NusanTaRa.Com
byFariDGabaN, 11 Juli 2020
Presiden
Joko Widodo meminta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memperkuat
ketahanan pangan, antara lain dengan melibatkan tentara serta pengembangan food
estate seluas 20.000 hektar di Kalimantan Tengah. Kebijakan mengembangkan food estate sulit
berhasil (seperti sudah ditunjukkan sejak zaman Soeharto). Tapi, lebih dari
segalanya, bukan strategi bagus untuk menopang ketahanan pangan secara
berkelanjutan.
Cita-cita
membuat food estate skala besar (lumbung pangan nasional) bukan cerita baru.
Soeharto pernah mencanangkan lahan padi sejuta hektar. Susilo Bambang Yudhoyono
mencetak Merauke (Papua) menjadi lumbung pangan; kebijakan yang dilanjutkan
oleh Joko Widodo, baik di Merauke maupun kini tambah di Kalimantan.
Ketimbang
membangun lumbung pangan nasional, pemerintah semestinya mendorong pengenalan
kembali lumbung di setiap desa. Artinya: mendukung petani-petani kecil di
pedesaan.
Badan
Pangan Dunia (FAO) mengakui peran besar petani gurem (family farming). Sekitar
70% pangan dunia diproduksi oleh petani keluarga.
Di
Indonesia sendiri, 96% kebutuhan beras dipasok oleh petani gurem. Dan pertanian
masih merupakan sektor terbesar penyerap tenaga kerja: yakni 35% atau sekitar
40 juta orang pada 2013. Meski begitu, jumlah petani memang turun terus,
sekitar 1 juta petani/tahun. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB juga terus
merosot. Hanya sekitar 14-15% pada 2014.
Padahal,
sejumlah kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB pertanian paling efektif
menghapus kemiskinan dibanding pertumbuhan sektor lain, seperti manufaktur dan
jasa. Membantu petani kecil adalah cara
mencapai ketercukupan pangan sekaligus memperkokoh ekonomi rakyat (menyerap
tenaga kerja dan memperkecil kemiskinan).
Jika
food estate cenderung akan menguntungkan usaha besar, pemberdayaan petani kecil
punya dampak signifikans pada pengembangan ekonomi kerakyatan secara luas. Pertanian skala besar juga cenderung
monokultur, sementara pertanian kecil di desa-desa justru melestarikan
keragaman pangan; yang membuat ketahanan pangan lebih kuat karena tidak
tergantung pada satu-dua sumber.
Ketimbang
membangun lumbung nasional, pemerintah seharusnya mendorong lumbung desa dan
mengoreksi banyak kebijakan yang telah membuat pertanian kita terus-menerus
mundur :
1. Pendapatan
petani yang terus merosot sehingga sektor pertanian terus ditinggalkan orang.
Keuntungan rata-rata petani hanya Rp 7,2 juta per hektar per musim tanam (atau
Rp 1,8 juta per bulan per hektar). Jika cuma punya 0,2 ha, pendapatannya hanya
Rp 360 ribu per bulan. Sama sekali tidak menarik.
2.
Hampir tidak ada input manajemen dan pengetahuan dalam usaha tani kecil.
Termasuk penguatan organisasi koperasi. Petani kecil bekerja sendiri-sendiri
dan justru saling bersaling satu sama lain.
3.
Serapan kredit usaha tani sangat kecil, antara lain akibat tak terjembataninya
kesenjangan sektor formal (perbankan) dan sektor informal (petani).
4.
Lahan pertanian yang terus merosot, khususnya di Jawa yang subur. (Rasio lahan
pertanian per orang di Indonesia kalah dari Vietnam dan Thailand).
5.
Reforma agraria yang cuma slogan dan omong kosong. Kementerian Agraria
menyatakan rasio Gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, 1%
penduduk menguasai 58% total luas tanah. Di sisi lain, Kementrian Pertanian
menyebut ada 12,4 juta hektar lahan dalam kondisi telantar.
6.
Perhatian pemerintah yang sangat minimal terhadap sektor pertanian, yang antara
lain (bukan satu-satunya) dicerminkan oleh kecilnya anggaran. Anggaran Kementrian
Pertanian pada periode pertama Jokowi hanya 25% dari anggaran Polri; dan hanya
15% dari anggaran Kemenhan.
Dr.
FB.FariDGabaN, 09/07/2020.
Lumbung
program pangan teratasi,
Lumbung
Pangan Nasional program Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar