NusaNTaRa.Com
byLaSikUAgaY, S e l a s a, 1 5 M a r e t 2 0 2 2
Suku MAPUR ditengah lahan Sawit yg menggerus HUTAN ADAT mereka |
Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten
Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, saat
ini resah karena di desa mereka tidak ada lagi hutan yang dapat diberlakukan
sebagai hutan adat penopang hidup, kekuatan moral dan semangat
hidup karena sebagian besar menjadi perkebunan sawit dan
penambangan timah. Mereka berharap negara mengembalikan dan mengakui keberadaan hutan adatnya yang
berada di wilayah perbukitan maupun pesisir, ratusan jiwa warga mereka menetap di Dusun
Aik Abik, Dusun Pejem, Dusun Tuing, Dusun Mapur dan lainnya.
Seorang warga Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung
Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung bernama Asih Harmoko (40) terdiam
sejenak saat harus menjelaskan Hutan Mapur yang sudah kritis, “ Tidak ada hutan adat di dusun ini. Semuanya
sudah menjadi padang sawit ”, Ujar SiDin Asih Harmoko dengan Plabomoranya
(hebatnya) yang meringis, awal Februari
2022. “
Dusun ini dulunya dikelilingi hutan dan kelekak [kebun buah seperti
durian, cempedak, dan manggis]. Beragam pohon tumbuh ”,
Ujar SiDin Asih Harmoko, yang sejak 2019 menjadi Ketua Lembaga Adat
Mapur [LAM].
Bagi Asih Harmoko Hutan adat sangat penting dan dekat bagi kaum mereka
sebagaimana yang sering ia dengar
kisahnya dari orang tuanya (Saini Pangilan Aku) dan neneknya (Atuk Amin) sejak kecil
lagi. Melihat keberadaan Hutan Mapur ia
khawatir budaya dan tradisi Suku Mapur hilang karena banyak hutan menjadi
perkebunan sawit, dia bersama tokoh adat Suku Mapur mendirikan Lembaga Adat
Mapur [LAM]. Tujuannya, selain melestarikan budaya dan tradisi Suku Mapur, “ Kami
juga berjuang mendapatkan kembali hutan adat
”, Ujar SiDin Asih Harmoko.
Banyak masyarakat di Dusun Aik Abik menyetujui perluasan
kebun kelapa sawit ketika PT. Gunung
Pelawan Lestari [GPL] melakukan sosialisasi tahun
2006 dan diberi ganti rugi lahan dan menjadi petani sawit Plasmanya, meski ada sebagian yang menolak. “ Tapi,
tidak semua warga Dusun Aik Abik yang kehilangan kebunnya menjadi plasma
perusahaan ”, Ujar SiDin Asih Harmoko. Sehingga tahun 2013-2014 terjadi aksi
penolakan perluasan perkebunan sawit PT.
GPL oleh masyarakat Dusun Aik Abik. Masyarakat menyatakan perusahaan melakukan
perusakan terhadap 11 makam leluhur Suku Mapur, serta merusak hutan adat.
PT. GPL membantah tuduhan tersebut. Perusahaan menyatakan
merawat dan menjaga makam leluhur Suku Mapur. Dijelaskan, PT. GPL memiliki izin
perluasan perkebunan sawit dari Pemerintah Kabupaten Bangka pada 2005, seluas
13.565 ribu hektar, yang berada di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa
Mapur dan Desa Silip yang masuk
Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip.
Dua tahun sebelum aksi penolakan tersebut kata Asih, sejumlah perempuan Suku Mapur
melakukan aksi buka baju [masih menggunakan pakaian dalam], menghadang buldoser
milik perusahaan PT. GPL yang sudah
meratakan ladang padi milik warga Dusun Aik Abik, di kaki Gunung Kiareng
[250-an meter].
Sebelum kehadiran perusahaan sawit, aktivitas penambangan
timah sudah berjalan di kawasan adat Suku Mapur di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan
Riau Silip, sejalan dengan terbitnya Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Pertambangan Umum oleh Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung, diikuti oleh penambangan illegal berlangsung hingga saat ini. “ Awalnya
tidak ada orang Mapur di Dusun Aik Abik yang terlibat penambangan timah, tapi
persoalan ekonomi karena kebun dan hutan sudah habis, ya sejumlah warga
terpaksa menambang ”, Ujar SiDin Asih Harmoko.
Hingga tahun 2006 di Pulau Bangka terdapat 1.021 kolong
atau eks penambangan timah yang menjadi sumber kerusakan lingkungan Suku Mapur , kolong terbanyak di Kabupaten Bangka 413 lubang. Sebanyak 230 kolong berada di
Kecamatan Belinyu dengan luasan 1.006,39 ha, serta di Kec. Riau Silip sebanyak
72 kolong dengan luasan 274,11 ha. Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip
merupakan ruang hidup Suku Mapur. Di
wilayah adat Suku Mapur terdapat tiga sungai besar dan puluhan sungai kecil.
Tiga sungai besarnya : Sungai Tengkalat, Sungai Pejem dan Sungai Mapur yang bermuara ke pesisir utara dan timur Pulau
Bangka yang menghadap Laut China Selatan.
Rumah Adat Suku MAPUR |
Muhammad Syaiful Anwar, peneliti masyarakat adat dan
pengajar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, menjelaskan apa yang
dialami Suku Mapur juga dirasakan masyarakat adat lainnya di Indonesia. Suku Mapur, satu dari ratusan masyarakat adat
di Nusantara, yang kurang terperhatikan
keberadaannya oleh pemerintah sejak
lahirnya Republik Indonesia, “ Tapi rezim Orde Baru yang memulai penguasaan
wilayah adat ”, Ujar SiDin M Syaiful Anwar. “ Ini
dosa Orde Baru, tapi pemerintahan setelah Reformasi 1998 kian melenyapkan
masyarakat adat. Menghadirkan berbagai perusahaan di wilayah yang sebelumnya
hutan atau tanah adat ”, Ujar SiDin M Syaiful Anwar.
Pemindahan masyarakat adat ke permukiman baru, melalui
Proyek Perkampungan Masyarakat Terasing [PKMT]
bertujuan memudahkan pendataan dan pembinaan masyarakat yang dinilai
terasing, yang berakibat masyarakat terjauhkan dari wilayah adatnya dan
dikuasai penambangan. “ Suku Mapur dipandang pemerintahan Orde Baru
bukan sebagai masyarakat adat, tapi sebagai masyarakat terasing, sehingga pada
1973 mereka dibuatkan perkampungan, yakni Dusun Aik Abik. Lalu, awal 1980-an
dibuatkan Dusun Pejem ”.
Sementara skema Perhutanan Sosial [PS] dengan salah satu
tujuannya mengembalikan hutan adat, yang dicanangkan pemerintahan SBY [Susilo
Bambang Yudhoyono] hingga pemerintahan Jokowi [Joko Widodo] belum berjalan
optimal. Termasuk, belum menyentuh ruang hidup Suku Mapur di Pulau Bangka. Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari
Universitas Bangka Belitung, menyatakan perjuangan Suku Mapur maupun masyarakat
atau komunitas adat lainnya di Indonesia, bukan hanya dikarenakan kurangnya
kepedulian pemerintah dan para pelaku usaha. Juga, rendahnya dukungan
masyarakat di luar komunitas adat.
“ Dalam kasus Suku Mapur, saya menilai ada penggambaran negatif terhadap mereka. Jadi, ketika mereka berjuang mempertahankan wilayah adatnya, minim sekali dukungan dari luar. Mungkin, dukungan hanya dari organisasi nonpemerintah dan pegiat budaya. Dukungan dari kampus, seperti dosen dan mahasiswa, mungkin tidak terlalu besar ”, Ujar SiDin Fitri R Harahap dengan Plabomora (hebatnya).
Hamparan Perkebunan Sawit di kawasan Suku Mapur |
Hutan Adat kekuatan magis masyarakat Adat,
Karena perusahaan Suku Mapur Bangka kehilangan Hutan Adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar