NusanTaRa.Com
byRyaNSyaHPutrA, 25/04/2019
byRyaNSyaHPutrA, 25/04/2019
ALEXANDER HARE
seorang pedagan dari Inggris tahun 1826 membawa sekelompok orang dari Malaysia,
Indonesia, Afrika Selatan dan New Guinea ke sebuah kepulauan yang terletak
di sekitar 1300 km di barat daya Jakarta.
Dia membawa mereka ke Kepulauan Kokos atau Cocos (Keeling) Islands di
Australia sebagai pekerja paksa dan/atau budak disertai dengan narapidana,
namun setahun kemudian wilayah kepulauan tersebut diambil alih oleh seorang saingan usahanya Clunies Ross dari
Scodlandia.
Perjalanan sejarah
akhirnya menjadikan Kepulauan Kokos bagian dari Australia hingga kini
dan Penduduknya dikenal sebagai Cocos Malays atau Orang Kokos masuk warga
negara Australia. Dalam kekuasaan Dinasti
Clunies Ross selama 150 tahun membuat Warga Kokos memiliki budaya dan
dialek yang unik seperti kesenian yang
mengadopsi tarian dan musik Skotlandia, saat ini mereka sedang berjuang untuk
diakui sebagai “ Warga Asli “ atau Indigenous oleh pemerintah Australia. Sebuah dokumenter menampilkan anak
dari “ Raja ” terakhir Pulau Kokos dan beberapa warga benua Australia
(mainland) yang mendukung upaya Orang Kokos untuk mendapatkan status
Indigenous.
Defenisi tentang
Siapa dan Apa itu “ Orang Asli “ tidak ada yang dapat diterima secara universal
sehingga berbeda dalam penetapannya. Biasanya
kelompok lokal merupakan minoritas yang kebudayaannya berhadapan dengan
mayoritas dalam sebuah Negara, status Warga Asli merupakan upaya untuk melindungi hak-hak mereka, termasuk dalam hak-hak
mempertahankan lingkungan hidup dan kepentingan suara politik.
Beberapa kenyataan
penuntutan sebagai “ Warga Asli ” berhasil berdasarkan status seperti “ penghuni pertama “ (kelompok “First
Nations” di Amerika) ada juga yang berdasarkan keadaan mereka
sebagai penghuni yang hidup terus menerus di daerah itu (contohnya, keturunan
orang-orang Kepulauan Pitcairn di Pulau Norfolk). Kelompok lokal atau kecil yang menuntut status
“Orang Asli” biasanya diharuskan menyediakan bukti memiliki bahasa dan tradisi
budaya yang unik dan bertahan lama.
Banyak penuntutan identitas sebagai
“ Warga Asli ” yang muncul di
tempat-tempat yang pernah atau sedang dijajah. Legitimasi sebagai status “ Orang Asli ” dapat
membantu sebuah kelompok untuk memperkuat terhadap tuntutan mereka, terutama
ketika berhubungan dengan pemerintah dan industri ekstraktif (industri
kehutanan, penambangan, dll), sebagai mana Warga Kokos ingin diakui sebagai
Orang Asli di Negeri Australia sesuai sejarah mereka.
Di bawah kekuasaan
Clunies Ross, Orang Kokos bekerja memanen kelapa dan kerja lainnya untuk
mendapat bayaran mata uang buatan. Mata uang ini dapat dipakai untuk membeli
nasi, tepung, gula dan lain-lain di toko milik perusahaan Clunies Ross. Untuk menambah pendapatan mereka menangkap
ikan dan burung-burung serta memelihara ayam. Dinasti Clunies Ross tidak turut campur urusan
agama sehingga Orang Kokos mempertahankan budaya Islam Melayu yang bermakna mereka
komunitas Muslim tertua di Australia.
Budaya dan bahasa
Orang Kokos juga menyebar dari pulau tersebut. Emigrasi besar-besaran pada
tahun 1940an membuat terjadinya sebuah komunitas Orang Kokos di Sabah,
Malaysia, yang sekarang diakui sebagai salah satu kelompok etnis Malaysia. Orang Kokos juga telah beremigrasi ke Pulau
Christmas, Singapura dan beberapa lokasi di Australia Barat dan pernah menjadi
perhatian Internasional sehingga PB melakukan investigasi atas dugaan adanya
perbudakan di sana.
Sejak transfer
kedaulatan Inggris ke Australia pada tahun 1955, pemerintah Australia semakin
menyoroti situasi ketidakadilan di “ kerajaan ” Kokos, dan membeli sebagian
besar kepulauan tersebut secara paksa dari dinasti Clunies Ross pada 1978. Dalam sebuah pemungutan suara yang diawasi
PBB pada tahun 1984, mayoritas penghuni kepulauan tersebut memilih integrasi
dengan Australia. Dengan pemungutan suara ini Orang Kokos berhasil mengikat
nasibnya dengan negara Australia untuk kepentingan Kokos sendiri.
Istilah “
Indigenous “ (orang asli) semakin digunakan untuk membahas kejahatan kolonialisme
di Australia sejak tahun 1990an.
Penilaian rendah terhadap kelompok Indigeneous di Australia juga
dihadapi penghuni pertama Benua Australia “ Australo-Melanesians “ yang tiba
disana 50.000 tahun lalu. Keturunan
mereka dirampas hak-haknya dan kehilangan tempat tinggal mereka sejak 1788 oleh
kolonialis Eropa, serta beberapa sebutan
yang merendahkan, istilah “native”, “Aborigine”, dan “Aboriginal” muncul untuk
menggambarkan kelompok ini.
Beberapa orang
menolak istilah ini serta memilih istilah seperti “ Koori ” atau “ Nyungar ”,
yang merupakan istilah dari bahasa mereka sendiri untuk merunjuk pada diri
mereka. Kini banyak yang mengidentifikasi
diri sebagai “ Orang Asli ” (Indigenous),
istilah ini dianggap lebih menghubungkan aspirasi diri dengan perjuangan
global “ Orang Asli ”. Sesungguhnya
istilah “Orang Asli” lebih dari sekadar alat politis; bagi mereka itu adalah
suatu identitas.
Orang Kokos dapat
memperkuat tuntutan sebagai “ Orang Asli ” Australia dengan merujuk pada
beberapa fakta. Pulau-pulau tersebut tidak dihuni manusia sebelum kedatangan
Orang Kokos dan penguasa mereka dari Eropa.
Lebih dari itu, Orang Kokos mempertahankan tradisi budaya yang panjang;
ada yang merasa dikolonisasi; dan ada yang merasa dilupakan oleh negara
Australia.
Beberapa kelompok
lain di wilayah Australia berhasil menuntut sebagai Orang Asli melalui
prinsip-prinsip ini –penghuni pertama, kolonisasi, tradisi yang berlanjut, dan
peminggiran (marjinalisasi). “ Cara hidup dan adat istiadat penghuni Melayu
dalam wilayah [Australia] dapat, berdasarkan peraturan dalam wilayah
[Australia] dari waktu ke waktu, diizinkan terus hidup ”.
Reff, NGI, 25Juni2018.
Tarian Scodland dalam rentak Kokos |
Batang pisang
hanyut ke muara,
Warga Kokos "
Indigenous " di Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar