NusanTaRa.Com
byJoneDPringgoNDandI, 28/07/2019
byJoneDPringgoNDandI, 28/07/2019
“ Salamakki Antama’ Ri Lalang Embaya Rambang
Seppanna I Amma “, bahasa Indonesianya Selamat datang di kawasan tempat kecil
Amma, demikianlah sebait kata yang tertulis dalam bahasa Konjo baik dalam
tulisan Latin maupun dalam aksara Lontara pada sebuah papan hitam di pintu
gerbang ketika kita memasuki perkampungan adat suku Kajang di Desa Tana toa
Kec. Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Bahasa
Konjo merupakan satu bahasa yang umumnya digunakan masyarakat yang bermukim di
wilayah Timur Kabupaten Bulukumba yang meliputi
Kecamatan Kajang, Herlang, Bonto Tiro, dan Bonto Bahari. Bulukumba sejak dahulu terkenal dengan masyarakat
baharinya yang dengan gagah beraninya mengarungi lautan Nusantara dan daerah
ini terkenal akan Perahu Phinisnya yang tahun 1980an pernah teruji melayari
Eropah Indonesia dan Indonesia Vancouper Canada.
Sebagai
mana kampung adat yang ada di Nusantara Kampung adat Suku Kajang memiliki
kekhasan tersendiri dengan berbagai keunikan dan tradisi tersendiri, seperti
ketika memasuki kawasan kampung adat ini pengunjung diharuskan untuk melepas
alas kaki dan dianjurkan pula untuk memakai pakaian berwarna hitam serta tak
diperkenankan menggunakan kendaraan apapun.
Ktika pengunjung yang datang tidak mengenakan pakaian hitam, di samping
gerbang disediakan pakaian adat yang bisa disewa oleh pengunjung dengan harga Rp 100 ribu untuk 3 pakaian adat
yang bisa kita pakai.
Begitu
pengunjung melewati gerbang suasana asri dengan kerindangan pepohonan menghiasi
perjalanan berhawa sejuk dan tenang, kita akan berpapasan dengan hewan ternak
seperti sapi dan kuda lalu lalang serta warga suku kajang tanpa menggunakan
alas kaki di jalan umum kawasan adat.
Didepan Pintu gerbang tadi terdapat sekolah tapi disini pelajar tidak
menggunakan pakaian seragam Putih merah melainkan Putih Hitam.
Masyarakat
Suku Kajang dipimpin AmmaToa dalam pemerintahannya dibantu 26 Galla atau menteri dengan
berpedoman pada sembilan pasal yang dijadikan sistem pemerintahan di Suku
Kajang. " Cara hidup kita di sini diatur oleh Pasang.
Pasang semacam petuah yang tidak tertulis yang disampaikan secara lisan dari
leluhur. Pasang meliput beberapa unsur dalam kehidupan baik mengatur bidang
kelangsungan hidup dan lain-lain ", Ujar SiDin Sultan Kepala Desa Tana
Towa. Sultan pun mengatakan, adanya
Ammatoa bertugas untuk mendoakan manusia dan seisi alam agar jauh dari bahaya.
Karena masyarakat Suku Kajang meyakini daerah dimana mereka tinggal sekarang,
Tana Towa, adalah tanah tertua yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan.
Bahasa
kotor dalam kawan kampung adat ini tidak diperkanan sama sekali, " Bahasa kotor dilarang. Kalau ada, didenda
beli pakaian dua juta ", Ujar SiDin
Amma Toa. Suku ini juga mempunyai karma
tersendiri tantang Hutan adat yang disebut “ Borong Karama “, Hutan tersebut dipercaya memiliki kekuatan
magis yang berdampak pada keberlangsungan hidup suku mereka. Siapapun tidak boleh menebang pohon sembarangan
di dalam kawasan adat bagi siapa yang melakukannya maka akan mendapat sangsi denda
sebanyak Rp 12 juta kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan itupun ia harus
menanam pohon terlebih dahulu.
Memasuki
kawasan kampung adat ini, anda akan berkessimpulan bahwa kawasan ini menolak
modernisasi karena didalanya anda tidak menemukan Pemakai selipar, memasak
menggunakan kayu, tidak ada handphone, dan tidak ada listrik, karena aturan
adat kawasan ini memang melarang sarana modern.
" Andaki modereng ", Ujar SiDin Amma Toa yang artinya,
" Kami tidak ingin modern " karena semua itu telah menjadi tradisi
turun-temurun I kawasan suku Kajang ini.
Tentang
larangan memakai alas kaki, seorang
pemuda Kajang berbusana serba Hitam berkata, " I
nai mami langhargaii buttayya punna talia bangsatannimae " yang bermakna “ siapa lagi yang akan menghargai tanah
tersebut jika bukan mereka “. Masyarakat Suku Kajang dikenal dengan
keterampilannya menenun yang menjadi sumber pendapatan mereka, Seperti Juma,
perempuan penenun di kawasan adat. Warna
sarungnya hitam, dengan sedikit motif berwarna biru tua. Satu sarung dibandrol
dengan harga dari Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Tergantung dari kualitas dan
kerumitan dalam proses pembuatannya.
Warna hitam sepertinya memang sudah
menjadi simbol masyarakat Desa Tana Towa yang didiami oleh Suku Kajang,
sehingga hampir semua pakaian mereka mulai dari Sarung, Baju, hingga penutup
kepala berwarna hitam. Hitam, bagi mereka
merupakan filosofi hidup, yang bermakna dari alam gelapnya rahim di kandungan
ibu kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal.
Warna
Magis Warna Hitam,
Masyarakat
Kajang hidup dekat dengan Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar