NusanTaRa.Com
bySiradjuddiNAzir&HasanIHamzaH, 8/2/2018
Hasani Hamzah, seniman multi-talenta (penulis, penyair, pemusik, sutradara) yang pernah jumpa di Sapeken (Jawa Timur) akhir 2017 lalu, ia merasa penasaran dengan statemen saya dalam artikel “ Dewa Rau’ (Amun Ra’) Mesir adalah Dewanya Orang Bajo ? ”, Statemen dimaksud adalah frasa “.... betapa Tuhan menciptakan bumi ini hanya untuk dua bangsa : SAMA dan BAGAI ”.
Tengoklah kehidupan orang Bajo klasik, Mereka tinggal di rumah sederhana diatas laut, yang bergoyang bagai ayunan manakala diterjang gelombang atau
diterpa badai. Banyak rumah yang
pintunya tidak berdaun, karena fungsi
daun pintu untuk mencegah masuknya
pencuri bgi mereka tidak perlu karena tidak ada isi rumah mereka yang perlu
dicuri. Kalau sudah menjual hasil
tangkapannya, biasanya uangnya dibelanjakan sampai ludes dibelikan bahan makanan dan barang-barang yang
bahkan sebetulnya tidak dia butuhkan atau belum mendesak. Mereka tidak memikirkan tabungan karena setiap hari laut menyediakan ikan yang
siap tangkap dan langsung bisa jadi uang. Mereka sangat menikmati kondisi hidup
seperti itu, “ FABI
AYYI ALA IRABBI KUMA TUKADZDZIBAN “ Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau
dustakan ?.
Yang menjadi pertanyaan : mengapa begitu banyak nikmat dan rahmat Allah
yang telah diberikan kepada orang Bajo, tetapi mereka tetap terpuruk di bawah
garis kemiskinan ?.
Hidup dilaut berkawan Ombak dan Badai,
Suku BAJO penghuni lautan yang berjiwa Bahari.
bySiradjuddiNAzir&HasanIHamzaH, 8/2/2018
Hasani Hamzah, seniman multi-talenta (penulis, penyair, pemusik, sutradara) yang pernah jumpa di Sapeken (Jawa Timur) akhir 2017 lalu, ia merasa penasaran dengan statemen saya dalam artikel “ Dewa Rau’ (Amun Ra’) Mesir adalah Dewanya Orang Bajo ? ”, Statemen dimaksud adalah frasa “.... betapa Tuhan menciptakan bumi ini hanya untuk dua bangsa : SAMA dan BAGAI ”.
Syahdan Allah SWT
menciptakan bumi dan semua isinya ini, hanya untuk dua kelompok manusia yaitu SAMA (orang Bajo) dan BAGAI (bukan Bajo), setidaknya demikian gambaran stereotip yang tercetak dalam setiap
benak orang Bajo akan kehidupan di muka bumi ini. Batasan pengertian yang saya maksud bahwa, yang dimaksud SAMA ialah
mereka yang hidup di laut dengan karakter spesifik SAMA sedangkan BAGAI mereka
yang hidup di darat dengan segala atributnya selaku BAGAI. Batasan ini
menyangkut territorial dan keduanya bukanlah
sebagai kelompok etnis melainkan
komunitas atau kalau seorang Bajo sudah pindah ke darat maka
ia tergolong ke dalam kelompok BAGAI sedangkan seorang Bagai yang pindah kehidupan
(mata-pencaharian) ke laut
maka ia tergolong ke dalam
kelompok SAMA.
Bahwa orang BAJO merupakan makhluk istimewa ciptaan Allah, bukan sekedar retorika tetapi kenyataannya memang demikian adanya ;
Pertama, bahwa Tuhan menciptakan bumi bagian lautan tempat mereka menetap jauh
lebih luas dibanding bagian daratan sedangkan penghuninya berbanding terbalik:
penduduk daratan jauh lebih banyak dibanding mereka yang bermukim di laut.
Kedua, pemerintah dan atau pemangku adat setempat membatasi
kepemilikan lahan untuk BAGAI, baik untuk keperluan perumahan, kebun, dsb dibatasi dan dipersyaratkan memiliki sertifikat dan
membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan),
Penggunaan lahan harus sesuai kepemilikannya bila menggarap di luar kepemilikannya tentunya akan
menghadapi amukan massa sebelum diatasi aparat penegak hukum. Tidak demikian keadaannya kaum SAMA yang menetap di
laut, mereka bebas menebang pohon bakau dan membangun rumah tanpa
batasan luas lahan. Lahan usahanya sebagai nelayan tidak dibatasi,
bebas menangkap ikan melewati batas desa, batas
kabupaten, dan batas propinsi (kecuali batas negara), untuk semua itu mereka
tak perlu membuat sertifikat dan membayar PBB alias gratis tis tis.
Ketiga, ketika BAGAI
melaksanakan mata-pencaharian dia perlu
menanam bibit, membutuhkan modal awal yang relatif
besar, butuh pemupukan dan
pemeliharaan, disiram secara
berkala, ditunggu berbulan bahkan bertahun
untuk tiba pada musim panen, selama
dalam pemeliharaan akan berhadapan dengan hama dan penyakit dan Kebun harus dipagari agar usaha dapat lebih
aman. Sedang SAMA tentunya tidak akan membutuhkan dan dipusingkan itu semua karena Bibit ikan, modal, pemupukan dan
pemeliharaan, penyiraman, tidak perlu
menunggu massa panen, masalah hama penyakit, lahan usaha tidak perlu
dipagari dan sebagainya karena semuanya
menjadi proses alami di laut yang mengikuti sunnatullah.
Keempat, Bagi BAGAI menetap di daratan memiliki aturan
bermasyarakat yang harus diikuti secara
bersama seperti Pekarangan harus dijaga
kebersihannya, tidak boleh buang sampah dan BAB (buang air besar) sembarangan
harus pada WC yang tersedia. Bagi
SAMA yang menetap di laut
tentunya tidak memiliki permasaalahan
seperti itu karena laut yang selalu bergerak bagi mereka bisa menjadi pengatas atas semua itu.
Tetapi .....
Dengan semua privilese yang disediakan Tuhan ini, bangsa
SAMA tetap menjadi kelompok termarginalisasi,
terkebelakang serta semua kondisi inferiority complex yang
menyertainya sejak dulu. Sekitar 10 – 20 tahun lalu di Sulawesi Tenggara
(negeri saya) orang Bajo dianggap warganegara kelas dua, sehingga banyak orang
Bajo yang tidak mau mengaku Bajo, bahkan berlagak Bagai (pababagai).
Saya pernah bercukur di Pasar Mandonga, Kendari. Tukang
cukurnya nanya :
(+) Bapak orang apa?
(–) Saya orang Bajo.
(+) Hah .... tidak mungkin .... (–)
Kenapa?
(+) Putih, ganteng, rambut lurus .... (–) Huh .... jadi orang Bajo harus hitam,
jelek, keriting, begitu ?
Inilah gambaran prototip bangsa SAMA di mata BAGAI.
Hampir semua ilmuwan domestik maupun asing yang melakukan
penelitian tentang berbagai aspek kehidupan bangsa SAMA berakhir dengan kesimpulan “ tidak ada kesimpulan ”, kebanyakan mereka tiba pada konklusi yang
mengambang, sehingga menjadi bahan diskusi berkepanjangan yang pada umumnya tidak
menghasilkan kesepakatan. Tetapi
orang Bajo (SAMA) sendiri tidak
merasakan dampak apa-apa dari hasil penelitian itu, bahkan mereka tidak tahu
bahwa mereka diteliti. Mereka dikategorikan kelompok marginal tetapi mereka justru merasa nyaman dalam
kondisi marginal itu.
Bajo berumah Perahu |
Kalau sudah kenyang, mereka berbaring tanpa baju, Angin masuk dari segala penjuru : pintu, jendela dan lantai (dalagang) angin
laut bebas virus sehingga orang Bajo tak
kan terserang flu. Wah .... rasanya
seperti di surga — menurut gambaran surga di benak mereka. Para peneliti prihatin melihat kondisi
kehidupan seperti ini, di benak para
peneliti : begitu
banyak masalah yang membelit kehidupan mereka, tetapi bagi mereka sendiri hal
itu bukan masalah, bahkan tidak ada masalah sama sekali. Inilah masalahnya.
Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang Bajo berada
pada kondisi keterbatasan dan tersandera
dengan pengertian “ tidak bisa menentukan nasibnya sendiri ”. Mereka
memproduksi ikan sebagai salah satu bahan makanan pokok utama, tetapi mereka tidak bisa menentukan sendiri
harga produksinya, melainkan sangat tergantung pada perilaku pasar (market
behaviour). Sebagai contoh : jika hasil tangkapannya 1 keranjang dibawa ke
tempat pelelangan ikan, harganya bisa mencapai Rp 100 ribu. Jika hasil
tangkapannya 2 keranjang, maka harga otomatis jatuh, menjadi Rp 50 ribu per
keranjang, total Rp 100 ribu juga. Dan jika hasil tangkapannya mencapai 4
keranjang, harga ikan jatuh lebih parah, menjadi Rp 25 ribu per keranjang.
Total, kembali pada angka Rp 100 ribu. Kesimpulannya, peningkatan produksi
tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan. Akibatnya, kehidupan ekonomi
masyarakat nelayan tetap stagnan, tidak pernah beranjak dari bawah garis
kemiskinan.
Kondisi tersebut sebetulnya sebuah anomaly ekonomi yang melenceng
dari logika penalaran normal, karena Pelaku ekonomi nelayan (fishery) tidak
membutuhkan input modal produksi yang besar,
Tuhan telah menyediakan bentangan
alam berupa samudera dengan luas tidak terbatas secara gratis, dalam usaha tidak perlu berurusan hama penyakit ikan dan Peralatan produksi biasanya dapat digunakan
lama hingga ke turunan namun realitanya
mereka tidak dapat berkembang sebagaimana masyarakat BAGAI yang
didaratan. Arinya sebesar apapun
produksi mereka tidak akan mampu peningkatan hidup mereka karena tidak didukung
dengan kekuatan social, ekonomi dan budaya
yang mumpuni , sehingga mereka hanya berpegang pada kemampuan untuk
berproduksi yang mudah di rauf dari laut
tapi mengekonomiskannya dengan baik mereka tak mampu atau tidak terkondisikan
dengan baik.
Tentunya ini menjadi PR bagi kita semua , untuk bagaimana
mengatasi budaya hidup mereka yang sekarang agar menjadi lebih baik yang mampu mendukung kesejahteraan dan taraf
hidup mereka sebagaimana warga Negara RI yang lain. Sehingga hasil produksi mereka mendapat harga
atau nilai yang sebanding dan bagaimana mereka dapat menata kehidupan
mereka kearah yang lebih baik, jika perlu
bagaimana mereka dapat memiliki pemukiman yang tetap namun didukung dengan sumber kehidupan yang tetap
terjaga masih seputar
perikanan.
drLamanFB/SiradjuddinNazirWarga Bajo di KendariHidup dilaut berkawan Ombak dan Badai,
Suku BAJO penghuni lautan yang berjiwa Bahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar