Selasa, 01 Oktober 2019

TUNTUTAN REFERENDUM UNTUK PAPUA OLEH NEGARA DI PASIFIK SELATAN DITOLAK SIDANG MAJELIS UMUM PBB.

NusanTaRa.Com
byMapiroHBorrA, 18/09/2019

LP Marsudi, Selasa (7/5/2019), memimpin rapat di Dewan Keamanan PBB sebagai Presiden DK PBB. Sekjen PBB Antonio Guterres 

Hasil Pertemuan Wakil Tetap RI di PBB Dian Triansyah Djani dengan Sekjen PBB Antonio Guterres di New York, Selasa 10 September 2019 yang pada dasarnya memutuskan bahwa ; PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia, PBB telah melihat OutCome pembangunan di Papua dan Papua Barat tapi perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis dan menyadari adanya kelompok separatis yang selalu membuat berita hoax, demo anarkis, tindak kekerasan dan pihak polisi harap dapat menahan diri.

Bagi PBB, referendum di Papua sudah dilakukan tahun 1969 yang melahirkan resolusi Majelis Umum PBB nomor 2504 tahun 1969 dan tidak bisa diulang lagi.  PBB menerima hasil referendum tersebut  yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) dan lewat resolusi itu juga PBB telah menerima hasil Pepera sebagai hak menentukan pilihan secara bebas yang dilakukan rakyat Papua saat itu.  Sikap itu kembali ditegaskan kala Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat menerima Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani pada awal September 2019 di New York.

Bendera Merah Putih -  Belanda di PBB UNTEA 31/12/1962 Papua Barat
Sebagaimana diketahui bahwa setiap penyelenggaraan Sidang Majelis umum PBB Negara-negara dari Kepulauan Pasifik selalu memanfaatkan momen itu untuk membahas kemerdekaan Papua,   bagi mereka, forum sidang MU PBB dianggap sebagai momen penting untuk mengangkat isu Papua. Meski demikian, hukum dan tatanan internasional saat ini menutup peluang pemenuhan tuntutan pegiat dan pendukung isu Papua Merdeka, yang mengusung tuntutan pokok referendum untuk Papua.

Keputusan PBB tersebut, selain jawaban atas usulan Negara-negara Pasifik Selatan juga jawaban atas masuknya Petisi suara rakyat Papua ke PBB di New York, Amerika Serikat (AS) yang merupakan tuntutan 1,8 juta warga Papua Barat yang meminta adanya referendum untuk menentukan apakah provinsi ini bisa melepaskan diri dari Indonesia.   Petisi tersebut diterima Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterima langsung Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Michelle Bachelet, jum’at (25/01/2019).
Benny Wenda, Ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menyampaikan petisi tersebut berharap PBB dapat segera menindaklanjuti petisi dengan mengirimkan tim pencari fakta ke Papua Barat untuk mengecek kebenaran tentang adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia.  “ Hari ini adalah hari yang bersejarah bagiku dan untuk orang-orang Papua Barat. Aku telah menyerahkan sesuatu yang aku sebut sebagai tulang punggung penduduk (Papua Barat), setelah banyak warga yang terbunuh ”, Ujar SiDin Benny Wenda, Senin (28/1/2019).

Bermakna bahwa keputusan PBB telah menerima hasil Pepera tahun 1969 itu ataupun Papua sebagai wilayah Indonesia tidak bisa dibatalkan dengan sistem hukum internasional sekarang.  Hukum Indonesia pun tidak mengenal referendum, apalagi pemisahan wilayah, sementara dalam pemisahan suatu wilayah maka hukum internasional mewajibkan proses konstitusional real sebagai persyaratan yang mutlak.    Dalam hukum internasional, tidak ada preseden resolusi Majelis Umum PBB yang dibatalkan. Tidak ada mekanisme yang mengatur pengujian produk hukum organ-organ PBB, termasuk resolusi Majelis Umum  ”,  Ujar SiDin Hikmanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Dengan kata lain, keputusan PBB menerima hasil Pepera ataupun Papua sebagai wilayah Indonesia tidak bisa dibatalkan dengan sistem hukum internasional yang ada sekarang.   Pendek kata, dibutuhkan klausul pemisahan diri dan referendum dalam konstitusi Indonesia untuk memenuhi keinginan referendum Papua sementara Klausul itu tidak ada di Undang-Undang Dasar Indonesia.

Benny Wenda terhadang untuk masuk ke Ruang Sidang PBB.
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo menyebutkan bahwa hanya wilayah kolonial dan wilayah tanpa pemerintahan sendiri (NSGT) yang bisa menggelar referendum dan menurut hukum internasional Papua itu tidak termasuk kedua jenis ranah pandangan itu dan Papua tidak ada dalam daftar NSGT PBB.

Dalam konteks kolonialisme, fakta sejarah mencatat PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia lewat upacara pada 1 Mei 1963 di Jayapura, kala itu bernama Hollandia, Otoritas Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) menyerahkan pengelolaan Papua kepada Indonesia.  Penyerahan itu bagian dari pelaksanaan Kesepakatan New York antara Indonesia dan Belanda pada Agustus 1962 di New York.  Dalam kesepakatan itu, Belanda setuju menyerahkan Papua kepada Indonesia melalui PBB dan Indonesia setuju menggelar referendum di Papua setelah menerima penyerahan kendali dari PBB.

Selain itu, masih dalam konteks kolonialisme, Papua juga dianggap sudah menentukan nasib lewat proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu mengacu pada prinsip Uti Possidetis Juris.  Secara sederhana, prinsip itu menetapkan wilayah negara yang baru merdeka dari kolonialisme disesuaikan dengan wilayah penjajahnya.     Karena itu, Malaysia tidak masuk (wilayah Indonesia), Singapura tidak masuk, karena bukan jajahan Belanda  ”,   Ujar SiDin Eddy Pratomo.

  
Lukas Enembe Gubernur Papua 2019-2024,
Papua tak dapat pisah terikat Papera 1969.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...