Sabtu, 28 September 2024

IRENE TAN WANITA SINGAPURA, BERSEPEDA PERSEORANGAN SEJAUH 1.630 KM SEORANG DARI SINGAPURA KE ACEH INDONESIA

NusaNTaRa.Com  

byIndaHPalloranG,      S   e   n   i   n,    0   8       J    u    l    i       2   0   2   4 

Irene Tan Pesepeda, melakoni touring Singapura - Sabang Ace Indonesia 1.630 km
Irene Tan   adalah seorang pendidik anak usia dini yang Cinta bersepeda dan sojarah.   Tahun lalu, perempuan berusia 50 tahun ini  menggabungkan dua hal tersebut :   Ia bersepeda sendirian  dari Singapura dengan misi menelusuri tempat kelahiran kakeknya  di Bagansiapiapi,  lalu lanjut hingga ujung utara Indonesia di Sabang Aceh, dan mengisahkan perjulanan tersebut.   Sepuluh tahun lalu, saya tidak bugar dan tidak berjiawa petualangan,  kala itu umur saya 40 tahun,  dan saya mencoba berbagai cara  agar bisa sehat dan aktif,  tetapi tidak pernah betah - sampai saya menemukan bersepeda,   Berawal dari mengikuti Trip bersepeda santai di Taiwan  pada 2014,  yang membuat saya merasa begitu bebas dan bergairah , saya jatuh cinta dengan olahraga ini.

Tak lama sayapun bergabung dengan klub bersepeda lokal dan berkawan dengan para penggemar lain.   Mereka berbagi tips pemilihan rute - rute bersepeda terbaik di Singapura  dan apa yang harus di lakukan dalam keadaan darurat saat bersendirian di julanan.   Meski makin mantap bersepeda, saya tetap merasa bukan seorang petualang  dan cuma "main aman".  Saya lebih suka Rute yang saya akrabi dan kalaupun melenceng dari jalur yang biasa  atau bersepeda sampai keluar negeri,  saya lakukan berkelompok dengan kawan = kawan pesepeda lain atau ke tempat - tempat yang bisa saya pahami bahasany.   Pada tahun 2023 memasuki usia 49 tahun,  saya merasa harus menjalankan pertualangan.


BERTUALANG MENZIARAHI NEGERI ASAL - USUL.

Peta Rute Irene Tan bersepeda  Singapura-Sabang Aceh

Mendiang kakeknya dari pihak ayah lahir di Bagansiapiapi, dipesisir timur Sumatera Indonesia.   Saat saya tumbuh besar,  saya sering mendengar beraneka ragam curita tentang masa kecil  sebelum ia pindah ke Singapura  seputar  perang Dunia ke II.   Potongan - potongan cerita yang saya dengar begitu memukau, saya lantas membaca apapun yang bisa saya temukan  di internet tentang  keluarga - keluarga Tionghoa yang tingga di Sumatera pada awal 1900 - an,  saya juga bertanya pada keluarga besar tentang seperti  apa keluarga kami di Indonesia  dan saua menemkan berbagai hal menarik.

Kedua buyut saya berasal dari China  dan menetap di Indonesia,  mereka pasih berbahasa Indonesia  maupun dialek Hokkien.   Penghasilan utama merela bersumber dari perkebunan karet yang mereka miliki  selain dari hasil laut.   Semua cerita itu membuat saya ingin mengunjungi daerah tersebut,  tetapi saya benar - benar tidak pernah melakukannya  sampai suatu hari terpikir oleh saya   :     Bagaimana kalau saya bersepeda sendiri  dari Singapura ke Sumatera  untuk mengunjungitanah kelahiran kakek saya ?.

Gagasan ini terus berkembang dalam benak dan saya makin bersemangat  tiap kali memikirkannya.   Saya tahu saya harus mewujutkannya dan saya memutuskannya untuk tidak tanggung - tanggung   :  Mumpung saya nantinya berada di Sumatera,  kenapa tidak sekalian melintasi  daratan dan menuju ujung paling utara.Indonesia  sampai pulau Sabang di Aceh ?.   Ketika saya memberitahu teman -teman  tentang rencana untuk bersepeda sendiri  dari Singapura ke Aceh,  sesuai dugaan mereka mengkhawatirkannya.    Mereka bilang  :   " Kenapa tidak di Malaysia  Saja ?, kau tidak bisa berbahasa Indonesia, kalau tersesat bagaimana ?,  Memangnya kau tahu di Sumatera ada Apa ?,  Kau itu wanita Asia berbadan kecil,  bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu  ?"

Saya paham akan ke khawatiran mereka  namun saya terus merasa bahwa ini pertualangan  penting yang harus saya jalani.   Dari semua orang yang saya kenal,  belum pernah ada yang melakukannya ,  tetapi saya ingin mencoba.


BERSIAP MENGAYUH SEPEDA HINGGA ACEH.

Karena perjalanan solo pertama saya di Indonesia, saya memastikan semua terencana dengan baik,  saya ambil cuti sebulan  pekerjaan dari September sampai oktober  2023,  jadi saya punya waktu tiga pekan untuk trip bersepeda satu arah  dari Singapura ke Aceh.   Rencana saya pulangnya terbang dari Aceh via Kuala Lumpur ke Singapura.   Saya pelajari lagi bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia dasar yang saya kuasai dan saya petakan beberapa rute alternatip  di Google Maps -  Aplikasi yang sangat membantu - sebagai rencana A, B dan C.  Perjalanan bersepeda ini dibagi menjadi  lima tahap utama  :  

1.  Singapura ke Melaka Malaysia (250 km)  lalu naik feri dari dermaga  Parameswara ke Dumai Sumatera Indonesia  (120 km)..

2.  Dumai ke Bagansiapiapi   (120 km).

3.  Bagansiapiapi ke Danau Toba,  danau luas yang mengelilingi gunung berapi  aktip yang tengah dorman  (530 km).  

4.  Danau Toba ke Medan  ibukota  Sumatera Utara   (120 km).

5.  Medan ke Aceh   (450  km)  kemudian naik feri ke Pulau Sabang  dan alnjut bersepeda  ke ujung utara Indonesia   (40 km).

Keseluruhan perjalanan saya menempuh lebih dari 1.600 km  dan saya menargetkan bersepeda sekitar 100 -140 km,  yakni sekitar empat hingga enam jam per hari.   Harus ada ruang untuk fleksibelitas,  saya memperkirakan kemungkinan kerusakan sepeda,  kecelakaan hingga kemungkinan saya merasa terlalu lelah pada hari tertentu.   Jadi,  Meski saya memesan sebagian besar akomodasi di awal, saya juga mencatat beberapa hostel  dan akomodasi potensial  yang akan menerima penginapan mendadak ,  kalau - kalau saya putuh istirahat.

Saya juga berkemas ringan, satu tas untuk pakaian dan satu lagi untuk Vitamin, alat-alat sepeda, botol minum dan sedikit ruang ekstra untuk oleh-oleh.  Menyadari bahwa saya akan melewati banyak kampung  dan kawasan yang sinyalnya lemah  atau tanpa WiFi syaya juga membeli kartu SIM lokal dan menandai toko=--yoko kecil disepanjang jalan  agar bisa  eli pulsa untuk panggilan Internasional.


CARI JATI DIRI LEWAT PETUALANGAN BERSEPEDA

Perjalanannya sendiri sangat mendebarka.   Sepanjang tahap pertama  yakni dari Singapura ke Indonesia, saya hampir tidak pernah merasa lelah karena di dorong oleh sumangat yang luar biasa.   Sesampainya di Bagansiapiapi,  saya tidak ragu untuk bertanya pada penduduk setempat tentang  sejarah kota terkait komunitas besar  Tionghoa di sana.   Ketika berkelilingpun tidak terlalu sulit karena sebagian besar penduduknya  orang Tionghoa dan Hokkien jamak digunakan.   Saya jadi tahu bahwa Bagansiapiapi awalnya di huni  terutama dari para imigran  Tionghoa  yang datang ke indonesia pada akhir abad  ke-18  dan awal abad ke-19.

Sayangnya saya tidak berhasil menemukan atau mengidentifikasi nama kakek buyut saya,  akan tetapi saya sangat gembira menengo satu jalan yang diberi nama sesuai dengan nama keluarga Tionghoa  yang juga bernarga TAN,  saya mengetahui bahwa mereka juga memiliki perkebunan karet.   Penduduk setempat ingat ada satu keluarga Tionghoa  yang pernah tinggal di Bagansiapiapi pada tahun 1920-an hingga 1940-an,  lantas bermigrasi ke bagian lain Asia Tenggara.   Mereka tidak ingat namanya dan saya tidak menemukan dokumen tertulis apapun,  jadi saya tidak yakin 100 persen kalau itu memang kakek saya .   Meski begitu, kemungkinan itu membuat saya merasa bersemangat dan puas.

Mengutip semua kepingan kecil sejarah diri mengingatkan saya akan pengorbanan  dan kerja keras leluhur dari pihak ayah demi kehidupang yang lebih baik bagi keturunan mereka.   Mengingat Bagansiapiapi, perjalanan ini memungkinkan saya menjalin pertemanan  yang tak disangka -sangka.   Saya tersesat saat bersepeda ke Danau Toba,  saya hampir masuk hutan karena  di peta ada semacam jalan pintas kecil menuju Danau Toba.  Namun sebelum saya masuk hutan, satu keluarga beranggotakan tiga orang - perempuan bernama Midah, Suarninya dan anaknya - melewati saya naik sekuter dan menyetop saya.  Syukurlah mereka melakukan itu, kerena entah apa yang mungkin terjadi  kepada saya ditengah hutan tersebut.

Midah dan keluarganya dengan ramah mengajak saya ke rumah mereka untuk bermalam,  saya ikut makan malam dan sarapan dengan keluarganya, mencuci pakaian, mengisi kembali persedian makanan dan minuman dan menyesuaikan sepeda saya seperlunya.  Saya akan selalu berterima kasih kepada mereka karena  telah menjaga saya ketika tersesat.   Kami tidak selalu paham bahasa satu sama lain,  tetapi kami berbagi kehangatan yang tidak pernah akan lupakan.   Esoknya,  keluarga itu bahkan menemani saya dengan sekuter mereka sejauh 15 km sembari saya bersepeda.   Mereka tidak pergi sampai mereka yakin  saya paham arah ke Danau Toba,  meskipun ada hambatan bahasa.   Kami berpelukan dan bertukar nomor telepon,  saya sesekali masih kirim pesan kepada Midah lewat WhatsApp.

Perjalanan bersepeda saya bukannya tampa tantangan,  tidak ada kecelakaan atau kerusakan besar,  tapi saya beberapa kali dilecehkan secara verbal dan fisik oleh sejumlah anak laki-laki.  Pada insiden-insiden tersebut saya terlalu kaget untuk bisa bereaksi kerena terjadi saat saya bersepeda  dan pelakunya cepat-cepat kabur saya sampai harus berhenti di pinggir jalan untuk menenangkan diri.   Dalam perjalanan menuju Danau Toba,  satu sepeda motor melambat di samping saya saat saya bersepeda berseoeda  dan salah satu  pria di motor itu memegang paha saya .   Insiden lain terjadi di Pulau Sabang  sekelompok pria bersiul-siul  dan memanggil - masnggil saya saat saya bersepeda.

 Syukur ada beberapa pria setempat lainnya yang membantu memastikan saya baik-baik saja.  Contohnya setelah saya berhenti di  pinggir jalan untuk mencerna insiden pertama,  satu pengemudi yang menyaksikan kejadiannya  lantas berhenti dan bertanya apakah saya baik-baik saja.   Dia bahkan memberikan saya  sebotol air  yang membuat saya merasa lebih tenang.   Ketika saya akhirnya mencapai Tugu O Kilometer, ujung utara Indonesia di Plau Saban,  saya nyaris tidak percaya,  saya terus berpikir ,  "wow,  saya berhasil menyelesaikannya !".  Itu pengalaman yang tidak terlupakan dan di akhir perjalanan  sejauh 1.650 km  kaki saya merasa mau copot.

Setelah beberapa hari menjelajah Aceh,   saya terbang kembali ke Singapura  dar AcehVia Kala Lumpur -  mencatat semua pengalaman unik saya di ponsel dan bersyukur bahwa saya bisa menyaksikan negeri asal kakek saya.   Seandainya saya bisa bilang kepada diri saya yang lebih muda,  anti di usia 49 tahun dia akan menjadi pesepedaa Bugar  yang bersepeda sendirian  dari Singapura ke Indonesia  mendedikasikan petualangan ziarah  untuk kakeknya ,  saya yakin dia akan menertawakan saya - tetapi saya sudah melakukannya.

Sungguh petualangan yang luar biasa dan saya sangat  bangga pada diri sendiri karena berhasil merujutkannya. (dr. Irene Tan,lifestyle  01/07/2024)

Irene Tan berada di titik 0 Barat Indonesia, P Sabang


Irene Tan bersepeda Singapura ke Aceh sejauh 1.630 km.

Menelusuri jejak leluhurnya sembari mengenal jejak alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEINDAHAN ALAM LAUT PULAU RUBIAH DI TANDUK PULAU WE DAN SEJARAHNYA

NusaNTaRa.Com       byLaDollaHBantA,        S    e    l    a    s    a,     0    1         O    k    t    o    b    e    r          2    0...