Minggu, 17 April 2022

HUTAN DAN LAHAN ADAT “ JANTUNG “ SUKU MAPUR, HARUS DIKEMBALIKAN SEBAGAI ASET ADAT

NusaNTaRa.Com

byLaSikUAgaY,      S  e  l  a  s  a,     1   5       M  a  r  e  t       2  0  2  2

Suku MAPUR ditengah lahan Sawit yg menggerus HUTAN ADAT mereka

Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung,  saat ini resah karena di desa mereka tidak ada lagi hutan yang dapat diberlakukan sebagai hutan adat         penopang hidup, kekuatan moral dan semangat hidup  karena   sebagian besar menjadi perkebunan sawit dan penambangan timah.   Mereka  berharap negara mengembalikan dan mengakui  keberadaan hutan adatnya  yang  berada di wilayah perbukitan maupun pesisir,  ratusan jiwa warga mereka menetap di Dusun Aik Abik, Dusun Pejem, Dusun Tuing, Dusun Mapur  dan lainnya.

Seorang warga Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung bernama Asih Harmoko (40) terdiam sejenak saat harus menjelaskan Hutan Mapur yang sudah kritis,     Tidak ada hutan adat di dusun ini. Semuanya sudah menjadi padang sawit  ”,  Ujar SiDin Asih Harmoko dengan Plabomoranya (hebatnya) yang meringis,  awal Februari 2022.     Dusun ini dulunya dikelilingi hutan dan kelekak [kebun buah seperti durian, cempedak, dan manggis]. Beragam pohon tumbuh  ”,  Ujar SiDin Asih Harmoko, yang sejak 2019 menjadi Ketua Lembaga Adat Mapur [LAM].

Bagi Asih Harmoko Hutan adat sangat  penting dan dekat bagi kaum mereka sebagaimana yang sering  ia dengar kisahnya dari orang tuanya (Saini Pangilan Aku)  dan neneknya (Atuk Amin) sejak kecil lagi.  Melihat keberadaan Hutan Mapur ia khawatir budaya dan tradisi Suku Mapur hilang karena banyak hutan menjadi perkebunan sawit, dia bersama tokoh adat Suku Mapur mendirikan Lembaga Adat Mapur [LAM]. Tujuannya, selain melestarikan budaya dan tradisi Suku Mapur,    Kami juga berjuang mendapatkan kembali hutan adat  ”,  Ujar SiDin Asih Harmoko.

Banyak masyarakat di Dusun Aik Abik menyetujui perluasan kebun kelapa sawit ketika  PT. Gunung Pelawan Lestari [GPL] melakukan sosialisasi  tahun  2006 dan diberi ganti rugi lahan dan menjadi petani sawit Plasmanya,  meski ada sebagian yang menolak.    Tapi, tidak semua warga Dusun Aik Abik yang kehilangan kebunnya menjadi plasma perusahaan  ”,  Ujar SiDin Asih Harmoko.   Sehingga tahun 2013-2014 terjadi aksi penolakan perluasan perkebunan sawit  PT. GPL oleh masyarakat Dusun Aik Abik. Masyarakat menyatakan perusahaan melakukan perusakan terhadap 11 makam leluhur Suku Mapur, serta merusak hutan adat.

PT. GPL membantah tuduhan tersebut. Perusahaan menyatakan merawat dan menjaga makam leluhur Suku Mapur. Dijelaskan, PT. GPL memiliki izin perluasan perkebunan sawit dari Pemerintah Kabupaten Bangka pada 2005, seluas 13.565 ribu hektar, yang berada di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa Mapur  dan Desa Silip yang masuk Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip.   Dua tahun sebelum aksi penolakan tersebut  kata Asih, sejumlah perempuan Suku Mapur melakukan aksi buka baju [masih menggunakan pakaian dalam], menghadang buldoser milik perusahaan PT. GPL  yang sudah meratakan ladang padi milik warga Dusun Aik Abik, di kaki Gunung Kiareng [250-an meter].

Sebelum kehadiran perusahaan sawit, aktivitas penambangan timah sudah berjalan di kawasan adat Suku Mapur di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip, sejalan dengan terbitnya  Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum oleh Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung,  diikuti oleh penambangan illegal  berlangsung hingga saat ini.     Awalnya tidak ada orang Mapur di Dusun Aik Abik yang terlibat penambangan timah, tapi persoalan ekonomi karena kebun dan hutan sudah habis, ya sejumlah warga terpaksa menambang  ”,  Ujar SiDin  Asih Harmoko.

Hingga tahun 2006 di Pulau Bangka terdapat 1.021 kolong atau eks penambangan timah yang menjadi sumber kerusakan lingkungan Suku Mapur ,  kolong terbanyak di Kabupaten Bangka  413 lubang. Sebanyak 230 kolong berada di Kecamatan Belinyu dengan luasan 1.006,39 ha, serta di Kec. Riau Silip sebanyak 72 kolong dengan luasan 274,11 ha. Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip merupakan ruang hidup Suku Mapur.  Di wilayah adat Suku Mapur terdapat tiga sungai besar dan puluhan sungai kecil. Tiga sungai besarnya : Sungai Tengkalat, Sungai Pejem dan Sungai Mapur  yang  bermuara ke pesisir utara dan timur Pulau Bangka yang menghadap Laut China Selatan.

Rumah Adat Suku MAPUR 

Muhammad Syaiful Anwar, peneliti masyarakat adat dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, menjelaskan apa yang dialami Suku Mapur juga dirasakan masyarakat adat lainnya di Indonesia.  Suku Mapur, satu dari ratusan masyarakat adat di Nusantara, yang  kurang terperhatikan keberadaannya  oleh pemerintah sejak lahirnya Republik Indonesia,     Tapi rezim Orde Baru yang memulai penguasaan wilayah adat  ”,  Ujar SiDin M Syaiful Anwar.     Ini dosa Orde Baru, tapi pemerintahan setelah Reformasi 1998 kian melenyapkan masyarakat adat. Menghadirkan berbagai perusahaan di wilayah yang sebelumnya hutan atau tanah adat  ”,   Ujar SiDin M Syaiful Anwar.

Pemindahan masyarakat adat ke permukiman baru, melalui Proyek Perkampungan Masyarakat Terasing [PKMT]  bertujuan memudahkan pendataan dan pembinaan masyarakat yang dinilai terasing, yang berakibat masyarakat terjauhkan dari wilayah adatnya dan dikuasai penambangan.     Suku Mapur dipandang pemerintahan Orde Baru bukan sebagai masyarakat adat, tapi sebagai masyarakat terasing, sehingga pada 1973 mereka dibuatkan perkampungan, yakni Dusun Aik Abik. Lalu, awal 1980-an dibuatkan Dusun Pejem  ”.

Sementara skema Perhutanan Sosial [PS] dengan salah satu tujuannya mengembalikan hutan adat, yang dicanangkan pemerintahan SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] hingga pemerintahan Jokowi [Joko Widodo] belum berjalan optimal. Termasuk, belum menyentuh ruang hidup Suku Mapur di Pulau Bangka.  Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, menyatakan perjuangan Suku Mapur maupun masyarakat atau komunitas adat lainnya di Indonesia, bukan hanya dikarenakan kurangnya kepedulian pemerintah dan para pelaku usaha. Juga, rendahnya dukungan masyarakat di luar komunitas adat.

   Dalam kasus Suku Mapur, saya menilai ada penggambaran negatif terhadap mereka. Jadi, ketika mereka berjuang mempertahankan wilayah adatnya, minim sekali dukungan dari luar. Mungkin, dukungan hanya dari organisasi nonpemerintah dan pegiat budaya. Dukungan dari kampus, seperti dosen dan mahasiswa, mungkin tidak terlalu besar  ”,  Ujar SiDin Fitri R Harahap dengan Plabomora (hebatnya).

Hamparan Perkebunan Sawit di kawasan Suku Mapur


Hutan Adat  kekuatan magis masyarakat Adat,

Karena perusahaan Suku Mapur Bangka  kehilangan Hutan Adat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...