NusaNTaRa.Com
byCindABorneO, J u m ‘ a t, 1 8 F e b r u a r i 2 0 2 2
Waduk wadas |
Tubuh telanjang itu mengambang tak bernyawa, terdampar di teluk sebuah bendungan baru dan para tetangga desa menduga lelaki itu
tewas akibat terpeleset ke air dan tenggelam
atau bunuh diri. Peristiwa itu
sudah lama, 30 tahun lalu. Berkunjung ke
Bendungan Saguling, Jawa Barat yang baru
diisi air, saya meliput perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena
dampak pembangunan waduk besar. Lelaki
itu hanya satu dari belasan orang yang tewas setelah waduk diresmikan.
Saya mengingat kembali peristiwa itu ketika dua pekan lalu
Presiden Joko Widodo menyetujui penuntasan pembangunan Waduk Jatigede, juga di
Jawa Barat. Ini momen bersejarah. Setelah tertunda hampir 50 tahun, waduk itu
akan benar-benar terwujud dan menjadi waduk kedua terbesar di Indonesia. Tak hanya itu. Pemerintahan Jokowi juga berencana membangun
49 bendungan besar serupa di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan.
Haruskah kita bangga?
Bendungan dibangun dengan tujuan bagus: mengendalikan
banjir, mengairi sawah demi swasembada pangan dan membangkitkan listrik. Tapi, dalam praktik, tujuan baik tidak sepenuhnya
tercapai, sementara ongkos sosial dan lingkungannya sangat mahal. Umur Waduk Saguling lebih pendek dari
perkiraan awal 50 tahun akibat pelumpuran, sampah dan pencemaran ganas Sungai Citarum yang dibendungnya.
Waduk Gajah Mungkur di Jawa Tengah juga hampir serupa nasibnya.
Di sisi lain, pembangunan waduk memicu gegar budaya bagi
masyarakat sekitar. Petani yang tergusur harus mencari tempat tinggal baru dan
jenis pekerjaan baru. Terjadi perubahan
besar dari budaya darat ke budaya air. Sebagian mereka gamang frustrasi dan berakhir bunuh diri.
Bendungan menggusur petani dan menenggelamkan lahan
pertanian subur yang sering berlawanan dengan motif swasembada pangan itu
sendiri. Petani yang kehilangan lahan
membabat bukit dan gunung, memperbesar ancaman longsor serta mempercepat
pelumpuran waduk. Lalu ada aspek
politik. Waduk besar menggusur puluhan ribu warga di puluhan desa. Dengan
alasan kepentingan publik, warga kurang berdaya ini sering tergusur dengan
ganti rugi tak memadai atau mengalami teror serta intimidasi jika menolak.
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah menenggelamkan hampir 40
desa yang warganya digusur dengan teror, 30 tahun lalu. Sangat mahal ongkos
politiknya, sementara kini diketahui usia waduk hanya separo dari 100 tahun
yang direncanakan. Protes Kedung Ombo merupakan salah satu tonggak besar
perlawanan politik terbuka terhadap pemerintah Orde Baru.
Pembangunan bendungan menjadi tren kuat secara internasional
pada 1980-an, tapi surut sepuluh tahun kemudian. Bendungan besar akhirnya dinilai lebih
merupakan problem ketimbang solusi. Tak
heran jika pengalaman seperti Kedung Ombo dan Dam Narmada di India mengilhami
gerakan menolak bendungan di seluruh dunia. Arundhati Roy, penulis dan feminis
India, salah satu tokoh di garda depan gerakan itu. Bendungan, kata Arundhati,
punya daya rusak seperti bom nuklir. Makin besar, kian merusak.
Jika bendungan ditolak, bagaimana nasib pelestarian sumber
air, swasembada pangan dan energy ?. Pelestarian sumber air dan pengendalian
banjir tak bisa lain kecuali merawat aliran sungai alami serta menjaga keutuhan
hutan di gunung dan perbukitan. Bendungan
besar tak hanya mengubah sungai alami, tapi juga mendorong orang merusak hutan. Kita masih memiliki banyak sumber energi
lain untuk listrik, bahkan jika minyak dan batu bara bisa diabaikan karena
dianggap terlalu kotor: gas, geotermal, angin, matahari. Bahkan pembangunan
bendungan kecil mikro-hidro masih bisa ditoleransi.
Dalam konteks ini, kita bicara skala. Masih relevan konsep
“kecil itu indah” yang diusung ekonom EF Schumacher 40 tahun lalu. Dalam
konteks bendungan, membuat jaringan waduk-waduk kecil yang dirancang secara
matang dengan mempertimbangkan berbagai aspek akan lebih bermanfaat ketimbang
bendungan raksasa. Risikonya juga lebih mudah diantisipasi.
Bendungan besar cenderung merangsang pertanian skala besar
yang menggusur petani. Swasembada pangan yang berkelanjutan mustahil dicapai
tanpa pemberdayaan dan penguatan petani baik dalam aspek manajemen maupun
pemanfaatan sains dan teknologi.
Jika kita berpikir membangun pertanian membutuhkan banyak air, sebaiknya belajar dari petani Israel yang bertani di gurun pasir menggunakan sistem irigasi tetes atau drip-system. Mereka berhasil mengekspor bunga dan buah ke Eropa. (dr.FB.FARID GABAN, Geotimes, 31 Agustus 2015)
Masyarakat Wadas tak setuju proyek batu Andesit |
Bendungan untuk memajukan pertanian,
Wadas kasus masyarakat terkait Bendungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar