NusanTaRa.Com
byPakeLEE, 04/04/2020
Betapa
riuhnya masyarakat desa ketika melihat ketibaan ayah dan kakeknya dengan
membawa kepala manusia digenggaman setelah memenangkan satu pertempuran, kenang Ngon Pok yang berusia sekitar 80 tahun.
Hal itu terjadi disebuah desa yang
dihuni suku LaInong dibagian ujung utara dari negara Myanmar dan suku LaInong merupakan
satu dari 27 suku yang dikenal sebagai masyarakat Naga.
Setelah
itu tubuh mereka dirajah dengan berbagai Tato sebagai bukti kemenagan mereka, Duri digunakan untuk menusuk – nusuk tubuh
mereka kemudian diberikan pewarna yang terbuat dari getah tumbuhan. Biasanya bukan hanya prajurit saja
yang akan ditato, tetapi juga keluarga mereka sebagaimana yang dirasakan Ngon
Pok, karena ia mesti merasakan sendiri sakitnya ditato sejak masih sangat
belia.
Ia
menjelaskan, pada masa pentatoan itu ia
berusia sekitar enam tahun, Ngon Pok
adalah salah satu anggota suku Lainong yang bermukim di zona semi-otonom, dekat
perbatasan India. " Orang-orang harus menangkap dan menahan
saya ", Ujar SiDin Ngon Pok sambil melepas jumpernya dan menunjukkan dadanya yang dihiasi tato
berbentuk garis-garis vertikal dan paralel, serta dua sosok prajurit.
Suku-suku
dan desa-desa yang ada di kawasan tempat ia bermukim sering berperang karena masalah wilayah, para pejuang yang ikut berperang akan
memotong kepala musuh-musuh mereka untuk mendapatkan penghargaan tersebut dan menjadi penanda akan kehebatan sang prajurit kala berperang
dan menebas kepala musuh.. Kejadin tersebut menjadi sebuah tradisi dan masih
ditemukan berlangsung hingga akhir 1960-an.
Khamyo
Pon Nyun, istri dari Ngon Pok yang berusia 75 tahun pun sama memiliki tato berbentuk desain geometris di
lengan, kaki, dan wajahnya, Ia
mendapatkan tato tersebut saat masih remaja,
" Sakit sekali ", Ujar SiGaluh Khamyo Pon Nyun sembari
mengingat-ingat. Tak lama kemudian, ia
mengangkat sedikit roknya untuk memperlihatkan kakinya yang ditato itu.
Diera
kolonial Inggris, eksploitasi secara
komersil dataran rendah masyarakat Naga yang turut memanipulasi demografi
mereka seperti pembagian wilayah, seperempat bagian untuk mereka menetap, dan
sisanya di bawah yurisdiksi kerajaan. Kehadiran
Inggris di perbukitan tempat tinggal masyarakat Naga turut merubah kehidupan
masyarakat setempat dan Inggris mengambil kedaulatan mereka dan hingga kini tak punya negara.
Lars
Krutak, penulis Amerika adalah salah satu orang yang telah
mempelajari tato suku-suku di dunia, termasuk masyarakat Naga, “ Keragaman
pola tato Naga adalah keunikan bagi saya
", Ujar SiDin Lars Krutak. Ada
lebih dari 20 suku bertato di kedua sisi perbatasan dengan identitas masing-masing, ritual peralihan
kedewasaan, bahasa, hingga dialek yang berbeda.
Bagi
mereka tengkorak manusia memiliki kekuatan
gaib tersendiri yang mampu memberikan
berkah bagi klan suku, tanaman, dan hewan. Nokying Wangnao misalnya, dia bangga akan
masa lalunya, ketika para lelaki muda
berpawai di sekitar desa setelah berhasil mengalahkan musuh, para warga
menyembelih Kerbau untuk dimakan, para
wanita akan menawarkan minuman alkohol dari beras dan Tengkorak hasil tebasan itu kemudian
diletakkan di atas batu datar, di luar rumah kepala desa. Besoknya, wajah dan dada Wangnao ditato
sebagai penanda.
Beda
Wangnao beda pula Houn Ngo Kaw, yang
mengaku telah berhenti melakukan tradisi
berdarah di desanya setelah menerima agama Kristen pada 1978. Ia pun kini
merasa jadi lebih baik. Generasi
muda masyarakat Naga juga kini jarang memakai tato tradisional yang khusus
diberikan setelah memburu kepala manusia. Walau begitu, tak sedikit warga yang
menyesal kalau nantinya tradisi tersebut akan hilang selamanya. "
Saya ingin menjadi salah satu prajurit bertato terakhir ", Ujar SiDin Houn Ngo Kaw, sambil tersenyum lebar.
Naga
terdiri dari puluhan suku di suatu daerah
terpencil dengan keragaman budaya yang banyak. Tersebar antara India dan Myanmar yang
dianggap sebagian besar orang sebagai perbatasan buatan, rasa nasionalisme
menyatukan suku-suku Naga yang berbeda.
Desa suku-suku Naga adalah salah
satu contoh sudut termiskin di Myanmar, di mana orang harus berjalan
berhari-hari untuk mencapai kota terdekat,
hanya sedikit anak yang mengenyam
pendidikan sekolah dasar dan hanya 40
persen desa yang memiliki aliran listrik.
Kepala
ditangan berhadiah tato,
Suku
LaInong Myanmar dengan budaya tato.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar