NusanTaRa.Com
byLaSikUAgaY, 02/08/2019
Tamu itu datang dari daratan tenggara, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, orang-orang di Pulau Ambo memanggil mereka orang ‘ Butung ’ sehingga Linus mengatkan bahwa Rawai yang dia gunakan sekarang dibori nama ” rawe butung “, bertahun kemudian Nelayan Mangihang (nama local Ikan Hiu) menghilang ketempat yang lebih menghasilkan dan kurang porsaingannya.
Di sini pangan utama sulit karena harus dipasok dari daratan Sulawesi yang melintasi Selat Makassar selama 6-8 jam. Hasil laut jadi sendi utama kehidupan di Pulau Ambo seperti Sirip Ikan Hiu atau ikan lain yang kemudian di jual di Daratan Sulawesi yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “ Orang di sini tidak makan (hiu). Tapi kalau ada pembeli, ya otomatis kita tangkap ”, Ujar SiDin Saiful Nelayan Hiu generasi ko dua.
Suku-suku di Nusantara seperti Bajau, Buton, Mandar, Bugis Makassar dan Madura menjadi pemangku kebudayaan maritim. Namun, belum ada bukti pasti, kapan awal mula orang-orang nusantara mulai memancing hiu. “ Menurut saya, penangkapan hiu (di Indonesia) karena pengaruh pasar dan konsumsi global dari Cina, yang suka mengonsumsi sup-sup, yang bahannya dari sirip hiu. Kemudian berkembang pada pamanfaatan minyak dan hati ”, Ujar SiDin Tasrifin Tarahan antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu (24/7/2019).
Rustan mantan nelayan Mangihang (Hiu) Generasi portama, kini tinggal bersama lima anaknya dan sang isteri. Ia lupa usianya apakah 60 tahun atau mungkin saja 70 tahun di masa tuanya hari ini, ia tak lagi melaut seperti saat dia masih berusia 20 tahun. “ Dulu itu saya pernah keliling ke Palu, terus ke Makassar, pakai kapal sendiri ”, dan “ Kalau pancing mangihang itu, butuh tenaga. Saya tidak sanggup lagi. Sudah tua ”, Ujar SiDin dengan gaya Plabomoranya (hebat). Tahun 1970, Rustam mulai mancing mangihang bersama kawannya (alm.) Subaer dan berganti dengan Linus sampai tahun 2000-an.
Sebelumnya menggunakan rawai dangkal, Rustam awalnya pemancing ikan tongkol dan sunu gunting hasil tangkapnya termasuk sirip Hiu ia jual ke Makassar secara langsung atau via pedagang perantara. “ Saya biasanya bawa (sirip hiu) di Pulau Barrang Lompo (Kepulauan Sangkarrang, Makassar) ada orang Cina itu langgananku ”, Ujarnya laji dengan semangat dengan mata berbinar-binar.
Permintaan pasar awalnya di Pulau Ambo hanya sebatas sirip, belasan tahun kemudian pesanan bertambah perasan minyak, daging dan hati hiu. Rustam dan kawannya hanya dapat melaut tak melebihi 41 mil yaitu di laut dangkal menanti hiu yang hidup di perairan dangkal menggasak umpannya berukuran 3 hingga 7 meter. “ Kayak begitu perutnya, ada lebih besar lagi ”, sahutnya sambil menunjuk drum besi, “ Wededeh, besar sekali. Siripnya saja digantung di bawah (tiang kolong, tinggi sekitar 130 cm) rumah sampai ke tanah ”, Ujar SiDin.
byLaSikUAgaY, 02/08/2019
Penangkapan
Hiu di Pulau Ambo, sudah ada sejak lama dan sudah generasi kedua sekarang
ini, seiring waktu, jumlah generasi
pertama tinggal sedikit. Kini, mereka berusia lanjut dan tak lagi menangkap hiu
secara aktip. Kisah Linus, 42 seorang
pelintas dua generasi pemancing hiu di Pulau Ambo, mulanya ia hanya nebeng dan sekarang ia beroperasi mandiri bersama anggotanya. Pulau Ambo, masuk di kecamatan Balabalakang,
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat—sebelumnya Sulawesi Selatan.
Umumnya pria di sini berprofesi nelayan
mulai penangkap ikan kerapu hingga ikan Hiu,
berkapal kecil atau besar.
Nelayan
di Pulau Ambo terkenal sebagai pemburu Hiu selain ikan tongkol dan kerapu di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) 713 sejak tahun 1970 saat ini masuk pada generasi
kedua. Berbagai jenis hiu yang ditangkap
seperti Hiu batu atau hiu karang black tip (Carcharhinus melanopterus), hiu tinumbu (Carcharhinus amblyrhynchoides)
atau graceful shark, hiu mangali (Galeocerdo cuvier) adalah hiu macan, dan hiu
pari (Rhynchobatus australiae). Hiu
marak ditangkap sejak permintaan pasar
terutaman ekspor ke Cina meningkat untuk
bahan pembuatan sup, sirip, daging, hati dan minyak hiu. BPSPL Makassar
mencatat, 2.020 hiu—tanpa perlindungan—didaratkan sepanjang tahun 2018.
Siapa generasi pertama ?, Mereka adalah pengguna alat pancing dangkal (kedalaman 150 meter). Kelompok ini beroperasi sejak tahun 1970-an hingga 2004. Alat itu, oleh warga Ambo disebut ‘ rawe tombak ’ (Rawai dangkal). mereka menekuni profesi ini secara otodidak tanpa ada yang mengajarkan, prinsipnya bahwa mereka butuh uang dan memancing tersebut dapat memenuhinya.
Siapa generasi pertama ?, Mereka adalah pengguna alat pancing dangkal (kedalaman 150 meter). Kelompok ini beroperasi sejak tahun 1970-an hingga 2004. Alat itu, oleh warga Ambo disebut ‘ rawe tombak ’ (Rawai dangkal). mereka menekuni profesi ini secara otodidak tanpa ada yang mengajarkan, prinsipnya bahwa mereka butuh uang dan memancing tersebut dapat memenuhinya.
Generasi
kedua ?, Generasi ini dikenal sebagai pemakai ‘ rawe butung ’ atau long lines,
Generasi kedua inilah yang hingga hari ini terus beroperasi di wilayah Pulau
Ambo Kabupaten Mamuju. Wilayah tangkap
generasi pertama, hanya di sekitar pulau, di perairan dangkal, yang berjarak 14
mil. Sementara sekarang Generasi kedua mereka mengarungi laut lebih jauh dengan
hasil lebih menjanjikan bagi kehidupan, mereka
mengarungi Selat Makassar dengan jarak tempuh 41 mil, sebelum membentangkan
rawai dan genersi pelopor inilah
yang mengajarkan penerusnya, macam
Linus.
Penggunaan Rawai Dangkal sejak tahun 2004 mulai berkurang atau ditinggalkan seiring semakin berkuragnya Generasi pertama. Karna saat itu mereka mulai kedatangan tamu istimewa lebih berhasil dalam penangkapan dan dialah yang telah mengajarkan mereka dalam penerapan penggunaan Rawai Panjang. “ Orang ini dulu menangkap (hiu) juga di sekitar Pulau Ambo. Karena sukses kita lihat, kita minta ajar di mereka ”, Ujar SiDin Linus.
Penggunaan Rawai Dangkal sejak tahun 2004 mulai berkurang atau ditinggalkan seiring semakin berkuragnya Generasi pertama. Karna saat itu mereka mulai kedatangan tamu istimewa lebih berhasil dalam penangkapan dan dialah yang telah mengajarkan mereka dalam penerapan penggunaan Rawai Panjang. “ Orang ini dulu menangkap (hiu) juga di sekitar Pulau Ambo. Karena sukses kita lihat, kita minta ajar di mereka ”, Ujar SiDin Linus.
Tamu itu datang dari daratan tenggara, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, orang-orang di Pulau Ambo memanggil mereka orang ‘ Butung ’ sehingga Linus mengatkan bahwa Rawai yang dia gunakan sekarang dibori nama ” rawe butung “, bertahun kemudian Nelayan Mangihang (nama local Ikan Hiu) menghilang ketempat yang lebih menghasilkan dan kurang porsaingannya.
Perburuan
Hiu menjadi komoditas utama di Pulau Ambo, mengalahkan ikan tongkol dan kerapu
merah bahkan tangkapan Udang Lobster.
Berkat hiu pula, puluhan keluarga nelayan Pulau Ambo kodong dapat
hidupkan anak-anaknya, melanjutkan sekolah, rumah terisi perabot, naik haji dan
remaja tidak jadi pengangguran. Jangan
heran bila di Pulau Ambo banyak ditemukan meja terbuat dari bamboo di depan
rumah karena digunakan istri dan anak nelayan untuk menjemur Sirip Hiu.
Kisah sejarah Pulau Ambo, menurut satu kisah nelayan bahwa pulau ini awalnya ditemukan para pencari suaka dari P Sulawesi yang kabur dari pencarian para penjajah Belanda dan Nippon (Jopang) yang bersembunyi disini. Pulau seluas 10,6 hektare ini, dulunya sempat direbut suku Bajau, tetapi dihalang para nenek (To matua) yang juga turut menetap disini dan semakin hari populasi semakin bertambah.
Kisah sejarah Pulau Ambo, menurut satu kisah nelayan bahwa pulau ini awalnya ditemukan para pencari suaka dari P Sulawesi yang kabur dari pencarian para penjajah Belanda dan Nippon (Jopang) yang bersembunyi disini. Pulau seluas 10,6 hektare ini, dulunya sempat direbut suku Bajau, tetapi dihalang para nenek (To matua) yang juga turut menetap disini dan semakin hari populasi semakin bertambah.
Di sini pangan utama sulit karena harus dipasok dari daratan Sulawesi yang melintasi Selat Makassar selama 6-8 jam. Hasil laut jadi sendi utama kehidupan di Pulau Ambo seperti Sirip Ikan Hiu atau ikan lain yang kemudian di jual di Daratan Sulawesi yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “ Orang di sini tidak makan (hiu). Tapi kalau ada pembeli, ya otomatis kita tangkap ”, Ujar SiDin Saiful Nelayan Hiu generasi ko dua.
Suku-suku di Nusantara seperti Bajau, Buton, Mandar, Bugis Makassar dan Madura menjadi pemangku kebudayaan maritim. Namun, belum ada bukti pasti, kapan awal mula orang-orang nusantara mulai memancing hiu. “ Menurut saya, penangkapan hiu (di Indonesia) karena pengaruh pasar dan konsumsi global dari Cina, yang suka mengonsumsi sup-sup, yang bahannya dari sirip hiu. Kemudian berkembang pada pamanfaatan minyak dan hati ”, Ujar SiDin Tasrifin Tarahan antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu (24/7/2019).
Rustan mantan nelayan Mangihang (Hiu) Generasi portama, kini tinggal bersama lima anaknya dan sang isteri. Ia lupa usianya apakah 60 tahun atau mungkin saja 70 tahun di masa tuanya hari ini, ia tak lagi melaut seperti saat dia masih berusia 20 tahun. “ Dulu itu saya pernah keliling ke Palu, terus ke Makassar, pakai kapal sendiri ”, dan “ Kalau pancing mangihang itu, butuh tenaga. Saya tidak sanggup lagi. Sudah tua ”, Ujar SiDin dengan gaya Plabomoranya (hebat). Tahun 1970, Rustam mulai mancing mangihang bersama kawannya (alm.) Subaer dan berganti dengan Linus sampai tahun 2000-an.
Sebelumnya menggunakan rawai dangkal, Rustam awalnya pemancing ikan tongkol dan sunu gunting hasil tangkapnya termasuk sirip Hiu ia jual ke Makassar secara langsung atau via pedagang perantara. “ Saya biasanya bawa (sirip hiu) di Pulau Barrang Lompo (Kepulauan Sangkarrang, Makassar) ada orang Cina itu langgananku ”, Ujarnya laji dengan semangat dengan mata berbinar-binar.
Permintaan pasar awalnya di Pulau Ambo hanya sebatas sirip, belasan tahun kemudian pesanan bertambah perasan minyak, daging dan hati hiu. Rustam dan kawannya hanya dapat melaut tak melebihi 41 mil yaitu di laut dangkal menanti hiu yang hidup di perairan dangkal menggasak umpannya berukuran 3 hingga 7 meter. “ Kayak begitu perutnya, ada lebih besar lagi ”, sahutnya sambil menunjuk drum besi, “ Wededeh, besar sekali. Siripnya saja digantung di bawah (tiang kolong, tinggi sekitar 130 cm) rumah sampai ke tanah ”, Ujar SiDin.
Begitu
besarnya sehingga merepotkan membawanya, jadi
“ Aih, tidak dibawa kita. Jadi kalau sudah kita patto’ (jerat)
kepalanya, langsung dipotong siripnya. Terus dibuang badannya. Maka itu mi juga
dimakan sama teman-temannya. Tidak lama itu, pasti banyak mi mangihang ”,
Ujarnya menerangkan. Alat pancing yang
digunakan Rustam terbuat dari tali tambang dan memiliki satu mata pancing yang
cukup besar dengan Panjang talinya bisa capai 100 meter ke bawah
laut dengan jerigen yang dipasang di permukaan serta Umpan yang ia gunakan ikan tongkol. Kala nasib baik Pak Rustam dapat membawa
sampai 35 ekor ikan Hiu seperti Hiu batu, hiu tinumbu, hiu mangali, kadang juga
hiu pari dan kala sial tak seekorpun didapat.
Hiu batu (Carcharhinus melanopterus) lebih populer bernama hiu karang
black tip. Sedang hiu tinumbu (Carcharhinus amblyrhynchoides) atau graceful
shark merupakan predator yang dikenal lemah gemulai. Hiu mangali (Galeocerdo
cuvier) adalah hiu macan. Dan hiu pari (Rhynchobatus australiae), ikan pari
yang mirip hiu.
Di masa tuanya, Rustam masih memancing ikan dalam skala kecil borsama Sang putra, Wandi (18), tak perlu jauh kata Rustam paling sekitar 7 mil dari pulau Ambo. Sebelum ayam berkokok mereka keluar dari rumah menuju kapalnya yang ia sandarkan dekat pelabuhan Pulau Ambo, menjelang Maghrib, Rustam baru kembali ke darat. Membawa beragam jenis ikan, “ Ikan batu seperti sunu gunting, kadang juga tongkol ”, Ujarnya terkekeh. Sambil menimpali Toa mi Ramangnga.
Di masa tuanya, Rustam masih memancing ikan dalam skala kecil borsama Sang putra, Wandi (18), tak perlu jauh kata Rustam paling sekitar 7 mil dari pulau Ambo. Sebelum ayam berkokok mereka keluar dari rumah menuju kapalnya yang ia sandarkan dekat pelabuhan Pulau Ambo, menjelang Maghrib, Rustam baru kembali ke darat. Membawa beragam jenis ikan, “ Ikan batu seperti sunu gunting, kadang juga tongkol ”, Ujarnya terkekeh. Sambil menimpali Toa mi Ramangnga.
ReffMongabay5/8/19
Linus Nelayan HIU di Pulau Ambo Mandar |
Biru
laut karena Biru Langit,
Warga Pulau Ambo pemburu Hiu yang ulung di laut.
Warga Pulau Ambo pemburu Hiu yang ulung di laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar