NusaNTaRa.Com
byGreaTBritteN, S
e l e
s a, 1
2 A p r i l 2 0 2 2
Perumahan di Lorong Buangkok di tengah Metro Singapura |
Singapura satu kota supermetro ternyata hingga kini masih memiliki desa tradisional
yang dihuni 25 keluarga, kawasan
tersebut diberi nama Lorong Buangkok dan
menjadi satu-satunya desa tradisional yang oleh penduduk setempat disebut "kampung" yang masih tersisa di negara-kota. Dulunya tahun 1956 di kawasan Singapura ini
berdiam pria Sng Teow Koon yang pertama kali membeli
sebidang tanah ini seluas 12.248 meter,
sekarang nilainya bisa mencapai
70 juta dolar Singapura atau 52 juta dolar AS atau Rp747 miliar. Putri Sng, Mui
Hong, sekarang memiliki desa yang dikelilingi oleh apartemen bertingkat tinggi
dan bungalow modern itu.
Kesan pertama, kampung ini terlihat
seperti dusun dari pertengahan tahun 1900-an, dengan rumah-rumah yang terbuat
dari kayu dan seng atap. Di balik rumah tua, banyak warga justru menikmati
teknologi terkini, termasuk mobil mewah, WiFi berkecepatan tinggi, dan smart
TV. " Penduduknya tidak miskin - setiap rumah
memiliki mobil ", Ujar SiDin Sng Teow Koon dan menambahkan "kami
ingin menjaga budaya".
Rumah Attap adalah rumah tradisional
Melayu dengan atap jerami yang terbuat rajutan daun tumbuhan (nipah) dan seng. Mereka adalah tempat tinggal pilihan di
kampung-kampung karena ventilasi alami dari struktur tersebut mendinginkan
rumah meskipun cuaca tropis yang panas, menurut profesor dari Universitas Putra
Malaysia. Meski tinggal di rumah
tradisional, mereka hidup tidak berbeda dari rata-rata orang Singapura.
Beberapa berprofesi sebagai pegawai kantoran pusat kota, dan banyak yang
membeli bahan makanan dari supermarket lokal.
Lorong Buangkok, kampung tradisional
terakhir yang ada di Singapura, penduduk
desa membangun pagar untuk melindungi diri dari penyusup, kata seorang pemandu
wisata, Kyanta Yap yang telah menggelar tur di kampung selama lebih
dari setahun. " Secara tradisional, penduduk desa percaya
pada 'gotong royong', rasa kebersamaan yang kuat tanpa batas ",
Ujar SiDin Kyanta Yap. " Tapi sekarang mereka mengunci pintu dan
gerbang karena banyaknya orang yang masuk tanpa izin ke kampong ",
Ujarnya menambahkan.
Sebagian besar apartemen umum di Singapura
berukuran kecil, rata-rata hanya berukuran 90 meter persegi, atau sekitar 968
kaki persegi. Sementara, rumah-rumah attap berukuran luas, dengan halaman
belakang yang luas. Terlepas dari ukuran
properti, pada tahun 1950-an dan 1960-an
Sng Teow Koon menagih penyewanya 4 dolar
Singapura hingga 13 dolar Singapura atau Rp137 ribu per bulan, ujar Kyanta Yap. sekarang
sewa bulanan untuk rumah dengan tiga kamar tidur di Singapura mulai dari
4.000 dolar Singapura atau Rp44 juta per bulan.
Berbeda dengan rumah-rumah lain di kampung
itu, satu rumah ini tidak ada unit AC, hanya dua kipas angin. Sementara, beberapa rumah penduduk di kampung
memiliki toilet bergaya Jepang yang canggih, bekas rumah Sng Teow Koon memiliki
panci jongkok kecil. Banyak warga
menggunakan jamban yang yang masih tradisionil ujar Kyanta Yap. Seorang pria
Singapura yang besar di kampung mengatakan menggunakan jamban memberi "pengalaman traumatis" karena sering melihat cacing dan darah, Jamban akhirnya digantikan oleh toilet rumah
pada 1970-an.
Rumah di Lorong Buangkok |
Di Singapura, 13,2 persen penduduknya
adalah orang Melayu, yang mayoritas beragama Islam. Setengah dari penduduk di
kampung itu adalah Muslim Melayu, kata Kyanta Yap. Penduduk kampung membangun surau pada 1960-an,
yang menjadi satu-satunya rumah ibadah
di kampung ini mampu menampung hingga 200 orang. Surau tidak hanya melayani penduduk Muslim di
kampung, tetapi juga Muslim yang tinggal di tempat lain di negara-kota.
Kehidupan di kampung dalam banyak hal
mengingatkan seperti apa Singapura dulu, tetapi pengingat akan lingkungan
modernnya ada di mana-mana. Kakak-kakak Sng telah pindah dari kampung untuk
tinggal di apartemen bertingkat di dekatnya. Jumlah penduduk di kampung itu
menyusut menjadi 25 keluarga, turun dari 40.
Pemerintah berencana untuk membangun kembali kampung tersebut, menurut laporan lokal. Namun, beberapa kelompok telah mengampanyekan pelestariannya. Sementara masa depan kampung tetap menjadi isu yang diperdebatkan di negara-kota, Sng Teow Koon tetap mengabdikan diri pada satu-satunya tempat yang dia sebut rumah. " Saya suka menjaga desa, saya memastikan semua orang baik-baik saja ", Ujar Teow Koon dan " Selama saya berbuat baik, surga akan melindungi saya ".
Singapura satu Kampung Melayu pada
awalnya,
Lorong Buangkok Kampung terakhir yang
tersisa di Sangapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar