadi perusahaan jamu yang
memiliki kekuatan pasar, terlebih saat
mereka ekspansi ke Jakarta dan terbentuknya Komite Jamu Indonesia pada 1944.
Perhatian
akan Jamu kemudian semakin meningkat paska kemerdekaan walaupun kondisi
perekonomianya turun pada waktu itu. " Walaupun kondisi perekonomian menurun namun
jamu mulai diperhatikan. Pada tahun 1966 ada konferensi jamu di Solo dan tahun
1978, para pakar jamu yang juga para apoteker, berkumpul dalam Himpunan Ahli
Badan Alami Indonesia (HIPBOA) ", Ujar SiDin Andra, (26/03/2020). HIPBOA
dirubah menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (Perhipba), pimpinanya
Sardjono Oerip Santoso yang juga mengusulkan jamu sebagai salah satu mata
kuliah tahun 1993.
Dr. Willem Gerbrand Boorsman petinggi Belanda di Bogor menikmati Jamu |
Jamu
sejak dahulu jadi obat bangsa Indonesia,
Daun
Kumis Kucing melancarkan air Seni manusia.