NusanTaRa.Com
byBakkaranGNunukaN, 29/06/2019
byBakkaranGNunukaN, 29/06/2019
Perkembangan suatu Negara dari Negara
Pertanian menuju non-Pertanian menjadi
tuntunan kemajuan untuk mewujutkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, seiring perubahan tersebut akan berakibat
penurunan jumlah angka kerja atau Petani.
Demikian satu poin yang diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kata
sambutannya membuka acara Jakarta Food
Summit tahun 2018, beliau khawatir mengenai penurunan jumlah petani yang dianggap
dapat mengganggu produksi pangan kita sementara sektor non pertanian belum memberi arti bagi
kemajuan.
Kontribusi pekerja sektor pertanian memang seharusnya berkurang seiring dengan berkurangnya kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Jika tidak, tenaga kerja sektor pertanian akan berlebih dan menimbulkan masalah seperti produktivitas yang rendah, upah yang rendah serta kemiskinan. Meski demikian, transformasi pekerja sektor pertanian ke sektor non-pertanian dengan upah yang relatip tinggi tidak selalu terjadi secara langsung, proses awalnya sebagian pekerja pertanian perdesaan berpindah terlebih dahulu ke sektor non-pertanian perdesaan seperti pengembangan sektor industri dan jasa di perdesaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 35,9 juta orang atau sekitar 30% dari jumlah total pekerja pada tahun 2017 menjadi 35,7 juta atau sekitar 29% dari total pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Dibanding negara tetangga, laju penurunan tenaga kerja pertanian di Indonesia hanya 1,6% per tahun dalam periode 1990 hingga 2017. Di Malaysia, penurunannya lebih cepat yaitu 2.3% per tahun; sementara di Thailand dan Vietnam 1,7%.
Namun, penurunan proporsi petani bukanlah hal yang mengejutkan bagi negara yang ekonominya sedang bertumbuh. Data menunjukkan bahwa proporsi pekerja sektor pertanian di Malaysia jauh lebih kecil yaitu hanya 11%. Proporsi ini bahkan di bawah 2% untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
Kontribusi pekerja sektor pertanian memang seharusnya berkurang seiring dengan berkurangnya kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Jika tidak, tenaga kerja sektor pertanian akan berlebih dan menimbulkan masalah seperti produktivitas yang rendah, upah yang rendah serta kemiskinan. Meski demikian, transformasi pekerja sektor pertanian ke sektor non-pertanian dengan upah yang relatip tinggi tidak selalu terjadi secara langsung, proses awalnya sebagian pekerja pertanian perdesaan berpindah terlebih dahulu ke sektor non-pertanian perdesaan seperti pengembangan sektor industri dan jasa di perdesaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 35,9 juta orang atau sekitar 30% dari jumlah total pekerja pada tahun 2017 menjadi 35,7 juta atau sekitar 29% dari total pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Dibanding negara tetangga, laju penurunan tenaga kerja pertanian di Indonesia hanya 1,6% per tahun dalam periode 1990 hingga 2017. Di Malaysia, penurunannya lebih cepat yaitu 2.3% per tahun; sementara di Thailand dan Vietnam 1,7%.
Namun, penurunan proporsi petani bukanlah hal yang mengejutkan bagi negara yang ekonominya sedang bertumbuh. Data menunjukkan bahwa proporsi pekerja sektor pertanian di Malaysia jauh lebih kecil yaitu hanya 11%. Proporsi ini bahkan di bawah 2% untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
Lambatnya penurunan jumlah petani yang
diharapkan terserap oleh sektor Non-Pertanian menandakan belum optimalnya keuntungan yang diperoleh dari transisi sektor pertanian
ke sektor industri atau jasa, fenomena
transisi ini lazim terjadi pada negara-negara yang ekonominya sedang
berkembang. Perlu diketahui bahwa
kontribusi sektor pertanian di Indonesia menurun sebesar 74% tahun 1967 hingga
2014, namun dalam kurun waktu yang sama kontribusi tenaga
kerja sektor pertanian hanya turun 50% yang bermakna penurunan hasil pertanian tidak diiringi
dengan penurunan jumlah petani yang seimbang.
Salah satu alasan mengapa perpindahan petani ke sektor non-pertanian di Indonesia begitu lambat dibanding dengan negara-negara Asia yang lain adalah rendahnya tingkat pendidikan sehingga untuk mempercepat perpindahan tenaga kerja ini diperlukaan penegakan wajib belajar 12 tahun di daerah perdesaan dan Perbatasan. Mekanisasi pada sistem pertanian perlu dipacu untuk menurunkan ketergantungan terhadap tenaga kerja manusia dipertanian.
BPS mencatat penurunan kemiskinan yang nyata dari tahun ke tahun, bahkan tingkat kemiskinan untuk pertama kalinya menyentuh di bawah 10% pada 2018, namun menambah tingkat kesenjangan antara desa dan kota yang semakin meningkat yaitu tahun 2018. Tingkat kemiskinan di desa sekitar 13,2% sementara di kota hanya 7%, Selain itu proporsi orang miskin yang tinggal di desa adalah 60% : lebih banyak dibanding orang miskin yang tinggal di kota dan 53 % orang miskin bekerja disektor Pertanian.
Sebenarnya ini merupakan gejala umum di negara berkembang di mana tenaga kerja relatif berlimpah dibanding tanah dan modal. Ekonom William Arthur Lewis (1954) dalam teorinya tentang pembangunan ekonomi mengatakan bahwa kelebihan tenaga kerja tersebut seharusnya pindah atau terserap di sektor lain sehingga memicu pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Pengembangan industri dan jasa di perdesaan membuka peluang bagi pekerja pertanian perdesaan untuk memiliki pekerjaan sampingan yang juga dapat mengurangi dampak negatif dari mekanisasi pertanian. Pengalaman di sektor non-pertanian perdesaan ini mempermudah proses perpindahan para pekerja ke sektor non-pertanian. Kelebihan tenaga kerja pada sektor pertanian perdesaan akan terus diserap di sektor non-pertanian sampai pada titik di mana tidak ada lagi kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian. Kondisi ini sudah terjadi di negara-negara maju : pekerja pertaniannya sedikit namun sangat produktif.
Salah satu alasan mengapa perpindahan petani ke sektor non-pertanian di Indonesia begitu lambat dibanding dengan negara-negara Asia yang lain adalah rendahnya tingkat pendidikan sehingga untuk mempercepat perpindahan tenaga kerja ini diperlukaan penegakan wajib belajar 12 tahun di daerah perdesaan dan Perbatasan. Mekanisasi pada sistem pertanian perlu dipacu untuk menurunkan ketergantungan terhadap tenaga kerja manusia dipertanian.
BPS mencatat penurunan kemiskinan yang nyata dari tahun ke tahun, bahkan tingkat kemiskinan untuk pertama kalinya menyentuh di bawah 10% pada 2018, namun menambah tingkat kesenjangan antara desa dan kota yang semakin meningkat yaitu tahun 2018. Tingkat kemiskinan di desa sekitar 13,2% sementara di kota hanya 7%, Selain itu proporsi orang miskin yang tinggal di desa adalah 60% : lebih banyak dibanding orang miskin yang tinggal di kota dan 53 % orang miskin bekerja disektor Pertanian.
Sebenarnya ini merupakan gejala umum di negara berkembang di mana tenaga kerja relatif berlimpah dibanding tanah dan modal. Ekonom William Arthur Lewis (1954) dalam teorinya tentang pembangunan ekonomi mengatakan bahwa kelebihan tenaga kerja tersebut seharusnya pindah atau terserap di sektor lain sehingga memicu pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Pengembangan industri dan jasa di perdesaan membuka peluang bagi pekerja pertanian perdesaan untuk memiliki pekerjaan sampingan yang juga dapat mengurangi dampak negatif dari mekanisasi pertanian. Pengalaman di sektor non-pertanian perdesaan ini mempermudah proses perpindahan para pekerja ke sektor non-pertanian. Kelebihan tenaga kerja pada sektor pertanian perdesaan akan terus diserap di sektor non-pertanian sampai pada titik di mana tidak ada lagi kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian. Kondisi ini sudah terjadi di negara-negara maju : pekerja pertaniannya sedikit namun sangat produktif.
Jadi petani hidup kurang
bermutu,
Pekerja Pertanian ke Industri/Jasa akan lebih maju.
Pekerja Pertanian ke Industri/Jasa akan lebih maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar