NusaNTaRa.Com
byKariTaLa L A, R a b u, 3 0 M a r e t 2 0 2 2
Indonesia
memiliki lebih dari seribu suku bangsa atau kelompok etnis yang memiliki perbedaan
soal cara hidup, budaya dan tradisi
masing-masing. Suku Naulu satu
diantaranya yang tinggal di kawasan
pesisir selatan Pulau Seram, Maluku. Masyarakat
Naulu awalnya berasal dari Maluku Utara, tepatnya Pulau Halmahera, setelah
perang Hotebanggoi, mereka bermigrasi ke wilayah selatan Pulau Seram dan
berdiam di hulu Sungai Noa di Desa Sepa, Kecamatan Amahai.
Masyarakat
Suku Naulu tersebar di Desa Sepa, Seram, tepatnya di daerah Yaisuru, Nua Nea,
Bunara, Latan (Kampung Lama), Hahuwalan, Simalouw, Rohua, dan Rohua Waemanesi. Suku Naulu dikenal dengan tradisi masa
lalunya yang menyeramkan, termasuk di
antaranya mengasingkan para perempuan dan memenggal kepala untuk mas kawin.
Laki-laki Naulu biasa mengenakan Patahari atau kaeng
berang, kain merah yang diikat di kepala dan menjadi khas Suku Naulu. Dari sudut etnis suku Naulu ada hubungannya
dengan Manusela baik dalam bahasa dan
keyakinan Naurus, suku Naulu juga
diketahui mengikuti agama Hindu. Dalam
masyarakat Naulu terdapat 12 klan atau marga yaitu
Pia, Matoke, Kamama, Sounawe Aepura, Sounawe Aenakahata, Sopalani, Perissa,
Hury, Nahatue, Soumory, Leipary dan
Rumalait.
Naurus merupakan
agama yang diturunkan nenek moyang
mereka dengan keyakinan Tuhan pencipta
alam semesta yang gaib dan maha agung disebut “Upuku Anahatana”. Namun, warga Naulu terpaksa harus mencantumkan
agama lain dalam identitas mereka dalam berurusan dengan birokrasi negara
seperti pendidikan, pernikahan, pekerjaan dan pembuatan KTP karena agama tersebut belum
diakui negara.
Dalam
kepercayaan Naurus, hubungan dengan Tuhan tidak dilakukan secara langsung,
melainkan lewat perantara, mereka percaya dalam setiap aspek kehidupan ada roh
atau upu yang mengontrol keseharian mereka.
Adapun para upu yang senantiasa menjaga alam semesta, yaitu Nue Nosite
(penjaga laut), Wesia Upue (penjaga darat), Sionoi Aha (penjaga udara) dan Seite Upue (penjaga hutan atau kebun).
Ketika
berinteraksi dengan masyarakat luar, Suku Naulu senantiasa mengedepankan
perasaan damai. Mereka memiliki prinsip yang dipegang teguh, yaitu selama
berbuat baik maka tidak akan ada hal buruk yang datang.
Suku Naulu memiliki
beberapa tradisi salah satunya Pataheri, yaitu ritual untuk para lelaki yang
telah dianggap dewasa. Selama ritual
yang disebut upacara cidaku ini, laki-laki akan mengenakan kaeng berang di
kepala dan cawat. Ritual tersebut akan
dimulai dengan puasa satu hari, sejak pukul tiga dini hari hingga enam sore.
Selama puasa, kaeng berang diikat di leher karena diyakini akan menjauhkan diri
dari gangguan setan.
Usai
berpuasa, mereka akan berkumpul di numa onate atau rumah utama dan diberikan pakaian adat karanunu onate.
Mereka akan didampingi oleh seorang kapitan atau panglima perang menuju rumah
orang tua kapitan untuk memohon doa agar diberikan keberanian dan terhindar
dari bahaya. Setelah berdoa, mereka
kembali ke numa onate dan mengambil perlengkapan seperti parang, panah, tombak dan satu tas berisi sirih pinang yang
diberikan tetua adat menghadap utara.
Kemudian
menuju arah ke timur memimpin ritual di
dalam hutan. Ritual pataheri juga
melibatkan pemenggalan kepala manusia untuk perayaan atas kedewasaannya. Tak
hanya itu, memenggal kepala juga dilakukan dalam upacara adat, misalnya saat
mendirikan rumah adat baru sebagai persembahan untuk para dewa atau nenek
moyang.
Mereka
percaya tradisi ini wajib dilakukan demi terhindar dari bahaya dan musibah.
Selain itu, tradisi tersebut memiliki arti ponting dan dianggap menjadi simbol kebanggaan dan
kekuasan bahkan, dijadikan mas kawin saat masyarakat Suku Naulu menikah. Tradisi yang berasal dari masa lalu ini
berawal dari raja Suku Naulu dalam memilih calon menantunya. Sebagai bukti kejantanan, maka laki-laki harus
membawa kepala mahusia sebagai mas kawin.
Selain pataheri
untuk laki-laki, ada ritual pinamou
untuk perempuan menuju dewasa, mengasingkan perempuan yang baru mendapat
menstruasi pertama dari masyarakat dan keluarga karena darah haid dianggap tidak baik bagi
lingkungan adat. Mereka akan dibawa ke posune selama sebelas
hari yaitu rumah
kecil yang terbuat dari daun rumbia. Luasnya sekitar 2x2 meter yang terletak di
bagian belakang rumah atau pinggiran kampung.
Selama
diasingkan, mereka akan dilayani oleh ibu atau saudara perempuan. Di dalam
posune, mereka hanya akan dibekali dengan tempat tidur, sarung, piring dari
daun sagu, dan batu tungku untuk memasak. Mereka harus makan makanan kering dan
tidak boleh berkuah. Selama pinamou, para perempuan tidak boleh keluar dari
posune, termasuk pulang ke rumah orang tuanya.
Saat pinamou selesai, akan dilakukan upacara adat dengan berkeliling kampung untuk menunjukkan pada warga desa bahwa perempuan tersebut sudah dewasa dan siap menikah.
Lelaki suku Naulu mengenakan Patahari "Kain merah Ikat Kepala"
Ritual
budaya hidup untuk tentram,
Pataheri
kaen merah ikat kepala suku Naulu di Seram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar