NusaNTaRa.Com byKariTaLa L A, 26 S e p t e m b e r 2020
JoddinG atau Papa Cica, sebagaimana sapaan dari orang-orang di kampungnya sedang duduk di bangku plastik merah, di teras rumahnya entah untuk memperhatikan orang lewat depan rumahnya atau memikirkan pekerjaannya. Tak jauh disamping rumahnya terdapat enam pohon Aren atau Enau (Arenga Pinnatha sp, latinne), empat pohon diantaranya sudah di Sadap dan dua masih muda.
Kala asik Ngopi buatan istri JoddinG saya berkata, " Mau merasakan Ballo legendaris di seantero Luwu. Mau lihat apa yang spesial dengan Ballo Simbuang ", Ujarku, " Di sinilah tempatnya ", Ujar SiDin JoddinG membalas sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang hitam bak berkarat. JoddinG lantas menuang Ballo khas pertama ke gelas, warnanya merah muda yang bersumber dari campuran akar kayu Bajo.
Busanya sedikit berkumpul di permukaan dengan aroma yang tak menyengat bingit, rasanya seperti minuman karbonasi level rendah tapi wow meski hanya dengan segelas kecil saja, kepala dibikin ringan dengan kandungan sensasi bahagia dan melayang. JoddinG bilang, " Ini minuman pengantar tidur " dan “ Minuman untuk bercinta. Obat kuat ? ", dia menyebutnya sambil tertawa namun kunci utamanya juga jangan sampai terlalu borlobihan mengkonsumsinya.
Di beberapa wilayah Sulawesi Selatan bermula dari Toraja, Enrekang, Palopo, Luwu, Seko, Polewali hingga Kajang, Ballo menjadi minuman penting dalam budaya mereka. Pohon aren yang mereka rawat telah menjadi khasanah budaya yang melintasi kelas social, Paling tidak, tetua adat meminum Ballo yang sama dengan masyarakat biasa dan menjadi minuman khas di ritual tertentu atau persyaratan suatu acara.
Disisi lain menurut Pak JoddinG, Ballo membawa problem baru bagi masyarakat, karena banyaknya ditemukan perkelahian antara pemuda di sini disebabkan mereka mabuk karena minum Ballo. Untuk mengatasi ini pemerintah daerah dan Kapolisia menerbitkan peraturan daerah yang membatasi penggunaan Ballo, sehingga menurut pembuat Ballo atau Passari mereka tak jarang di datangi polisi dan jeregen mereka diambil selain datang kepenjaja pada umum.
Passari satu istilah di Luwu yang bermakna seorang yang menyadap tandan buah Enau yang perempuan untuk diambil airnya yang terasa manis kemudian diolah menjadi Ballo yang sedikit memabukkan dengan ramuan tertentu dan disimpan satu atau empat hari baru disugukan. Proses Massari dimulai dengan menemukan mayang wanita kemudian dibersihkan dan dibuatkan tangga bambu ke mayang tersebut, Pangkal mayang dipukul berkali-kali biasanya hingga tiga hari dengan harapan air Enaunya banyak setelah itu pangkal mayang dipotong pas dibagian ujung pangkal buah dan diletakkan jeregen atau bambu penampung tuak.
Didalam jeregen atau Bambu penampung tersebut dimasukkan ramuan tumbuhan alami yang ada di Luwu yang berguna untuk menciptakan aroma yang lebih romantic, rasa yang lebih baik dan dapat bertahan lebih lama. Proses ini berjalan sejak subuh dipasang Passari di Panggalnya dan sore hari diambil dengan tabung yang penuh sekitar lima liter. Menurut pak JoddinG bahwa proses Massari ini diawali dengan kegiatan ritual tertentu seperti membaca mantra dulu dan bakar dupa, agar hasil dan proses berjalan penuh berkah.
JoddinG ketika pertama saya temui di Luwu enggan memberikan curitanya terkait Ballo, dia khawatir kalau-kalau saya adalah bagian dari informan Polisi, dan kelak bisa bawa masalah pada usahanya dan hasil sadapannya. Namun curita ini berbeda dengan di daerah Toraja, karena anggapan negatif atas Ballo sirna. Di sana, Ballo tersaji dalam pelbagai ritual adat, mulai dari kematian, kelahiran, hingga perkawinan. Tua atau muda, kaya maupun miskin, semua suka Ballo.
Disini bila sudah meneguknya, muka mereka memerah dan nafas melempar aroma khas fermentasi nira. Namun jarang ada persinggungan karenanya malah kepala dadi ringan dan malah bikin cerita mengalir kemudian bila mata sudah kian sayup, orang-orang akan mencari tempat merebahkan badan. Kesanku tentang Ballo juga terjadi pada satu malam di tepi sungai Mata Allo Enrekang, orang Enrekang mengenal jenis Ballo Mala Pao dengan busa lebih banyak. Warnanya seputih susu kental, plus bulir-bulir karbonasi yang lebih banyak, kata peneguk Ballo di Enrekang untuk meneguknya harus sedikit-sedikit, bila kebanyakan tenggorokan serasa mau robek.
" Di sekitaran Tinggi Moncong Gowa adalah yang keras. Cukup dua gelas, paginya kepala sudah sandar di batu kali ", Ujar SiDin Anto penikmat Ballo yang katanya sudah mencicipi semua jenis Ballo di Sulawesi Solata. Dan " Di Jeneponto, ada Ballo Super yang disadap tengah malam. Satu batu (5 liter) untuk 10 orang dan badan bisa lelap di tanah ". Lain lagi Ballo Galesong, Takalar, Anto pernah mencobanya sekali, " Dalam perjalanan pulang, beberapa kali jatuh, dan sempat tertidur di got bersama motor ".
Shanti Riskiyani dan kawan-kawan, dalam Aspek Sosial Budaya Pada Konsumsi Minuman Beralkohol (Tuak) di Kabupaten Toraja Utara (2015), menyebut bahwa mengonsumsi minuman beralkohol telah menjadi tradisi di beberapa daerah. Makalah itu menyimpulkan bahwa kandungan alkohol Ballo mencapai 5 persen dan menunjukkan bahwa daerah dengan prevalensi minum alkohol tertinggi di Sulawesi Selatan adalah Toraja Utara yaitu 27,5 persen dalam 12 bulan terakhir, atau 22,6 persen dalam sebulan terakhir.
Dalam beberapa catatan arkeologi, bukti tertua fermentasi minuman beralkohol ditemukan di Cina pada 9000 tahun silam sedang nenek moyang kita mengenalnya pada masa neolitik, ketika kelompok manusia mulai mengenal pertanian menetap. Nenek moyang kita yang memasuki Nusantara termasuk punggung Sulawesi sekitar 6000 tahun silam dari ras Austronesia atau orang-orang dengan ras Mongolid ini yang mengenalkan teknik membuat minuman keras ?.
Jejak Ballo (atau sagueir) juga pernah termaktub dalam The Malay of Archipelago, kitab penjelajahan Nusantara yang ditulis Alfred Russel Wallace. Naturalis berkebangsaan Inggris itu pernah singgah di Maros pada 1857. " Hutan yang mengelilingi terbuka dan bebas dari belukar, yang terdiri dari pohon-pohon besar, tersebar luas dengan sejumlah pohon palem (Arenga saccrharifera), dari mana tuak dan gula dibuat ", Ujar SiDin A Russel dalam tulisannya. " Pohon palem (Aren) menyediakan sagueir, yang menggantikan bir dan gula ".
Ballo yang disadap JoddinG, dijual Rp 5.000 per liter. Lazimnya, para penyadap akan menjualnya berdasarkan ukuran liter, botol dan jeregen satu liter. Minuman itu lantas menembus jalan-jalan darat, melewati pos penjagaan polisi, menuju kota Palopo hingga ke Toraja. Bagi JoddinG bahwa Jarak dan waktu dapat merubah rasa Ballonya dan ia sering kecewa ketika mencicipi Ballonya di Toraja dan Pare-pare menemukan rasanya sangat berbeda.
Minum tuak terasa mabuknya,
Elegi Ballo orang Bugis sejak moyangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar